Keesokan harinya...
"Hei, Youichi?!" Seru seseorang dari kejauhan.
Haru menolehkan kepalanya ke arah orang yang sedang berlari-lari kecil menghampirinya saat ini di taman universitas. Ia menutup buku yang dibacanya, lalu tersenyum dan melambaikan tangannya pada seseorang yang sudah semakin dekat itu.
"Huh...kau tidak mau ikut pada kencan buta malam ini?" Tanya orang yang baru saja tiba di hadapannya sambil terus mengatur napas.
"Hah? Aku sudah punya kekasih. Aku tidak butuh kencan seperti itu lagi hahaha" Haru tak dapat menahan tawa yang seperti sedang menggelitik keseluruhan tubuhnya.
"Huh...ya, aku tau. Tapi tolonglah, kami kurang satu orang. Kencan itu akan dibatalkan jika masih tidak lengkap. Ayolah, aku berharap padamu" Balas orang itu sambil menghela napas.
"Hei, maafkan aku. Tapi, aku benar-benar tidak bisa bergabung. Aku bekerja malam ini" Kata Haru yang masih pada cengingiran kecilnya.
Orang itu pun akhirnya menyerah, lalu pergi meninggalkan Haru dengan perasaan kecewa terlihat jelas pada raut wajahnya. Namun, apa boleh buat? Haru sudah mengutarakan dua alasan sebenarnya. Walau ia ingin membantu, tetap saja ia tidak mempunyai waktu.
Haru kembali pada kegiatan sebelumnya; membaca buku di tangannya. Akan tetapi, hanya sesaat saja sebab sesuatu yang terlintas di kepalanya membuat tangannya bergerak untuk menarik ponsel dari saku celana jeans hitam yang dikenakannya, dan mulai menghubungi seseorang.
"Oi, Shino, kau sibuk sore ini?" Tanya Haru di telepon.
"Arghh…aku benar-benar tidak tau harus melakukan apa hari ini. Cukup membosankan" Jawab Shino dengan nada suara yang terdengar lesu.
"Benarkah?! Kalau kau hanya berdiam diri di kamarmu sore ini, datang saja ke tempatku. Aku mempunyai satu kelas lagi dan akan selesai siang ini" Ajak Haru dengan begitu bersemangat.
"Wah! Aku akan segera kesana saat kau sudah selesai dengan kelasmu. Kau harus mengabariku saat kau sudah mau kembali. Aku akan langsung kesana nanti!" Kata Shino yang tak kalah bersemangatnya dari Haru.
"Ya, baiklah. Aku akan menghubungimu lagi. Kalau begitu, sudah dulu. Aku harus segera bersiap-siap untuk kelasku selanjutnya" Balas Haru, lalu segera menutup teleponnya.
Haru pun berjalan menuju kelas selanjutnya. Begitu damai. Pikirnya. Tidak ada lagi yang memberinya julukan aneh seperti 'prince' saat di bangku sekolah dulu; tidak ada lagi para wanita yang menjerit histeris saat melihatnya.
Hidup damai seperti ini yang selalu ia impikan saat di sekolah dulu. Tentram, tidak ada suara berisik yang menyertai hari-harinya. Bukan karena tak sepopuler dulu, melainkan para wanita di universitas tampak lebih elegan dalam menyampaikan perasaan mereka; tidak perlu menjerit kekanak-kanakan. Akan tetapi, ketika mengenang masa lalu, seperti ada yang kurang dari dirinya; yang juga begitu menyakitkan!
Argh! Ia tidak ingin mengingat suatu hal yang sudah hampir ia lupakan; hal yang tidak lagi menjadi penting baginya!
*****
Sepulang dari universitas, sekitar pukul 4 sore, ia mulai mengirimkan pesan singkat kepada Shino untuk mengabari bahwa ia akan tiba beberapa saat lagi, dan segera dibalas oleh Shino begitu cepat.
Haru pun mempercepat langkahnya agar tidak membuat Shino menunggu terlalu lama. Namun, niatnya untuk terburu-buru terhenti saat suara imut dari seorang wanita memanggil namanya dari belakang!
Ia berbalik dan melihat seorang wanita cantik berambut panjang yang mengenakan seragam sekolah musim dingin, berdiri tepat di hadapannya saat ini.
"Ah, K-Kanna-chan? Apa itu kau?" Tanya Haru untuk memastikan sembari terus mengamati seorang wanita yang cukup dikenalnya, sudah tampak berbeda sejak terakhir kali mereka bertemu pada hari kelulusan.
"Iya, senpai. Ini aku. Kupikir, kau sudah lupa dengan wajahku" Jawab kenna dengan senyum khas yang tidak pernah berubah sejak setahun ini. Dan, lesung pipi kecil di atas bibirnya menambah kecantikan wajahnya saat pertama kali bertemu. Namun, sesuatu yang dilihat oleh Kanna membuatnya begitu terkejut sampai Haru kebingungan karena sikap terkejutnya.
"A-ada apa?" Tanya Haru yang begitu ingin tahu.
"S-senpai, bukankah itu scarf yang kuberikan untukmu saat hari kelulusanmu dulu?" Kata Kanna, kembali menanyai dengan masih pada perasaan terkejut di raut wajahnya.
