Chereads / Am I Normal? / Chapter 4 - Daiki: Rasa Ingin Tahu

Chapter 4 - Daiki: Rasa Ingin Tahu

Bisingnya suara dari mereka yang membicarakan banyak hal, membuat suasana kelas sedikit gaduh. Beberapa dari mereka bertingkah aneh, dan benar-benar mengganggu hingga Daiki harus meninggalkan kelas.

Ia sama sekali tidak membenci teman-teman sekelasnya, bahkan terkadang kegaduhan itu membuat suatu kerinduan saat liburan sekolah berlangsung. Akan tetapi, walaupun hampir tiap saat kegaduhan itu terjadi, ia masih belum juga terbiasa. Entah mengapa, setiap kali ia membiasakan diri, hanya membuatnya menjadi orang lain. Ia sudah seperti ini hampir tiga tahun lamanya.

Daiki berjalan menuruni tangga, hendak menuju ke belakang sekolah. Tempat, dimana ia biasa menghabiskan waktu istirahatnya.

"Hei! Takayashi!" Seseorang menyapanya dari belakang dengan menyentuh bahu sebelah kanannya.

Daiki berbalik untuk melihat siapa yang telah membuatnya terkejut. Jika seseorang itu adalah Haru, maka ia benar-benar akan membuatnya menyesal.

"Ah...sensei!" Kata Daiki yang sedikit kikuk sebab salah prasangka.

Rupanya, ia merupakan sensei yang sebagai penanggung jawab di club panahannya, dan ia hampir saja mempermalukan diri sendiri. Akan tetapi, ada hal yang lebih memalukan telah terjadi. Mengapa Haru yang terlintas di pikirannya? Hal yang juga membuatnya begitu terkejut.

"Kenapa beberapa hari ini kau jarang masuk latihan?" Tanya sensei tersebut dengan tangan yang masih berada di bahunya.

"Maaf sensei...aku selalu pulang lebih awal karena...hmm...karena..." Ia tak tahu bagaimana mengutarakan jawaban tanpa suatu alasan.

"Karena kau tidak mau, kan?" Tanya senseinya kembali untuk memastikan.

Daiki hanya bisa terdiam. Dengan ia tak menanyakan suatu pertanyaan klarifikasi saja, hal itu sudah menjadi jawaban pasti. Ia juga tahu bahwa si sensei telah mengetahuinya, dan menanyainya hanya agar ia mengakuinya.

"Kau harus datang di latihan berikutnya" Lanjutnya, lalu pergi.

Sedikit menakutkan bertemu dengan sensei di waktu yang mungkin bisa dibilang kurang tepat, sebab beberapa hari ini, Ia berusaha menghindari orang-orang di clubnya, tapi malah bertemu dengannya tak diduga-duga.

Daiki pun melanjutkan langkahnya hingga ia sampai pada sebuah taman kecil terdekat, dan memutuskan untuk tetap di taman itu .

Ia duduk pada sebuah kursi besi di bawah pohon sakura yang daunnya sudah mulai berguguran. Ia meraih ponsel yang ada di saku celananya, lalu menyalakannya, dan membuatnya begitu terkejut ketika melihat banyaknya panggilan dari seseorang yang sering kali mengusik waktu berharganya. Haru. Ia terkadang menyesal memberi nomor dan e-mail padanya, dan juga menjadi sebab mengapa ia selalu membuat ponselnya pada mode diam.

Tidak penting baginya. Mengabaikannya merupakan satu-satunya cara agar ia tidak mengusiknya. Walau tidak membuatnya jera, setidaknya ia tahu kalau saat ini ia tak ingin diganggu.

Iya mungkin mengatakan bahwa Haru adalah seorang pengganggu, dan pengusik di hari-harinya. Akan tetapi hatinya berkata sebaliknya. Haru adalah seorang yang mengisi hari-harinya. Walau sedikit berisik, ia adalah seorang yang menyenangkan. Namun, ia tak ingin mengakuinya; melakukannya seperti sedang mempermalukan dirinya.

Beberapa saat berada di taman, ia melihat seorang wanita yang juga bisa dikata primadona di sekolahnya. Ya, ia adalah Nakahara Erika, yang banyak dibicarakan oleh para pria di kelasnya, dan beberapa ingin menjadi pasangannya. Namun, tidak untuk Daiki, bahkan sama sekali tidak tertarik dengan wanita populer sepertinya.

