"Aku pulang" Haru segera masuk, lalu mengganti sepatunya.
Ia berjalan hendak naik ke kamarnya, tetapi ibunya yang saat itu sedang berdiam diri di dapur, mengejutkannya sejenak. Ia pun segera menghampirinya.
"I-ibu?" Panggilnya dengan mengecilkan suaranya.
Ibunya bangkit dari tempat duduk, dan bergerak menghampiri Haru yang kembali dikejutkan dengan paras dingin ibunya.
"Dari mana saja kau?" Tanya ibunya dengan nada suara yang datar.
Sikap dingin ibunya turut mendinginkan suasana di antara ibu dan anak ini. Tidak biasanya, dan ia tahu bahwa saat ini ia dalam sebuah masalah.
Ia menarik baju Haru, "kau merokok?!" lalu mendongak menatap tajam wajahnya.
Haru memalingkan wajahnya, "a-aku...tidak menghabiskannya".
"Tapi merokok tetap saja merokok!" Bentak ibunya, menyebabkan keheningan terjadi untuk beberapa saat.
"Haru? Anakku? Wali kelasmu menelpon ibu...katanya kau tidak masuk sekolah selama seminggu ini. Apa kau punya alasan untuk itu?" Tanya ibunya dengan mengganti topik pembicaraan, dan membuat Haru kembali menatap ibunya dengan melebarkan kedua matanya.
"I-ibu kan lihat sendiri...aku selalu pergi--" Haru berhenti berbicara saat tangan ibunya sudah mendarat pada pipi kirinya dengan keras!
Hah! Ibunya dikejutkan oleh tindakannya sendiri! Ia segera mengelus wajah Haru yang tampak memerah pada tempat tangannya mendarat tadi.
"Haru?!...Kau tidak apa-apa, sayang?! Ibu benar-benar minta maaf...!" Dengan cemas, ia terus saja mengelus-elus wajah anaknya, lalu memeluknya dengan hangat.
Haru membalas pelukan hangat dari ibunya sembari meminta maaf atas kelakuannya yang membuatnya kesal.
Setelah pertemuannya dengan Daiki seminggu yang lalu, Haru memutuskan untuk tidak masuk sekolah agar terhindar dari tatap muka yang bisa saja mengoyak perasaannya kembali. Dan membohongi ibunya tanpa memikirkan hal lainnya. Padahal, seminggu lagi ujian kelulusan akan dimulai. Ia sama sekali tidak memikirkan hal itu. Kepalanya begitu sibuk untuk menemukan sebuah cara agar melupakan seseorang dengan perasaannya yang masih tersisa.
*****
Saat ini, Haru seperti seekor anjing yang kehilangan tuan dan menjadi liar. Melupakan dirinya yang dulu, atau bahkan sudah tidak tertarik lagi. Apa lagi, pada kisah asmara yang hanya membodohinya. Dimana mencintai adalah hal yang paling menyakitkan.
Tingkahnya tak jarang membuat ibunya selalu memarahinya, dan "maaf" mungkin sudah cukup membosankan bagi seorang ibu yang mengkhwatirkan anaknya. Tiba-tiba saja menjadi seorang brandalan. Pulang ke rumah pada larut malam, bagaimana ibunya tidak cukup khawatir?
Beberapa kali, ibunya mencoba untuk membujuk agar ia menceritakan masalahnya, tetapi ia tidak pernah ingin membicarakannya. Kesia-siaan untuk mengatakan bahwa seorang pria telah membuatnya seperti ini. Hanya akan membuat masalah menjadi lebih bermasalah lagi.
*****
Keesokan malamnya. Pada hari minggu. Haru menutup diri di dalam kamar yang pada saat itu lampu tidak ia nyalakan. Remang-remang, terpantul cahaya dari luar kamarnya.
Ia duduk di samping tempat tidur, dan menyandarkan tubuhnya pada dinding kamar yang hampir separuhnya di penuhi gambar beberapa karakter favoritnya.
Ia terkekeh kecil saat mengingat bahwa ia pernah berpikir ingin masuk di universitas yang sama dengan Daiki. KYODAI. Namun, belum sempat ia memberitahukan kabar itu padanya, ia sudah terlanjur....Ia tak ingin memikirkannya.
Haru meraih ponsel di atas tempat tidur dan membuka semua pesan ataupun sosial medianya. Berharap seorang yang spesial akan membuatnya senang dengan menanyakan kabarnya.
