Malam ini adalah malam yang paling dinanti oleh Haru. Ya, tepat di Malam Natal. Malam yang penuh suka cita sekaligus membuat jantungnya berdebar kencang.
Mungkin sebagian besar orang sedang berbahagia untuk merayakan Natal malam ini, tetapi berbeda dengan Haru sendiri yang sedang berbahagia untuk menyambut sebuah jawaban walau dengan kondisi yang belum dapat dikatakan 'baik-baik saja' saat ini. Namun, walau dengan kondisi demikian, sama sekali tidak memudarkan semangatnya untuk menemui Daiki malam ini. Sesuai dengan janji yang mereka sepakati.
Penuh semangat dengan rasa tidak sabar!
Tepat pukul 7.00 malam, Haru sudah siap— lebih cepat dari waktu yang mereka sepakati— dengan jaket dan jeans hitam yang dikenakannya; yang terlihat begitu cocok untuknya dengan memadukan scarf abu-abu di lehernya; dan kaos tangan yang senada warnanya.
Wajah tampannya yang pucat karena flu dan juga demamnya yang belum mereda, sudah terlihat lebih baik dengan penampilannya sekarang ini.
Sembari menatap pantulan bayangannya di cermin, kedua matanya bergerak; mengamati dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala tanpa berkedip sama sekali. Dan dengan senyuman tipis yang terhias indah pada raut wajahnya, hatinya bergumam pelan: "Salju yang turun, semoga saja membawa keberuntungan malam ini. Hanya itu yang ku harapkan saat ini".
Setelah merasa cukup untuk memandang bayangannya sendiri, Haru pun hendak berbalik. Tetapi, sebelum ia melakukannya, tiba-tiba saja ponselnya berdering di dalam saku jaket yang dikenakannya, lalu segera menarik ponselnya keluar dengan jantung yang berdebar-debar.
- Takayashi Daiki -
Melihat nama Daiki pada panggilan masuk di ponselnya saat ini, jantungnya pun dibuat semakin berpacu oleh rasa terkejut dan segera melepas kaos tangan kanannya, lalu segera menjawab panggilan dari Daiki. Yang untuk sekarang ini, membuatnya penuh kecemasan dengan berpikir, bahwa Daiki akan membatalkan janji.
Huh! Haru benar-benar akan menggila jika Daiki sampai melakukan hal itu.
Mungkin, Haru akan marah dan benar-benar akan meninggalkannya!
'Mungkin saja!'
Dan tidak akan mengejarnya lagi.
"Daiki, ada apa?" Tanya Haru dengan suara beratnya yang sedikit serak.
"Mm... Hei, Haru? Hmm, mm... jika kau masih merasa belum sehat sekarang, sebaiknya kita bertemu lain kali saja. Kau... kau... istirahat saja. Kita—" Belum saja Daiki melanjutkan perkataannya, Haru yang sudah mengetahui apa yang hendak dikatakan Daiki baru saja pun segera memotong dengan nada kesal: "Daiki! Aku baik-baik saja. Aku juga tidak ingin menunggu lagi! Tidakkah kau mengerti?! Aku sudah cukup lama menunggu kesempatan ini!"
Ya. Kata 'lain kali' hanyalah sekedar 'kata'. Jika menunda sekali lagi, Haru hanya akan menanti cukup lama untuk waktu yang tidak pasti!
Mendengar perkataan Haru yang bersikeras untuk bertemu, Daiki pun menghela napas panjang sebelum menjawab: "Baiklah. Tapi, ingat. Kau harus ada disana tepat pukul 8 nanti. Jika tidak, jangan harap..." Daiki terdiam sejenak. "Hmm... lupakan. Intinya, kau harus datang tepat waktu".
Haru terkekeh kecil ketika mendengar Daiki mengatakan hal yang menggelitik. Pikirnya, ia bukanlah seorang Haru yang senang terlambat seperti pada waktu di sekolah dulu. Tidakkah Daiki menyadari perubahan itu?
"Hei, Daiki? Asal kau tau saja, aku tidak akan terlambat di hari yang sudah lama kunanti. Bahkan, sejak kemarin, setelah kau pergi, aku tidak merasa—" . [ toot toot] Seolah membalas perlakuan Haru yang memotong perkataannya tadi, Daiki pun melakukan hal yang sama dengan menutup telepon yang sedang berlangsung.