Ia terus memandangi wanita yang sedang sibuk membaca buku di taman tempatnya berada. Bukan karena ia mengaguminya, hanya saja ia teringat dengan kabar yang beredar bahwa Erika sedang menjalin hubungan denga Haru. Benar atau tidaknya, masa bodoh dengan hal itu.

Trrr trrr trrr

Serasa hanya sesaat ia berada di taman ini, tetapi bel berbunyi tampak tak mengerti. Ia masih ingin berada disini lebih lama lagi, dan dengan berat hati ia harus meninggalkan tempat ini.

Daiki memulai pelajaran terakhir di kelasnya. Sudah sore sekita pukul 16.51. Ia tak mempunyai kelas tambahan dan juga latihan hari ini, jadi ia dapat pulang lebih awal. Memikirkannya saja, seakan kakinya sudah ingin beranjak pergi. Ia sudah tak sabar dengan terus mengamati jam yang menggantung di dinding kelas.

Ia sama sekali tidak memahami apa yang sedang dijelaskan oleh seorang guru di hadapannya. Entah mengapa ia tak begitu tertarik hari ini. Bosan, jenuh, lelah, semuanya menjadi satu, dan membuatnya seperti sekarang ini.

Bagaiman hubungan Haru dan Erika saat ini? Apakah berita itu benar atau sekedar kabar angin saja? Ia memang berlagak tak peduli, tetapi rasa penasaran mendorongnya untuk tetap memikirkan hal ini.

Jika memang mereka berdua adalah sepasang kekasih, Daiki belum pernah melihat mereka jalan berdua sama sekali. Apalagi akhir-akhir ini mereka sering menghabiskan waktu bersama. Apa kabar itu tidak benar? Ataukah mungkin mereka menutupinya? Semakin ia memikirkannya, semakin banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya. Akan tetapi, benar atau tidaknya, apa pedulinya?

Trrr trrr trrrr

Akhirnya, pelajaran hari ini telah berakhir. Kakinya ingin beranjak pergi sejak tadi, tetapi dengan pemikiran sadarnya, ia berusaha agar hal itu tidak terjadi.

Daiki membereskan barang-barangnya; memeriksa laci mejanya jikalau ada yang ia lupakan. Setelah yakin bahwa semuanya sudah aman, ia pun beranjak pergi.

Ia berada di lokernya, tetapi ada hal lain yang ia temukan. beberapa bungkus roti dan sekaleng minuman bersoda tergeletak di depan pintu lokernya. Ia tak mengetahui siapa yang melakukannya, dan tak berpikir bahwa itu untuknya. Ia pun hanya membiarkannya begitu saja, lalu lekas pergi setelah mengganti sepatunya.

*****

Sudah agak gelap saat ia tiba di rumahnya. Daiki segera masuk, udara dingin membuatnya tak sanggup berada di luar berlama-lama.

Sepertinya orang tuanya tidak sedang di rumah, dan sudah cukup biasa untuknya. Ia menyalakan lampu ruang tengah, dan mengamati sekelilingnya. Rumah tampak dalam kondisi sedikit berantakan, lalu menghela napas panjang. Ia bisa memaklumi sebab kedua orang tuanya begitu sibuk untuk melakukan hal seperti itu, dan ia bukanlah anak yang begitu rajin untuk melakukan semua itu.

Ia berjalan menuju kamarnya; masuk, dan segera membersihkan tubuhnya. Air hangat memang sangat membantu untuk merileksasikan tubuhnya. Ia kembali bugar setelah merendam tubuhnya beberapa saat.

Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, lalu mengambil ponsel yang tergeletak di samping kepalanya. Ia memandangi ponsel di tangannya, seakan menunggu sesuatu yang membuat ponselnya berdering, tetapi sepertinya ponselnya sedang tidak menerima apa-apa sehingga ia meletakkannya kembali di tempat sebelumnya.

Besok adalah akhir pekan. Hari yang menyenangkan untuk tidak melakukan apa-apa. Tidur, bermain game, tidur lagi, membuatnya tersenyum tipis saat membayangkan semua itu. Tunggu! Akhir pekan? Minggu? Bukankah aku ada janji?

