Keesokan malamnya, sekitar pukul 6.30 malam, salju turun seperti sebuah kapas kecil yang bertebaran di udara. Sangat indah menghias malam gelap ketika warna putihnya diterpa cahaya dari lampu-lampu kuning yang terhias pada setiap rumah, juga warna putih dari lampu LED di sepanjang jalan.
Sekilas tampak seperti titik-titik bintang dari kejauhan.
"Haru, apa sekarang kau sudah lebih baik?" Tanya Daiki dengan pandangan yang terus tertuju pada jalan yang mereka lalui.
Haru mengangguk. "Demamku sudah turun. Flu-ku juga sudah sedikit berkurang".
Mereka berdua berjalan beriringan di bawah salju yang turun. Namun, ada yang membuat kebersamaan mereka berdua tampak berbeda dari sebelumnya, yaitu Daiki yang sudah lumayan banyak bicara.
Sedikit aneh bagi Haru, tetapi jika Daiki terus seperti itu akan membuat Haru juga terbiasa nantinya.
.....
[ Kediaman Nyonya Youichi ]
"Haru, apa akan baik-baik saja?" Bisik Daiki dengan perasaan gugup ketika mereka berdua sudah tiba di depan kediaman orang tua Haru.
Haru tersenyum, dan berkata untuk menenangkan Daiki yang gugup: "Apa yang kau khawatirkan? Ini hanya pertemuan biasa" Haru terkekeh kecil. "Ibuku sangat ramah dengan orang asing. Apalagi, jika dia tahu kalau kau adalah temanku..."
"Baiklah. biar kuberitahu. Ibuku sangat menyukai orang-orang baru. Bahkan, dia memperlakukan orang baru lebih baik daripada anaknya sendiri". Lanjutnya.
Setelah Haru menyelesaikan perkataannya, Daiki pun mengangguk pelan. Raut wajahnya juga sudah lebih tenang dari sebelumnya.
Melihat Daiki yang sudah bersikap tenang, Haru pun menekan bel rumahnya.
Ding Dong
Ding Dong
Sedetik kemudian, terdengar suara seorang wanita dari dalam. Lalu, tak berselang lama, juga terdengar suara kunci yang dibuka dari balik pintu rumah.
Haru tersenyum dan melirik Daiki, lalu merangkulnya agar Daiki tidak merasa gugup.
"Hah! Oh Haru! Anakku! Akhirnya kau datang juga!" Seru seorang wanita setengah baya.
Ya! Itu adalah Nyonya Youichi. Ibu Haru.
Walaupun wanita itu sudah tidak muda lagi, ia masih tetap cantik dan masih terlihat begitu segar. Hanya ada sedikit kerutan di bawah matanya ketika menyambut Haru dengan senyumannya yang menghangatkan. Senyumannya sama seperti milik Haru. Lurus dan sedikit melengkung di ujung bibirnya. Namun, juga sangat khas dengan gigi gingsul yang membuatnya tampak terlihat lebih menarik.
Dari penampilannya saat ini, sepertinya, ia sedang sibuk di dapur. Celemek dan tepung pada kedua tangannya menegaskan hal itu.
Sedang Haru yang melihat wanita itu ketika membuka pintu pun segera memeluknya dengan erat untuk beberapa saat.
"Ibu, ini temanku. Takayashi Daiki. Dulu, kami satu sekolah". Haru memperkenalkan Daiki seraya tersenyum. Dan seketika membuat raut wajah wanita itu tampak semakin bergembira dari sebelumnya—bahkan sikap wanita itu tidak jauh berbeda dari anaknya sendiri.
"Wah! Sudah lama Haru tidak membawa temannya ke rumah" Ibu Haru masih begitu bersemangat.
"Huh! Lihatlah... Haru yang selama ini kupikir tampan menjadi tidak ada apa-apanya dibanding dengan anak ini. Haa... kau sangat tampan... lihat matamu... huuu aku sangat menyukainya... sangat menggemaskan". Lanjutnya.
Haru dan Daiki saling bertukar pandang.
"Haa... ibu..." Keluh Haru.
"Hahaha... ayo masuklah..." Ibu Haru pun mulai melangkah masuk diikuti oleh mereka berdua di belakang.
"Huh... aku ingin sekali memeluknya..." Terdengar gumaman kecil dari ibu Haru ketika ia kembali menuju dapur.