"Ah-hei?!... Haaaa...? Si Daiki sialan itu..." Haru benar-benar sudah dibuat kesal dengan Daiki yang menutup telepon sebelum ia menyelesaikan kalimatnya!
Setelah pembicaraan mereka di telepon, Haru pun memasukkan ponselnya ke dalam jaket yang dikenakannya kembali. Kemudian, menatap dirinya di cermin sekali lagi sembari mengenakan kaos tangan yang dilepasnya ketika menjawab telepon dari Daiki tadi.
Sesudahnya, ia pun menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi rasa gugup sebelum melangkah keluar, mengenakan sepatu boot hitam yang dibelinya beberapa hari yang lalu.
Sejak sekian lama menanti untuk hanya sekedar jawaban pasti, Haru yang sabar menanti sudah setahun ini dan dengan sabar menghadapi Daiki yang selalu menutupi perasaannya sendiri, akhirnya mendapatkan kesempatan untuk mengetahui jawabannya malam ini. Baginya, jawaban Daiki akan menjadi hadiah Natal yang selalu dinanti.
Bisa saja membuatnya kecewa atau bahkan bahagia lebih daripada sebelumnya.
.....
Di perjalanan, semangat Natal begitu terasa ketika berada di tengah kota. Lagu-lagu penyambut Natal berbunyi dengan merdunya pada hampir semua toko yang dilewatinya. Juga, nyanyian-nyanyian rohani terdengar menyentuh dari salah satu gereja di kejauhan.
Pohon-pohon Natal juga berjejer rapi di setiap tokoh dengan kelap-kelip lampu warna-warni yang menambah keindahan malam berbahagia ini, di sepanjang jalan yang dilalui. Namun, ketika melihat orang-orang yang bisa berjalan bersama seorang terkasih, Haru yang saat ini masih sendiri pun merasa sedikit berbelas kasih kepada diri sendiri. Dan hanya bisa berandai jikalau untuk sekarang ini, dia dan juga Daiki bisa berjalan beriringan seperti orang-orang itu sebagai sepasang kekasih.
Cukup menyedihkan jika hanya sekedar membayangkannya saja.
Sementara itu, hati Haru menyemangati diri sendiri. "Huh. Setidaknya, hari ini kau akan mendapatkan jawaban pasti Haru. Bersabarlah untuk beberapa saat lagi. Kau harus yakin, bahwa dia tidak akan memberimu jawaban yang membuatmu menangis". Sebelah dari kening Haru bergetar setelah hatinya menggumamkan hal itu.
'Membuatmu menangis'? Haru ingin menertawakan perkataan hatinya sendiri, tetapi ada benarnya juga jika ia memikirkannya sekali lagi.
'Mungkin' Haru memang akan menangisi diri sendiri karena rasa kecewa yang sudah berkali-kali, jikalau Daiki memberi sebuah jawaban yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya selama ini.
Setelah beberapa saat berjalan menyusuri jalan bersalju, sekitar pukul 7.20 malam, Haru pun tiba pada tempat yang mereka sepakati bersama, yaitu lapangan basket. Tempat dimana mereka sering menghabiskan waktu bersama semasa bersekolah dulu, selain bukit rumput itu. Namun, apa yang dilihatnya ketika tiba benar-benar membuatnya keheranan dengan kening berkerut. Ataukah mungkin malah membuatnya semakin bersemangat?
Haru pun tersenyum, lalu berseru: "Hei, Daiki?!"
Daiki yang sedang berdiri di tengah lapangan pun seketika berbalik ketika mendengar Haru memanggilnya dari arah belakang tubuhnya.
Dari raut wajahnya, ia tampak terkejut, lalu tertunduk menyembunyikan sesuatu dari wajahnya dengan mengepal erat kedua tangan di samping tubuhnya.
Sepertinya, malam ini, Haru tidaklah menjadi satu-satunya orang yang merasa gelisah. Tetapi, sepertinya, Daiki juga merasakan hal yang sama seperti yang dirasakannya. Pikir Haru. Hanya menduga-duga.
*****