Hal terbodoh yang pernah ia putuskan, yaitu pergi bersama Haru. Minggu, jam 1. Ia benar-benar bodoh mengatakan hal itu, dan membuatnya ingin mengembalikan waktu.

Beep beep

Ponselnya akhirnya berdering. Walau hanya sekedar pesan singkat, ia segera meraih ponselnya, lalu membuka pesan tersebut.

...Selamat malam (*^▁^*)...

"Hah?! Apa-apaan ini?" Kata Daiki dengan mengecilkan suaranya.

Baru kali ini Haru mengirim ucapan "selamat malam" untuknya, dan baru kali ini pula seorang pria mengucapkan hal seperti itu padanya. Menjijikkan. Pikirnya. Terasa aneh jika sesama pria saling mengucapkan selamat malam, dan memutuskan untuk mengabaikannya.

Beep beep

...Apa kabar? (~>_<~)...

Selamat malam? Apa kabar? Apa-apaan juga dengan ekpresi itu? Sikap yang aneh untuk orang yang aneh pula. Begitu Perhatiannya. Haru begitu perhatian malam ini. Akan tetapi, lebih baik daripada ia harus mengungkit keputusan bodohnya waktu itu.

Beep beep

...Besok kita bertemu di taman dekat sekolah, ok? (~>_<~)...

Baru saja ia memikirkan hal itu. Akan tetapi, kabar yang sama sekali tak ia tunggu-tunggu telah membuatnya menggerutu.

"Aku benar-benar benci melihat emoticon itu... " Katanya kepada diri sendiri.

Beeeeep beeeep beeeeep

- Youichi Haruhiko -

Daiki begitu terkejut melihat panggilan masuk atas nama orang itu, sampai ia tak menyadari tubuhnya sudah pada posisi duduk di atas tempat tidur.

Ia memandangi ponselnya yang terus berdering. Ia berniat untuk tidak menjawab panggilan itu, dan mungkin Haru akan menganggap bahwa dirinya sudah terlelap. Namun, keinginannya tidak menghalangi ibu jarinya untuk segera menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan.

"Huufftt...kupikir kau sudah tidur... " Kata Haru di telepon.

Daiki terdiam. Ini pertama kalinya ia mendengar suara Haru di telepon. Cukup berat. Jika ia berpendapat sebagai seorang wanita, mungkin ia akan menyukai suara beratnya.

"Halo? Takayashi?..." Tanya Haru karena tidak mendengar respon darinya.

"Ah...ya ya ada apa? Kenapa kau menelpon?" Daiki menanyainya kembali sebab ini kali pertama Haru melakukannya.

Tidak ada jawaban dari Haru, dan membuat keduanya terdiam dengan telepon yang masih berlangsung.

"...Kenapa kau terdiam?..." Guman Daiki dalam hati.

Ada apa dengannya? Apa aku salah bicara? Apa dia merasa tersinggung dengan perkataanku? Tapi, itu bukanlah Haru yang ia kenal. Haru bukanlah seorang yang menanggapi perkataannya dengan serius walau sekalipun ia berkata serius. Ini sangatlah aneh. Ia seperti menyuruh dirinya untuk menanyakan "ada apa?".

"...T-Takayashi...kalau kau tak suka jika aku meneleponmu, bilang saja..." Kata Haru yang mulai canggung.

Dari nada suaranya, ia tahu bahwa Haru salah memahami pertanyaannya. Ia pasti sedang merasa tak enakan.

"...Baiklah...selamat malam..." Lanjutnya.

"...Tunggu!..." Daiki benar-benar terkejut dengan perkataannya sendiri.

Perkataan itu benar-benar tidak sesuai dengan apa yang ada di pikirannya saat ini, dan membuatnya seolah ingin menarik perkataan itu kembali jika memang ia dapat melakukannya. Ia tidak menyukai tingkahnya sendiri.

"...Hmm... Ta-Takayashi?" Tanya Haru.

Daiki bertingkah seperti orang bodoh. Entah apa yang membuatnya tidak mampu mengatakan apa-apa. Ingin menutup teleponnya, tetapi jarinya enggan untuk melakukannya. Bodoh, kan?