Haru dan juga Daiki duduk di atas sofa pada ruang tamu, dengan pohon Natal berukuran sedang di samping mereka. Namun, ketika berada di tempat itu, sebuah gambar dari seorang pria dengan beberapa lilin di sekitarnya yang berada pada sebuah ruangan terbuka di samping dapur, menarik perhatian Daiki.
"Ayahnya?" Gumam Daiki dalam hati.
Melihat lilin dan dupa yang dibakar di sekitar gambar pria tersebut, membuat Daiki sudah memahami, bahwa pria yang ada di gambar tersebut telah tiada. Namun, Daiki yang saat ini melirik Haru, tidak ingin menanyakan hal yang memang seharusnya tidak perlu ia tanyakan.
Sedang Haru di sampingnya, terus tersenyum, lalu menyalakan TV dan mengambil remote di atas meja untuk mencari channel yang menarik.
Ternyata, dibalik senyuman Haru yang terlihat ceria, ada hal menyedihkan yang selama ini ia sembunyikan. Pikir Daiki.
Kemudian, setelah beberapa saat, ibu Haru kembali dengan membawa minuman dan sepiring kue. Tangannya juga sudah dicuci bersih dari bekas adonan tepung putih. "Ki-chan, anggap saja rumah sendiri, ya?"
[ Dai-Ki. Ibu Haru sengaja menyingkatnya menjadi 'Ki' ]
[-Chan merupakan julukan kecil. Umumnya, digunakan untuk sesuatu yang unyu-unyu >o<. Biasanya, akhiran (chan) ini ditujukan untuk perempuan, tetapi bisa juga digunakan untuk laki-laki yang lebih muda yang terlihat unyu ]
Hah?!
Seketika Daiki terkejut! Merasa aneh dengan panggilan barunya itu!
Sedang Haru di sampingnya, berusaha untuk menahan tertawanya agar tidak pecah ketika mendengar ibunya menyebut Daiki seperti itu—Wajahnya bahkan sampai memerah.
Ibu Haru mengernyit bingung. "Hm? Ada apa dengan kalian berdua?"
Melihat ibunya menunjukkan raut wajah yang terlihat bertanya-tanya, tawa Haru pun meledak. "Hahaha. Ibu? Kenapa kau memanggilnya dengan panggilan seperti itu? Hahaha".
Sejenak, wanita itu terpaku. Dan ketika menyadari apa yang Haru tertawakan, wanita itupun ikut tertawa terbahak-bahak. "Hahaha. Dia sangat tampan dan juga sangat imut. Aku bahkan tidak dapat membedakan, dia terlihat tampan atau malah terlihat imut. Hahaha. Dia sangat menggemaskan. Hahaha".
Daiki hanya bisa terdiam dan merasa frustasi. Ibu dan anak sama-sama jenakanya dan mempunyai humor yang sama.
Mereka memang cocok sebagai ibu dan anak. Pikir Daiki.
"Nak, aku boleh memanggilmu Ki-chan, kan?" Tanya wanita itu. Matanya berbinar. Dan sepintas terlihat seperti Haru yang sedang memelas.
Daiki tersenyum. Tetapi, senyuman itu begitu ia paksakan karena rasa tidak terima yang tidak dapat diutarakan.
"Wah! Baiklah! Kuanggap itu sebagai perkataan 'iya' darimu". Ibu Haru bertepuk tangan dengan penuh semangat, lalu kembali ke dapur setelah meletakkan kue dan minuman tadi di atas meja.
"Bagaimana? Sudah kukatakan kalau ibuku sangat ramah kepada orang lain..." Haru mengambil satu kue, lalu memakannya.
Daiki menghela napas, lalu meneguk minuman. "Aku merasa sudah dilecehkan".
Haru pun tersedak karena terkejut mendengar pernyataan itu. Ia menepuk-nepuk dadanya, lalu meneguk minuman. Dan setelah merasa lebih baik, Haru pun mulai terkekeh-kekeh. "Hahaha. Maafkan ibuku. Tapi, menurutku, panggilan itu tidak terlalu buruk untukmu".
Segera Daiki melirik tajam ke arah Haru yang tertawa begitu puas. Tapi juga terlihat licik dan begitu menyebalkan.
.....
Beberapa saat kemudian, Ibu Haru memanggil dari dalam dapur dan membuat Haru dan juga Daiki segera menuju ke dalam sana.
