Chereads / Am I Normal? / Chapter 40 - Hadiah Terbaik (1)

Chapter 40 - Hadiah Terbaik (1)

"Hei, Daiki? Apa kau mendengarku? Aku haus". Kata Haru sekali lagi dengan mengangkat sedikit dagunya.

"Apa kaupikir, dengan bodohnya aku akan melakukan apa yang kau katakan?" Balas Daiki. Acuh tak acuh. Sembari membersihkan sedikit keringat di kening dan juga pelipisnya menggunakan scarf di lehernya.

[ … ] Haru membatu sejenak sebelum ia berkata: "Haaah...Baiklah. Aku yang akan pergi". Saat Haru hendak melangkah pergi, Daiki segera menarik lengan Haru hingga ia hampir terjatuh. Tetapi, untung saja Haru berhasil menyeimbangkan posisinya dengan Daiki yang juga membantu untuk menahan tubuhnya.

"Ap—" Haru tidak melanjutkan apa yang hendak dikatakannya setelah punggung tangan Daiki menyentuh keningnya. "Kenapa kau datang? Sudah kukatakan bahwa kau tidak perlu datang jika kau masih sakit".

Bukannya berterima kasih ketika mendengar perkataan Daiki yang seperti sedang mengkhawatirkan dirinya saat ini, Haru dengan jail malah terbahak sembari menepis tangan Daiki. "Hahaha. Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir seperti itu. Kau membuatku takut saja".

Melihat wajah Daiki yang tidak mengekspresikan apa-apa, kepala Haru kembali memikirkan hal yang lebih jail lagi untuk membuat Daiki tersipu malu.

Perlahan, tangan Haru bergerak untuk menggenggam tangan Daiki dan membuatnya sedikit mulai menunjukkan ekspresi. Terkejut. Tetapi, ia masih belum mengatakan apa-apa. Haru kemudian tertunduk dengan mengangkat tangan Daiki hingga menyentuh kulit wajahnya, lalu memejamkan mata sembari merasakan kelembutan dan dinginnya sebuah tangan ketika menyentuh kulit wajahnya yang hangat.

Namun, hanya untuk beberapa detik saja sebab Daiki segera menarik tangannya kembali dengan kasar dan membuat Haru segera mengangkat wajah. Haru lalu menatap wajah Daiki yang mulai memerah sebelum Daiki memalingkan wajah ke samping, sembari menggumam dalam hati: "Akhirnya, kau menunjukkan ekspresi itu juga".

"A-apa yang... kau... lakukan...?" Tanya Daiki dengan terbata-bata. Suaranya lirih, tetapi masih terdengar manis.

Haru menahan agar tidak sampai tertawa. "Aku ingin merasakan tanganmu. Bukankah kau juga ingin menyentuh wajahku?"

Perlahan, Daiki sedikit menoleh ke arah Haru yang bibirnya bergetar karena menahan rasa ingin tertawa, lalu meliriknya dengan tajam untuk menunjukkan rasa tidak senangnya kepada Haru yang menganggap bahwa perkataannya baru saja adalah hal yang patut untuk ditertawakan. "Bodoh".

"Haaah... Baiklah... baiklah... lupakan. Aku akan pergi membeli minuman. Menunggumu hanya akan membuatku mati kehausan disini". Haru kembali hendak melangkah, tetapi Daiki juga kembali menahan.

Daiki menghela napas. "Aku akan pergi. Kau tunggu disini".

Setelah mengatakan hal itu, Daiki pun segera pergi untuk membeli minuman pada mesin minuman yang tak jauh dari tempat mereka. Sedang Haru, hanya bisa terpaku menatap Daiki yang juga semakin menjauh. Tadinya, ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi bibirnya yang sudah terbuka kembali mengatup.

Sementara Daiki yang sedang pergi membeli minuman, Haru menuju tempat duduk yang berada di sebelah lapangan untuk beristirahat. Tidak butuh waktu lama. Hanya butuh beberapa langkah saja untuk Haru tiba di tempat duduk itu, lalu ia segera menjatuhkan tubuhnya begitu saja dan bersandar dengan malasnya. Ia melirik jam tangan hitam yang ia kenakan, lalu melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 8.10 malam.

"Jam 8?" Haru berbicara kepada diri sendiri, lalu membatin: "Aku baru ingat. Bukankah Daiki sudah datang sebelum jam 8 tadi? Dan juga, apa yang dia lakukan disini? Hanya berdiri? Heh, tidak mungkin".

[ … ] Setelah beberapa saat, Daiki pun kembali membawa dua minuman di tangannya.

"Oi. Ini" Daiki membuang satu minuman ke arah Haru dan segera ditangkap oleh Haru.

Haru tersenyum sesaat sebelum meneguk minumannya, bersamaan dengan Daiki yang juga melakukannya tanpa duduk terlebih dahulu.

Sesudahnya, Haru menatap Daiki yang masih meneguk minuman di tangannya, lalu bangkit dari tempat duduk dan berdiri tepat di hadapan Daiki.

Daiki melirik Haru yang terus menatapnya sembari membersihkan bibirnya yang basah karena minuman yang baru saja diteguknya. "Apa?"

"Karena kau mengalahkanku, sesuai kesepakatan, aku akan memberitahumu sebuah rahasia". Jawab Haru dengan cengingirannya yang menyebalkan.

Sesaat, Daiki merendahkan sedikit pandangannya, lalu kembali mengarahkan matanya ke wajah Haru. "Aku tau. Kau sengaja membuat dirimu kalah dariku. Tapi, jika kau ingin aku berpura-pura untuk tidak mengetahuinya... baiklah".