Terdengar Haru menghela napas panjang di telepon. Mungkin kali ini, ia akan berpikir jika pembicaraan ini begitu sangat membosankan. Haruskah ia meminta maaf? Tapi untuk apa? Ataukah mengabaikannya saja? Bisakah? Pemikiran yang membuatnya berdebat dengan diri sendiri. Begitu menyebalkan. Baru kali ini ia memikirkan hal yang tidak menyakiti perasaan orang lain.

"...Takayashi?...Hmm...kau tau...kau tidak usah memaksakan diri untuk pergi..." Ujar Haru.

"...Hmm...aku akan menunggumu di taman" Daiki membiarkan bibirnya untuk mengatakan apa yang ingin ia katakan, sebab apapun yang ia pikirkan akan berbeda dengan apa yang akan disampaikan.

"Wah! Kalau begitu aku akan datang lebih awal!" Kali ini nada suaranya kembali pada semangat bodohnya.

"Ya ya...terserah..." Kata Daiki, lalu terdiam.

"Eh! Takayashi?!...Kenapa kau tak mengambil makanan itu di lokermu?" Tanya Haru yang sedikit kesal.

Ternyata Haru yang meletakkan makanan dan minuman itu di depan lokernya. Ia sama sekali tak berpikir bahwa ia yang melakukannya. Sungguh hal yang tak pernah ia duga. Haru benar-benar berperilaku aneh hari ini. Pikirnya.

"Jika kau melakukan hal bodoh itu lagi, akan kubunuh kau..." Balas Daiki dengan dingin, lalu kembali terdiam.

Ancaman itu seakan seperti lelucon bagi Haru. Menertawakan hal itu membuat Daiki semakin kesal saja. Namun, ia tak begitu peduli karena semakin ia mengancamnya, semakin Haru akan menertawakannya.

"Hmm..baiklah! hahaha...kalau begitu kau istirahat saja..." Kata Haru dengan tertawa.

"Maaf mengganggumu...selamat malam" Lanjutnya, lalu menutup teleponnya.

Daiki seperti sedang dipermainkan saat ini. Ia merasa telah masuk ke dalam suatu permainan, dan Haru sedang menertawakannya. Ini jebakan! Pikiran aneh mulai menghasut kepalanya. Aneh? Ia sudah bertingkah aneh mulai sejak mengenal Haru. Orang bodoh yang selalu mengikutinya.

Ia kembali merebahkan tubuhnya. Menatap langit-langit kamarnya. Tidak ada yang istimewa dengan apa yang dipandanginya saat ini, hanya saja kepalanya terus saja memikirkan pembicaraan mereka baru saja.

Ia teringat bahwa sudah dua hari ini Haru tidak lagi mengganggunya. Kembali muncul dengan panggilan masuk siang tadi dan malam ini. Pemikiran ini kembali menimbulkan rasa ingin tahunya. Apakah ia sibuk? Ah! Sudahlah! Ia mengacak-acak rambutnya agar tak memikirkan hal itu lagi.

Mendengar suara Haru malam ini, membuatnya sedikit mulai membuka diri dengannya. Tidak buruk untuk menjadi dekat dengan orang tampan bodoh sepertinya. Pikirnya, dan membuatnya nyengir dengan julukan yang ia berikan sendiri. Cukup aneh, dan sangat cocok untuknya. Ia sampai berpikir mengapa orang sepertinya menjadi lebih populer di kalangan wanita? Memikirkan hal itu seakan menggelitik perutnya.

*****

Daiki berjalan menuju tempat yang mereka sepakati. Dengan kaos hitam yang ia kenakan saat ini menambah daya tarik untuk para wanita yang ia lewati. Namun, ia tak begitu mempedulikannya, selama hal itu tidak mengganggunya maka akan baik-baik saja untuknya.

Sekarang sudah hampir jam 1, dan ia harap Haru tidak akan membuatnya menunggu setelah tiba di tempat itu. Tidak. Mungkin sebailiknya. Ia berharap Haru akan membuatnya kesal dengan terlambat hari ini. Pemikiran yang aneh. Akan tetapi ada hal baru yang ia sadari bahwa ia senang saat memarihanya, atau mungkin bukan karena memarahinya, melainkan tingkahnya sebagai respon darinya. Begitu lucu. Pikirnya. Salah-satu hal yang menyenangkan darinya.

