Chereads / Am I Normal? / Chapter 10 - Daiki: Seorang Wanita

Chapter 10 - Daiki: Seorang Wanita

"Takayashi! Fokuskan pikiranmu!" Tegas sensei di clubnya.

"Singkirkan pemikiran-pemikiran yang mengganggu itu!" Lanjutnya.

Daiki bisa mendengar bisikan-bisikan dari anggota lain yang sedang membicarakan dirinya saat ini. Namun, ia tidak begitu mempedulikannya dan tetap berusaha fokus agar bidikannya tidak meleset kali ini.

Ia perlahan menarik napas beberapa kali, lalu mengeluarkannya. Ia pun mulai mengangkat tangannya kembali dengan tangan kanannya menarik tali dari busur panah yang ia pegang di tangan satunya, dan ketika mendengar bunyi klik pada clicker nya, ia pun segera melepaskan anak panah di jarinya.

"Ah! Sial!" Umpat Daiki dengan suara berbisik sebab bidikannya tidak mengenai sasaran untuk kesekian kalinya pada latihan kali ini.

"Hmm...Takayasi?...Kembalilah ke tempatmu..." Kata senseinya.

"Berikutnya, giliran murid kelas 2!" Lanjutnya.

Daiki duduk dengan melipat kedua kakinya. Walau dengan mata yang terus mengamati latihan dari kelas berikutnya, pikirannya malah sibuk memikirkan diri sendiri. Baru kali ini, ia serasa mempermalukan diri sendiri. Namun, ia tidak ingin begitu memikirkan keadaannya saat ini, dan tetap berusaha agar pemikirannya terfokus pada arahan penting yang disampaikan oleh si sensei.

Sekitar satu jam telah berlalu dan waktu latihan pun berakhir. Semua orang di clubnya segera membereskan semua peralatan mereka, lalu mulai meninggalkan ruangan satu per satu. Akan tetapi, bukannya melakukan hal yang sama, Daiki malah berniat untuk melanjutkan latihannya.

"Takayahi?..." Panggil sensei dengan memegang bahu kirinya.

"Istirahatlah...kau hanya butuh istirahat...di latihan berikutnya, kau akan kembali pada dirimu lagi" Kata sensei dengan menepuk-nepuk bahunya.

"Kerja bagus..." Lanjutnya, lalu meninggalkan tempat ini.

Ia memikirkan perkataan senseinya. Benar juga, menurutnya. Ia tidak perlu memaksakan diri untuk berlatih. Walau seberapa keras ia berlatih jikalau memang belum dapat memfokuskan pikirannya, akan mendapatkan hasil yang sama juga nantinya. Ia pun mengurungkan niatnya dan segera meletakkan busur kembali pada tempatnya, kemudian mengganti seragamnya.

"Senpai!" Sapa seorang wanita ketika ia hendak meninggalkan tempat ini.

Tampak tidak asing baginya. Ia yakin bahwa ini bukan pertama kali ia melihat wanita ini...ah! Wanita ini! Wanita yang sama dengan yang menempelkan sebuah kertas pada loker Haru.

Dengan malu-malu, wanita ini memperkenalkan dirinya pada Daiki dan begitupun sebaliknya. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia berusaha menahannya. Daiki bisa melihat jelas pada ekspresi wajah wanita ini. Namun akhirnya, ia pun mulai berbicara walau dengan terbata-bata karena gugup untuk menjelaskan mengapa ia menemui Daiki sore ini.

Daiki tersenyum mendengar ulasan singkat yang membuatnya begitu memahami maksud dari pembicaraannya saat ini. Ia mengerti. Wanita yang katanya menyukai Haru dari beberapa bulan lalu ini memintanya untuk memberi Haru secarik kertas yang berisikan ungkapan perasaannya. Aneh sekali. Padahal mereka sudah bertukar nomor sebelumnya.

"Hmm...aku sudah lama menulisnya...dan aku tidak sempat memberikannya..." Ujar wanita itu.

"Mohon bantuannya, senpai..." Lanjutnya, lalu segera pergi dengan berlari-lari kecil.

Daiki pun mulai berjalan menuju pintu gerbang, dimana Haru sedang menunggunya saat ini dengan terus mengamati secarik kertas yang dilipat rapi di tangannya, dan membuatnya tersenyum. Aneh sekali. Pikirnya.

Memberikannya pada Haru? Ia meremas kertas itu dengan kuat hingga sedikit kusut, lalu terkejut ketika menyadari hal yang ia lakukan benar-benar diluar kendalinya. Ada apa ini? Ada apa denganku? Ia menyentuh kepalanya, dan debaran di dadanya?...Argh! Begitu mengganggunya.