Daiki meneguk minumannya sekali lagi.

Seketika pernyataan itu membuat Haru terkejut. Bola matanya bergerak-gerak karena bingung untuk memikirkan alasan yang cocok agar dapat mengelak dari pernyataan itu.

Ternyata, tidak mudah mengelabui orang sepertinya. Pikir Haru.

"Mmm... tidak masalah. Lagipula, rahasia yang kumaksud adalah..." Haru berpikir sesaat. "Hmm... aku hanya ingin memberitahumu perasaan gugupku selama beberapa hari ini, karena akan bertemu denganmu". Haru terbahak setelah mengatakan hal itu.

[ … ] Tanpa ekspresi, Daiki mengabaikan Haru yang sekali lagi sedang berusaha untuk membuatnya tertawa, sehingga membuat Haru yang tadinya terbahak pun menjadi terdiam sembari mengelus-elus tengkuk lehernya.

[ … ]

Setelah hening beberapa saat, Haru pun menarik napas dalam-dalam. "Daiki? Jangan lupa tujuan awal kita bertemu malam ini".

Seketika, raut wajah Daiki yang dingin berubah khawatir. Ia merendahkan pandangannya dan tangan kirinya dikepal sebegitu kuat tanpa sepatah kata.

"Daiki?" Panggil Haru dengan lirih.

Segera Daiki menatap Haru disertai tindakannya yang tidak diduga sama sekali. Ia menjatuhkan botol minuman di tangannya sampai semua isinya menyebar di atas tanah, lalu dengan tiba-tiba, bibir Daiki yang dingin sudah menyentuh bibir Haru dan semakin dalam, hingga Haru dapat merasakan napasnya yang hangat berhembus lembut di wajahnya.

Haru belum mengekspresikan apa-apa ketika mereka berdua berciuman—karena perasaan tidak percaya. Hingga untuk beberapa detik kemudian, Haru tersentak kaget seperti sedang disengat listrik dan mendorong tubuh Daiki dengan kedua tangannya. Refleks tanpa ia sadari!

Daiki mundur selangkah dengan mengunci tatapan pada kedua mata Haru, juga semakin dalam. Kemudian, ia kembali maju, berniat untuk kembali menyambar bibir Haru. Namun, kali ini, Haru tidak membiarkannya dengan sedikit mencondongkan tubuh ke belakang dan menutup mulut Daiki yang saat ini sudah berjarak beberapa senti saja dari wajahnya. "Daiki! Apa yang kaulakukan?! Aku sedang sakit! Aku tidak ingin kau tertular nanti!"

Daiki pun membeku sejenak, lalu dengan perlahan menjauhkan wajahnya dan sedikit mundur ke belakang. Sepertinya, ia sudah sedikit memahami perkataan Haru baru saja.

"Haru... terkadang aku ingin tertawa saat kau menanyakan tentang perasaanku kepadamu". Sahut Daiki.

"Aku yakin, kau tidak sebodoh itu untuk tidak mengetahui perasaanku selama ini". Lanjutnya.

Kening Haru terangkat. "Maksudmu...?"

Daiki tertunduk sesaat, lalu kembali menatap Haru dan berkata tanpa sedikit keraguan pada kedua matanya. "Haru... aku... aku juga mencintaimu".

"Setahun lalu, saat kau meninggalkanku... aku selalu memikirkanmu. Dan ketika aku sadar bahwa aku telah kehilangan seseorang yang begitu ku cintai... hatiku benar-benar sakit" Ujar Daiki sekali lagi.

"Aku sangat—" Belum saja Daiki melanjutkan perkataannya, Haru segera meraih wajah Daiki dan mencium bibirnya tanpa mempedulikan perkataannya sendiri sebelumnya.

Kali ini, ciuman mereka sedikit lebih lama. Dengan mata terpejam, mereka berdua saling menikmati bibir masing-masing. Atas dan bawah silih berganti.

Tangan Haru mengelus wajah Daiki dengan lembut. Sedang Daiki memeluk punggung Haru dengan mencekram kuat jaket yang dikenakannya dan meremas-remas punggungnya sesekali.

Mereka berdua tampak sangat menikmati saat-saat itu.

Setelah beberapa saat, mereka berdua menghentikan kegiatan mereka tanpa mengubah posis masing-masing.

Haru memandang wajah Daiki yang memerah, lalu mengusap bibirnya yang basah dengan ibu jarinya. "Banyak bicara, itu sama sekali bukan gayamu. Kau tidak cocok mengatakan banyak hal seperti itu".

Daiki tersenyum. "Aku hanya ingin mengatakan isi hati—"

"Ssttt..." Jari telunjuk Haru menyentuh bibir Daiki dan membuatnya berhenti berbicara. "Aku sudah tau jika kau juga memiliki perasaan terhadapku. Tapi, saat melihat sikapmu... itu membuatku ragu".

"Aku cukup bodoh, ya?" Lanjutnya.

Mendengar hal itu, Daiki pun segera memeluk Haru dengan erat, lalu berkata dengan lembut: "Aku hanya tidak tau bagaimana caranya mengekspresikan perasaanku sendiri".

"Daiki? Bisakah kau diam sebentar saja? Aku ingin menikmati saat-saat ini" Balas Haru sembari membalas pelukan Daiki.

Berada di dalam dekapan Daiki menjadikan malam yang dingin tidak terasa sama sekali. Juga, adalah kehangatan yang benar-benar luar biasa saat ini.

Mengetahui Daiki mempunyai perasaan yang sama sepertinya, adalah 'hadiah terbaik' pada Natal kali ini.

*****