"Ah, ini? Hmm, benar. Ini punyamu. Aku selalu menggunakannya saat aku ingin keluar. Aku kan sudah berjanji padamu, kalau aku akan menggunakannya pada musim dingin pertama di tahun ini" Kata Haru dengan tersenyum lebar padanya.
Pipi Kanna merona seketika. Bukan karena udara dingin, melainkan perkataan Haru yang membuatnya memerah seperti buah apel yang mengkilap.
"Aku sangat senang, senpai. Kupikir, perkataanmu sekedar ucapan saja. Tapi, kau menepatinya. A-aku...aku...sangat senang". Kata Kanna yang tertunduk malu, menyembunyikan wajahnya yang kian merona.
"Hmm, kalau begitu, aku permisi dulu" Lanjutnya, lalu meninggalkan Haru dengan terburu-buru.
Entah apa yang dipikirkan oleh wanita yang baru saja pergi dengan wajahnya yang masih merona malu-malu. Katanya senang, tetapi malah menjauh. Sungguh Haru tak tahu-menahu mengenai hal itu.
*****
Haru melihat Shino yang bersandar di depan pintu sembari menundukkan kepalanya saat ia tiba di tempatnya. Ia pun segera menghampiri Shino dengan terus menertawakan dirinya yang duduk seperti seorang yang kehilangan tempat tinggal.
"Oi, Shino! Kau seperti orang gila di depan pintuku" Tutur Haru disertai cengingiran kecil yang ia tahan.
"Ayo, masuk!" Lanjutnya sambil membuka pintu.
Shino menatapnya dengan sinis, lalu mengikutinya dari belakang. "Kau membuatku menunggu seperti seabad lamanya".
"Hahaha...tadi, aku bertemu dengan kawan lama, jadi aku sedikit terlambat" Balas Haru dengan sesekali nyengir membayangkan sikap Shino menunggu di depan pintu sangatlah mengocok perutnya tadi.
Haru masuk ke dapur, mengambil beberapa kaleng minuman di kulkas, lalu kembali ke tempat Shino menunggu di ruang tengah, yang masih terlihat kesal karena tak rela dirinya ditertawakan.
.....
Mereka berdua memainkan sebuah video game yang membuat rasa kekesalan Shino semakin menjadi-jadi sebab kekalahannya yang berturut-turut saat bermain bersama pro player seperti Haru.
Tentunya, Haru memanfaatkan momen kekesalan Shino untuk semakin membuatnya kesal, dengan terus menggodannya; mengatakan hal yang membuatnya geram hingga Shino yang malang menangis seperti seorang bayi yang direbut permen di tangannya.
Setelah itu, mereka juga membicarakan banyak hal mengenai kenangan sejak masih bersekolah dulu, dan membuat mereka begitu menertawakan hal yang begitu memalukan, menyebalkan, sampai sesuatu yang menggelikan pada masa bersekolah dulu.
.....
"Hei, Youichi? Apa kau pernah bertemu dengan Takayashi?" Tanya Shino dengan tiba-tiba dan membuat Haru terkejut seperti berhenti bernapas.
"Aku bahkan tidak ingin menemuinya" Jawab Haru dengan dingin.
Suasana yang tadinya penuh gelak tawa, seketika menjadi dingin setelah Shino menanyakan hal yang mengingatkannya akan sebuah kenangan buruk yang susah payah ingin ia hapus dari ingatannya.
"Kau tidak merindukannya? Kau masih menyukainya, kan?" Tanya Shino sekali lagi.
"Jika kau ingin membicarakannya, lebih baik kau keluar sekarang juga!" Kata Haru dengan menggertakkan giginya.
"Hahaha...serius sekali--Hmm, hei?! Kau tidak ingin bermain kartu remi?" Balas Shino, berusaha untuk mencairkan suasana beku di antara mereka berdua.
"Kau benar-benar merusak moodku. Aku seperti ingin menendangmu keluar dari tempatku sekarang juga" Kata Haru dengan tatapan tajam yang ia tunjukkan.
"Huft...ya, maaf...maaf...salahku. Tapi, ayolah, aku hanya bercanda. Jangan terlalu serius. Kekasihmu akan memutuskanmu jika kau terlalu serius menanggapi sebuah lelucon seperti itu" Kata Shino sambil nyengir.
Haru sama sekali tak ingin kembali mengungkit hal yang menjadi momok menakutkan dalam dirinya; hal yang benar-benar merusak suasana hatinya saat ini.
Tidak ada hal yang lebih buruk dari sebuah kenangan yang sampai saat ini, jika teringat mengoyak luka yang selama setahun ia sembunyikan dari setiap orang-orang baru yang ia temui. Namun, ia juga menyadari suatu hal yang tidak seharusnya ia rasakan kembali; sesuatu yang kurang membuatnya seperti halnya gelisah dan menyesalinya.
Mengapa saat mengingat kenangan buruk itu, kerap kali membuatnya merasa seperti kehilangan sesuatu?
Ia tak ingin menyesalkan sebuah keputusan yang saat ini sebagai keyakinannya, tetapi hal yang aneh dalam dirinya sedang berusaha merobek dadanya.
*****