Dari kejauhan, terlihat Haru melambaikan tangan padanya. Sepertinya, ia berada disana sudah sejak tadi, dan baru kali ini, Haru tidak membuatnya menunggu dengan datang lebih awal di tempat itu. Sebuah kebetulan yang cukup mengagumkan.

Daiki pun segera menghampiri Haru dengan tangannya memasukkan lipatan kertas itu ke dalam saku celananya. Bukan maksud menyembunyikannya, hanya saja...hanya saja... tunggu! Ada apa dengan dirinya?

Haru pun mulai melangkah beriringan denganya, dan seperti biasa tidak ada yang saling berbicara. Sudah menjadi sebuah rutinitas di tiap perjalanan pulang mereka.

Daiki begitu ingin menarik lipatan kertas itu dari saku celananya dan memperlihatkannya kepada Haru, tetapi hatinya seperti meronta tiap kali ia memikirkan niatan itu.

Bicaralah! Kumohon! Buatlah sebuah lelucon! Sudah setengah dari perjalanan mereka, tetapi Haru tidak biasanya membiarkan keheningan berlangsung terlalu lama. Ada apa ini? Ada apa dengannya?!

Bagaimana memulai suatu pembicaraan? Daiki bukanlah seorang yang pandai melakukan hal itu. Sikap tak banyak bicara sudah menjadi kebiasaannya. Tidak mungkin mengubahnya seketika ini juga. Tidakkah ia mengerti?

Beeeeep beeeep beeeeep

"Ah Nishimiya-chan, ada apa?--Ya, aku baru saja meninggalkan sekolah--Haha...iya iya, jika tidak sibuk--Ok, baiklah--" Haru pun segera mematikan teleponnya.

Wanita itu. Nishimiya...chan? Perasaan apa ini? Sangat mengganggu. Menyesakkan. Daiki belum pernah merasakan hal yang seolah sedang memancing amarahnya seperti sekarang ini. Sangat mengganggu.

"Hmm...Daiki, bagaimana kalau--" Haru tidak melanjutkan perkataannya.

Daiki menyingkirkan tangan Haru pada bahunya dengan kasar, lalu segera berlari sekuat yang ia bisa. Ia tidak ingin melihat Haru. Begitu menyebalkan. Pikirnya. Namun, sepertinya Haru tidak membiarkannya untuk berlari terlalu jauh sebab ia sudah menghentikannya dengan menggenggam pergelangan tangannya begitu kuat.

"Hei! Ada apa denganmu?" Tanya Haru begitu khawatir.

"Haru...aku akan pulang lebih dulu...sampai jumpa..." Jawab Daiki, lalu segera mempercepat langkahnya; meninggalkan Haru.

Ia menundukkan kepala sambil terus melanjutkan langkahnya. Haru benar-benar tidak mengikutinya, dan membuat rasa tidak enak di dadanya semakin mengganggunya.

Ada apa dengannya? Haru mengabaikannya; mendiamkannya tanpa kata; tanpa lelucon menyebalkan yang menyenangkannya. Apa karena seorang wanita?

Semua tampak abu-abu. Perasaan dan juga pemikirannya. Seperti sore yang kelabu; seperti Haru. Apakah ini yang dinamakan cemburu? Ada rasa marah dan kesal yang berpadu? Tidak! Haru hanya seorang teman, mengapa harus cemburu? Benar sekali! Mengapa harus cemburu? Pemikiran bodoh yang akan segera berlalu.

*****

Sudah pukul 11 malam, tetapi Daiki masih saja terus terjaga sebab begitu sulit untuk memejamkan kedua matanya dengan pemikiran yang masih memikirkan kelakuan mempermalukan diri sore tadi.

Betapa bodohnya ia bersikap seperti itu, tadi. Berlari begitu saja tanpa sebuah alasan seolah sengaja menunjukkan diri agar Haru mengetahui perasaannya.

Menyesal? Daiki begitu menyesalkan tindakan itu. Perasaan yang ia rasakan membuatnya lupa diri; melupakan dirinya yang sebenarnya. Begitu rumit.

Abstrak. Perasaan yang abstrak. Sering kali ia berkata begitu sulit untuk menjelaskan perasaannya, tetapi ia sendiri jauh lebih memahami perasaannya. Hanya tidak ingin mengakuinya; mengatakan hal yang sulit dan berbelit-belit, tetapi sebenarnya merupakan hal yang mudah.

Ia meraih secarik kertas yang terlipat sudah tak rapi itu dari atas meja. Entah mengapa tiap kali menyentuhnya, perasaan menyebalkan menyertai perasaannya, dan membuatnya meletakkan kertas itu kembali di atas meja. Namun, rasa penasaran seperti mengendalikan tangannya untuk meraihnya kembali, dan seakan memaksanya untuk membuka lipatan kertas itu walau seberapa kuat keinginannya untuk tidak melakukan hal itu.