Ia tertegun sejenak saat menyadari orang itu tidak akan pernah melakukan hal itu, "bodoh...".
Diluar dugaannya bahwa saat ini ia merindukan seseorang yang sudah menghancurkan perasaannya, tetapi juga sangat menyakitkan jikalau teringat akan perkataannya.
Mengapa ia harus menyukai seseorang seperti dia? Ia begitu—entahlah! Ia tidak tahu pasti perasaannya kali ini; karena kebencian ataukah kecintaanya terhadap orang itu, ia dibutakan oleh perasaannya sendiri.
Haru bangkit dari posisi duduknya, lalu berjalan mengambil hoodie hitam yang tergelak begitu saja di atas tempat tidurnya, dan mengenakannya.
Ia pun mulai berjalan keluar kamar, lalu menuruni tangga; hendak keluar untuk mencari angin segar.
"Haru…?" Panggil ibunya yang saat ini sedang menyiapkan makan malam di dapur.
"Kau mau kemana?" Tanyanya sembari menghampiri Haru yang sedang sibuk mengikat tali sepatu.
"Haru?!" Kali ini, ia meninggikan suaranya.
Haru tetap mengabaikannya, lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa. Meninggalkan ibunya yang memancarkan kekhawatiran pada wajahnya.
*****
Langkahnya terhenti di depan sebuah bar kecil di tengah kota. Ia mengamati tiap sudutnya dari luar, lalu melangkah masuk dengan pasti.
Ia kembali mengamati sekitar. Kali ini, mengamati orang-orang di dalamnya. Dari sudut kiri, ada seorang pria paruh baya yang sedang mabuk berat. Sedang di tempat lain, seorang wanita tampak sumringah saat seorang pria menggodanya.
"Hai…" Sapa seorang wanita dengan dua gelas menimun di tangannya, lalu duduk di hadapan Haru.
Wanita itu memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangannya, dan segera diraih oleh Haru yang juga menyebutkan namanya.
Wanita Tiongkok berusia sekitar 20 tahun atau mungkin lebih muda dari itu. Ia cukup cantik nan seksi dengan gaun tipis sepaha yang dikenakannya. Dan juga, rambut hitam panjang terawatnya tampak begitu Indah. Berkilau diterpa cahaya lampu.
Wanita itu menggeser segelas minuman hingga menyentuh jari kelingkingnya, dan berbisik lembut, menyuruhnya untuk meneguk minuman di hadapannya.
Tangan nakalnya sesekali mengelus-elus jemarinya, dan dengan mata genit yang memandangnya, menandakan ia seorang wanita penghibur di tempat ini. Mungkin.
Haru tidak masalah akan pekerjaan wanita itu. Hanya saja ia memang tidak mempunyai ketertarikan terhadap seorang wanita, bukan? Walau seberapa besar usahanya.
Wanita itu berpindah ke samping tubuh Haru, lalu meremas-remas pundaknya; mengelus pahanya, dan membelai-belai wajahnya; menunjukkan ia begitu tertarik padanya.
"Aku baru melihatmu di tempat ini...apa kau kesepian?" Tanya wanita itu dengan tubuh yang bersender pada Haru.
Haru mengabaikan pertanyaan itu, lalu meneguk minum di depannya. Argh! Rasanya benar-benar tidak enak! Uhuk! Uhuk! Walau ia pernah meminum sebuah bir, tetapi rasa dari minuman beralkohol ini benar-benar berbeda dengan sebuah bir.
"Hei...kau tak apa? Jangan bilang kalau ini pertama kalimu meminum alkohol? Hmm...menarik sekali" Katanya sembari tersenyum penuh gairah terhadap Haru.
Haru menatap wanita yang masih bersender padanya, dengan tangan kiri wanita itu sudah berada di dadanya dan meraba-raba sekitarnya.
"Kau tak ingin bermain-main denganku?" Wanita itu mengangkat wajahnya, menatapnya dengan genit.
Haru mengerutkan kening, "maksudmu?"
"Aku menyukaimu...maukah kau mengajakku ke tempat lain untuk bersenang-senang?" Tanya wanita itu dengan posisinya sudah memeluk tubuh Haru.
Baiklah! Sekarang, Haru benar-benar memahami maksud dari "bermain-main" atau "bersenang-senang", yang baru saja ia katakan.
"Kau yakin? Ingin bersenang-senang dengan anak dibawah umur sepertiku?" Tanya Haru dengan memaraskan senyum sinis.