Sembari menyiapkan makan malam, wanita itu berkata: "Aku membuat banyak makanan malam ini. Kalian berdua harus menghabiskannya".
"Ki-chan, kau menginap disini saja, ya?" Lanjutnya seraya tersenyum lebar.
Haru yang sudah duduk pun sontak berdiri ketika mendengar ibunya menawarkan hal itu kepada Daiki. "Benar! Kau bisa tidur di kamarku!"
Dengan kompak, ibu dan juga anak itu saling bertatap muka dan mengangguk bersamaan, menganggap bahwa hal itu adalah ide yang sangat brilian!
Sebelah kening Daiki terangkat. "Hmm... maaf. Aku tidak bisa. Ibu dan ayahku akan tiba malam ini. Dan kami juga akan merayakan Natal malam ini".
Lantas, ekspresi wajah dari ibu dan anak itu berubah kecewa. Haru kembali duduk dengan lemas, sedang ibunya mendesah kecewa tanpa berkata apa-apa.
Mereka bertiga menikmati makan malam dengan penuh gelak tawa... hmm... tidak. Melainkan hanya mereka berdua. Haru dan juga ibunya. Sedang Daiki... semuanya hanya ia paksakan. Namun, bukan berarti Daiki tidak menyukainya. Bahkan, bersama keluarga kecil ini membuat Daiki berada seperti di keluarga sendiri.
Gelak tawa mereka menegaskan bahwa inilah 'keluarga sesungguhnya'. Begitu harmonis. Kagum Daiki.
Ia hanya dalam proses beradaptasi untuk lingkungan barunya ini.
Setelah menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam lamanya, Daiki pun berpamitan kepada mereka berdua. Haru hendak mengantar Daiki menuju stasiun, tetapi Daiki dengan keras kepala terus bersikeras untuk mencegahnya. Walaupun ibunya juga ikut membujuk, Daiki tetap teguh dengan beralasan tidak ingin merepotkan mereka. Sehingga membuat Haru dan juga ibunya mengalah darinya.
Haru dan juga ibunya melambaikan tangan kepada Daiki dan berhenti ketika Daiki sudah semakin menjauh dan menghilang ketika berbelok di sebuah pertigaan jalan. Kemudian, mereka berdua pun menutup pagar, lalu masuk ke dalam.
Mereka berdua terlihat sangat senang malam ini karena ada orang baru yang merayakan Natal bersama mereka pada Natal kali ini.
Haru tak kalah senangnya. Ia begitu bahagia bukan hanya karena Daiki yang menyempatkan diri untuk berkunjung ke kediaman ibunya, melainkan status mereka berdua.
Sebagai pasangan kekasih, sudah sepatutnya Haru merasa demikian, bukan?
Siapa juga yang tidak merasa bahagia jika seorang yang selalu dikejar-kejarnya sejak lama, akhirnya ingin mengakui dirinya sebagai seorang kekasih?
Tentunya, cinta yang tulus tidak akan pernah mengatakan 'tidak' untuk hal seperti itu.
.....
Semenjak saat itu, Haru dan juga Daiki sering kali berkunjung ke kediaman masing-masing sehingga menambah kedekatan mereka berdua. Juga, orang tua Daiki sudah cukup mengenai Haru, begitupun sebaliknya.
Daiki juga sedikit berubah. Yang tadinya begitu kaku dengan sedikit bicara, kini menjadi sedikit lebih terbuka dan banyak tertawa. Namun, perkataannya yang sering menusuk itu tidak berubah sama sekali. Dan bahkan semenjak berstatus sebagai sepasang kekasih, Daiki semakin blak-blakan lebih daripada Haru akhir-akhir ini. Huh!
Bukan masalah. Haru sudah terbiasa dengan sikap Daiki seperti itu, dari sejak dulu.
Hal itu tidak akan menjadi alasan untuk mengundurkan diri. Bahkan, dengan Daiki yang seperti itu, membuat Haru jauh lebih mencintainya. Lagi dan lagi. Berkali-kali lipat melebihi awal Haru jatuh cinta.
Apakah itu normal?
Haru tidak ingin mendengar pertanyaan itu dari siapapun, kecuali dari diri sendiri!
.
.
.
~Tamat~
[ 31 Desember 2019 ]
*****