Ia menghentikan langkahnya, lalu tangannya menyentuh kepala bagian depannya. Pemikiran aneh kembali muncul di pikirannya, dan membuatnya seakan ingin memukul kepalanya.

"Takayashi!" Panggil seseorang dari kejauhan.

Daiki mengangkat kepalanya. Ia mengenal suara yang memanggil namanya, yaitu suara dari orang yang hampir saja membuatnya memukul kepalanya. Haru.

Terlihat ia mulai berlari-lari kecil ke arahnya sambil terus melambaikan tangannya. menyebalkan. Namun, mengapa dengan melihat wajah ceria darinya itu membuat rasa menyebalkan ini semakin berkurang?

"Takayashi...kau datang lebih awal ternyata..." Kata Haru yang sudah berada di hadapannya dengan senyum lebarnya.

"Ayo kita pergi..." Lanjutnya, lalu mulai berjalan.

Daiki mengikutinya dari belakang sebab berjalan di dekatnya membuatnya merasa aneh. Ia tak banyak bicara, hal ini memang sering terjadi saat ia bersama Haru. Ia tak begitu memikirkan hal itu karena ia tahu bahwa ia memanglah orang yang seperti itu. Tidak banyak bicara.

"Hah! Kenapa kau pakai baju warna hitam juga?!" Daiki terkejut setelah tersadar bahwa Haru mengenakan kaos dengan warna yang sama dengannya.

Bukan karena ia tak menyukainya, tapi hanya saja warna yang sama membuat keduanya seperti seorang pasangan. Bisa membuat orang-orang yang melihat mereka berpikiran aneh. Tidak. Daikilah yang aneh dengan memikirkan hal itu.

"Hah?! Apa masalahmu?" Tanya Haru yang terkejut pula dengan langkah kaki yang ia hentikan.

"Ah...lupakan, dasar bodoh..." Ujar Daiki sambil terus berjalan melewatinya.

"Hah?! Bodoh?!" Kata Haru dengan suara kecil, tetapi masih bisa ditangkap oleh telinganya.

Haru menatapnya dengan raut wajah keheranan. Ia mengetahuinya dengan sedikit melirik ke arahnya, dan membuat Daiki tersenyum tipis. Ekspresi bodoh itulah yang membuatnya agar tidak mengusirnya. Lihatlah, betapa bodoh wajah dari orang yang mengikutinya itu.

Beberapa saat kemudian, mereka berdua tiba di tempat tujuan. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk sampai di tempat ini. Cukup jauh untuk perjalanan yang ditempuh tanpa ada yang saling menyapa. Baru kali ini, Haru tak banyak bicara dan membuat Daiki sedikit merasa aneh. Apakah Haru marah sebab ia menegur warna kaosnya? Tidak mungkin!

T'fanny Cafe. Nama cafe yang mereka datangi diambil dari nama pendiri cafe itu sendiri. Gaya westernnya sangat kental, dan terlihat classic dengan corak batu bata yang diperlihatkan di beberapa tempat pada dindingnya.

Mereka berdua pun masuk. Haru memilih tempat di dekat jendela yang berada di sudut belakang, dengan Daiki mengikutinya dari belakang. Setelah merasa cocok, mereka berdua pun duduk pada kursi dari rotan jati, dengan kombinasi hitam yang begitu elegan.

Seorang pelayan wanita datang menghampiri mereka, dan menyodorkan buku yang berisikan daftar dari menu-menu yang ada di cafe ini.

"Baiklah...kami akan membuatkannya dulu ya, tuan..." Kata si pelayan dengan tersenyum setelah keduanya memesan menu yang mereka pilih.

"Tempat yang dewasa untuk sifat kekanak-kanakannya..." Bisik Daiki dalam hati setelah pelayan itu meninggalkan mereka.

"Ternyata orang sepertinya bisa punya selera yang dewasa juga..." Lanjutnya sambil terus menatap Haru yang sedang berceloteh di hadapannya.

Entah apa yang sedang Haru bicarakan, pemikirannya tak berada pada topik pembicaraannya, melainkan lebih pada seleranya yang elegan ini.

"Oi! Kau mendengarku?" Tanya Haru.