Wanita itu segera mengambil posisi tegak, "sudah kuduga! Tapi, aku tidak terlalu mempedulikan soal usia. Selama dia adalah tipeku, aku akan tetap menyukainya" lalu kembali memeluk tubuh Haru.
"Tch!...Sayangnya, aku tidak tertarik" Balas Haru sambil melepaskan tangan wanita itu pada tubuhnya, dan segera berdiri untuk meninggalkan tempat ini.
"Tunggu!" Wanita itu menahan dengan menarik lengannya, lalu menyelipkan sesuatu ke dalam saku celananya.
"Ini kartu namaku. Siapa tau, suatu saat kau berubah pikiran" Lanjutnya dengan melepaskan lengan Haru.
Haru melihat jam pada ponselnya. Pukul 22:00. Sudah jam 10 malam. Ia harus bersiap saat ibunya menanyakan keterlambatannya untuk kesekian kalinya lagi.
"Haru?!...Haruhiko?!" Panggil seseorang dari belakang.
Haru menghentikan langkahnya. Suara yang tidak asing mengejutkannya, dan membuatnya segera berbalik ke belakang untuk memastikan seseorang yang memanggil namanya. Daiki!
"Lihat dirimu! Ada apa denganmu?!" Tanya Daiki yang saat itu, juga begitu terkejut ketika melihatnya.
Haru membungkam dengan kedua tangan dikepal di samping tubuhnya. Sedang kepalanya memikirkan pertanyaan yang mengesalkan itu.
"Ada apa denganku? Menurutmu?...Tch! Kau tidak pantas menanyakan hal semacam itu" Balas Haru yang tersenyum tak sampai di matanya, tetapi tak bertahan lama sebab wajahnya kembali merengut.
"Pergilah..." Lanjutnya.
Daiki menundukkan kepalanya sejenak, lalu melangkah lebih dekat ke hadapan Haru, dan memandang wajahnya.
"Haru?...Apa kau benar-benar sangat membenciku?" Tanya Daiki dengan mata yang seakan sedang mengharapkan sesuatu darinya.
"Maafkan aku. Tidak masalah jika kau tidak memaafkanku. Itu pilihanmu. Aku juga akan memikirkan hal yang sama jika berada di posisimu. Siapa juga yang mau memafkan seseorang yang sudah mengatakan hal buruk seperti itu, bukan?" Lanjutnya, lalu menggigit bibir bawahnya untuk menahan sesuatu dari dalam dirinya.
"Tapi, asal kau tau saja, aku tidak akan berhenti sampai kau jenuh dan memaafkanku" Katanya sekali lagi.
Setelah mengatakan hal itu, ia segera meninggalkan Haru yang saat itu merenungkan perkataan yang menimbulkan banyak pertanyaan di kepalanya.
Perkataan yang memberikan pemikiran baru. Ia tahu bahwa di dalamnya ada pesan yang Daiki sampaikan, tetapi ia bukanlah seorang yang cekatan dalam menafsirkan sesuatu yang tersirat.
Perkataan dan tingkah itu membuatnya membeku sesaat. Baru saja mereka bertemu, tetapi Daiki datang seakan hanya membawa kegelisahan semata.
Di perjalanan pulangnya, pemikirannya semakin dibuat berputar-putar oleh berbagai pemikiran, tetapi masih pada konteks yang sama; menghubungkan masalah lalu dan sekarang ini; dan membuatnya serasa hampir gila, hingga suatu keputusan muncul dengan sendirinya di tengah-tengah pemikirannya saat ini.
Ia memutuskan untuk melupakan semuanya; menganggap bahwa mereka tidak pernah sedekat itu; dengan tetap bersikap seperti biasa sebelum mengenalnya. Tentunya berbeda dari perasaannya sendiri. Namun, menuruti perasaannya sama dengan terjebak pada kesalahan yang sama.
Memanjakan perasaannya sering kali menyebabkan luka, dan mengabaikan logikanya adalah hal yang salah. Suatu kesalahan yang sering kali ia lakukan setelah mengenal orang itu.
Benar tidaknya keputusan ini, ia hanya menunggu waktu untuk membuktikannya. Semua akan terjawab saat waktu mulai berbicara.
Mungkin sebuah keputusan yang rumit jika memikirkan perasaan yang memang ingin tetap berdiri. Namun, suatu hal yang bodoh juga jika terus mengikuti perasaan yang memang adalah sebuah kesalahan terbesarnya.
*****