"Senpai, aku telah mengagumimu begitu lama dan aku sangat menyukaimu"

"Kuharap, kita bisa saling mengenal untuk lebih dekat lagi"

"Nishimiya Kanna"

Daiki tersenyum setelah membaca surat dari seorang wanita yang bernama Nishimiya Kanna tersebut. Menjijikkan. Dengan bodohnya wanita itu jatuh hati pada seorang gay. Pikirnya. Namun, semua pernyataan itu hanya untuk mengalihkan perasaan yang sebenarnya, dan ia sudah mengetahuinya sejak awal.

Ungkapan perasaan dari seorang wanita telah menyakiti perasaannya. Mengapa harus Haru? Tidak! Sangat tidak ia benarkan untuk seorang yang normal sepertinya. Pikirnya. Akan tetapi, apakah memang ia seorang yang normal? Sedang ia sendiri telah menyadari bahwa ia bukan seorang yang normal lagi sejak mengenal seorang yang membuatnya seperti sekarang ini.

Ia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Ia tidak ingin menjadi penjahat dan membuktikan bahwa selama ini pemikirannya adalah sebuah kekeliruan sehingga ia memutuskan untuk memberitahu Haru mengenai surat ini, sebagai sebuah pembuktian bahwa ia sama sekali tidak mempunyai rasa.

Ia pun meraih ponsel yang berada di atas meja, lalu segera menghubungi Haru tanpa peduli ia sudah terlelap ataukah belum sama sekali. Namun, sepertinya pembuktiannya tidak untuk hari ini sebab ponsel Haru sedang berada dalam panggilan lain. Menyebalkan.

Diraihnya bantal lalu diletakkan; menutupi kepalanya, dan meremasnya begitu kuat. Sangat menyebalkan. Wanita itu dan Haru. Ya, mereka pasti sedang berbicara saat ini dan membuatnya tersenyum; berusaha menutupi perasaan sebenarnya.

Beeeeep beeeep beeeeep

Youichi Haruhiko

Melihat panggilan darinya, membuat Daiki serasa tidak dapat mengendalikan tangannya untuk meraih ponselnya, dan menjawab telepon dari seorang yang membuatnya serasa ingin membenturkan kepalanya di dinding saat ini.

"Halo? Ada apa?" Tanya Haru di telepon.

"Tumben kau meneleponku...hahaha" Lanjutnya dengan terbahak.

"Hmm...aku lupa memberimu surat dari Nishimiya...aku akan memberimu besok" Jawab Daiki dengan bersikap seperti biasa.

"Oh...baiklah..." Balas Haru.

Ya, berbohong; mendustakan hal sebenarnya demi diri sendiri. Maafkan aku, Haru. Daiki berusaha untuk menutupi segalanya; menutupi perasaannya dari diri sendiri; dan perasaannya kepada...tidak! Argh! Daiki belum ingin mengakui perasaannya terhadap sesuatu yang nyata.

"Hei...apa kau baik-baik saja?" Tanya Haru.

"Kata Shino, kau bermasalah saat latihan..." Lanjutnya.

"Shino?" Daiki kembali menanyainya.

Shino? Takayama Shino? Teman sekelasnya? Sekarang ia mengerti. Mereka berdua berada di kelas yang sama. Tak heran jika Haru mengetahuinya. Hal menyebalkan sekali lagi. Ternyata mereka berdua cukup akrab rupanya. Pikirnya.

Daiki pun mulai merangkai sebuah kata per katanya hingga menjadi sebuah alasan. Sedikit menambah dan mengurangi. Ia cukup terbiasa meramu dusta dan realita jika menyangkut kepentingan diri sendiri; mengatakan hal yang meyakinkan sebagai sebuah dusta; dan meragukan suatu hal yang nyata.

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk berbicara di telepon. Segera Daiki mematikan teleponnya sebab berbicara dengannya membuatnya kembali ingin membenturkan kepalanya.

Seorang wanita telah membuatnya merasa ketakutan untuk kehilangan seseorang yang begitu dekat dengannya saat ini, yaitu seorang teman yang membuatnya melewati batas dirinya sendiri. Haru. Akan tetapi, Daiki bukanlah seorang yang berhak untuk menjadi overprotektif terhadapnya walau sekalipun ia mengetahui bahwa Haru mempunyai perasaan kepadanya. Namun, berbeda dengan wanita itu sendiri. Suatu kesalahan jika menganggu hak mencintai. Ia hanya bisa menunggu sebab perasaan bisa berubah pandangan. Kapan saja dan kepada siapa saja.

*****