"Aaa~ itu? A-apa?" Daiki mengira bahwa ia tak memperhatikannya.

Haru terdiam dengan matanya yang terus memandanginya. Pandangan itu tidaklah biasa hingga ia bisa merasakan debaran di dadanya berbeda dari sebelumnya. Apakah ia akan berpikir aneh tentangku? Daiki mulai mencemaskan dirinya.

"Apa kau sakit?" Tanya Haru.

"Hah?" Daiki kebingungan dengan pertanyaan itu.

Apakah aku terlihat seperti orang sakit? Apakah aku terlihat pucat? Daiki berharap kecemasannya tidak membuatnya demikian.

"hahaha kau aneh hari ini, makanya aku menanyaimu..." Kata Haru yang terbahak-bahak.

Lawakannya benar-benar menyebalkan bagi Daiki. Akan tetapi, ia cukup lega sebab Haru tak sampai berpikir bahwa ia sedang memikirkan dirinya saat ini. Jika sampai ia tahu, entah bagaimana ia harus memperlihatkan wajahnya. Memikirkannya saja sudah membuat wajahnya mulai memerah.

"Hah?! Kau benar-benar sakit ya?!" Tanya Haru yang mulai khawatir.

Tangannya bergerak sendiri untuk memeriksa keadaan Daiki. Dengan wajahnya yang tampak memerah, ia berpikir bahwa Daiki benar-benar sakit. Namun, baru saja Haru menyentuh keningnya, Daiki segera menyingkirkan tangannya hingga membuatnya terkejut.

Keheningan seketika itu terjadi, dan kecanggungan mulai merambat di diri masing-masing. Entah apa yang harus Daiki lakukan untuk mencairkan suasana kembali. Ia bukanlah orang seperti itu.

"Permisi...ini pesanannya tuan-tuan..." Kata pelayan wanita yang sama, dengan membawa pesanan mereka.

Terima kasih untuknya karena memecah keheningan diantara mereka. Bagaimana agar ia bisa mendengar terima kasihnya? Daiki tak mungkin berterima kasih padanya di hadapan Haru.

Setelah pelayan itu pergi. Daiki terpikir akan satu hal yang selama ini membuatnya ingin tahu. Akan tetapi, di samping itu, ada rasa yang juga bertolak belakang, dan menahannya agar tidak mengatakan hal itu.

"Bagaimana hubunganmu dengan Erika?" Rasa penasaran tidak mengurungkan niatnya untuk menanyakan hal ini.

"Kenapa kau tidak pergi bersamanya disini?..." Lanjutnya.

.....

"Kau pasti mendengar kabar itu kan? hahaha..." Setelah terdiam beberapa saat, ia menanyainya kembali.

Daiki menganggukkan kepalanya setelah mendengar pertanyaan itu. Ia sama sekali tidak berbasa-basi untuk hal semacam ini.

"Kami tidak bersama lagi..." Lanjut Haru yang memberi jawaban pasti.

Ia tampak tak ragu ketika mengatakan hal itu padanya. Ternyata kabar itu memang benar. Daiki sudah menduganya. Tapi, mengapa jawaban itu sedikit membuatnya gelisah? Dan apa pedulinya menanyakan hal semacam itu? Ia tahu bahwa dirinya sudah berbeda dari sebelumnya. Berpikiran aneh, rasa penasaran yang berlebihan; orang itu telah membuatnya berbeda.

Selama ini Daiki menutup diri dengan orang-orang di sekolahnya. Banyak dari mereka yang ingin berteman, tapi ia menjauhinya. Banyak wanita yang mendekatinya, tapi tetap ia menjauhinya; sepopuler apapun dirinya. Namun berbeda dengan orang yang bersamanya saat ini. Youichi Haruhiko. Ia tampak berbeda dari mereka.

Ia tampak bodoh; semangat bodohnya; semua hal bodoh dari dirinya itu membuat hari-hari bersamanya lebih menyenangkan. Pengganggu? Pengusik? Daiki hanya berusaha agar apa yang ia rasakan saat bersamanya itu adalah salah. Namun, dengan Haru yang selalu mengikutinya tanpa diinginkan, ia semakin sadar bahwa Haru satu-satunya hal menyenangkannya saat ini.

*****