Chereads / Am I Normal? / Chapter 23 - Pertemuan Pertama (2)

Chapter 23 - Pertemuan Pertama (2)

Haru perlahan menurunkan kepalanya; memfokuskan pandangannya pada seseorang yang sedang berdiri beberapa meter di hadapannya.

Hah! Napasnya tersentak seperti tersangkut di tenggorokannya!

Benar saja!

Tidak ada yang membuatnya lebih terkejut, selain bertemu dengan orang di hadapannya saat ini; tidak ada yang dapat membuat jantungnya menggebu-gebu, selain orang ini; dan membuatnya bergetar, selain mendengar suara dari orang ini! Tidak ada yang lain!

"Da-Daiki?" Haru menyebut namanya dengan suara yang ia kecilkan.

Wajahnya pucat tak berwarna. Rasa terkejut membuat tubuhnya kaku seperti orang mati! Tetapi, dengan kepala yang masih dapat memikirkan hal-hal yang serasa mengaduk-aduk isi kepalanya saat ini!

"Ke-kenapa kau…ada disini?" Dengan suara bergetar, Haru berusaha menanyakan hal yang muncul di kepalanya, tetapi dengan wajah yang ia palingkan.

Entah sedang menyembunyikan pucat di wajahnya sebab rasa terkejut, atau malah tak ingin memperlihatkan wajahnya yang sedang tidak enak dipandang.

Ia masih saja memalingkan wajahnya. Tak ingin memandang wajah seorang yang selalu menunjukkan sikap dingin kepadanya. Namun, ketika ia melakukannya, ada hal yang membuatnya tiga kali lebih terkejut dari rasa terkejutnya sebelumnya!

Saat ini, ia tahu bahwa Daiki sudah berada lebih dekat di hadapannya! Dan dengan tangannya yang sedang membersihkan rambutnya dari tumpukan salju, membuat jantungnya semakin berpacu!

Ia segera menatap wajah seorang yang sedang melakukan hal yang sama sekali tak pernah terlintas di pikirannya. Tak terduga yang membuat perasaan terkejut, senang, heran, bingung, menjadi seonggok rasa yang menjadi satu di dadanya saat ini.

Rasa begitu ingin memandang wajahnya, membuat kepalanya bergerak sendiri untuk melakukan hal itu. Walau seberapa kuat ia menahan, serasa membuatnya seperti bukan tuan dari dirinya sendiri. Akan tetapi, saat ia melakukannya, Daiki yang malah enggan menatap wajahnya.

Sembari menghentikan tangannya, Daiki menundukkan kepalanya seakan sedang menghindar dari kontak mata yang akan terjadi saat Haru menatap wajahnya.

"Haru, sampai kapan kau akan terus menghindariku?" Tanya Daiki yang terus menundukkan kepalanya.

Perlahan, Haru mengangkat wajah Daiki dengan kedua tangannya, dan berkata dengan lembut: "Sampai aku bisa sepenuhnya melupakanmu. Sampai namamu benar-benar menghilang dari kepalaku".

"Kau tau? Aku sudah berjanji dengan diriku bahwa aku tidak akan pernah menyebut namamu lagi. Tapi, kenapa? Kenapa kau malah datang? Hadir begitu saja seakan memaksaku untuk mengingat semuanya kembali. Kau...kau benar-benar menyebalkan. Keras kepala. Aku...aku benar-benar membencimu". Lanjutnya.

Beeep Beeep Beeep

Daiki hendak mengatakan sesuatu, tetapi deringan telepon menghentikannya untuk mengatakan apa yang hendak dikatakannya.

"Ada apa?" Tanya Haru di telepon dengan sedikit memberi jarak dari Daiki.

"Aku ada di tempatmu sekarang. Aku akan memasak untukku. Jadi, kabari aku jika kau sudah ingin kembali". Jawab seorang wanita yang tentu saja adalah Reina, kekasihnya.

"Aku sedang di jalan menuju kesana". Kata Haru yang sesekali melirik ke arah Daiki yang terus menatapnya saat ini.

"Hah? Tidak biasanya. Kenapa?" Tanya Reina.

"Ah, sudah dulu. Kita bicara nanti saja" Kata Haru, lalu segera menutup teleponnya.

Beeep Beeep Beeep

Reina kembali menghubunginya, tetapi bukannya menjawab panggilan dari sang kekasihnya itu, Haru malah mematikan ponselnya tanpa memikirkan perdebatan yang bisa saja terjadi diantara mereka berdua nantinya--terlintas di pikirannya pun, tidak!

Keheningan pun terjadi, sesaat setelah Haru mematikan ponselnya.

Sepertinya, deringan ponsel membuyarkan suasana diantara mereka berdua. Suasana yang seharusnya menjadi saat-saat dramatis diantara mereka berdua, malah menjadi lebih canggung seperti sebelumnya.

Mengapa ia tak berbicara? Bukankah ia yang lebih dulu menyapa?

Daiki benar-benar tidak berubah. Sikap tak banyak bicaranya selalu memaksa Haru untuk memulai suatu pembicaraan. Atau, mungkin karena suatu kecanggungan?

"Kau tidak kedinginan?" Tanya Haru, memecah keheningan di antara mereka berdua sembari menepuk-nepuk bahu Daiki, untuk membersihkannya dari tumpukan salju yang mengotori mantel hitam yang dikenakannya.

Daiki menggeleng pelan, lalu berkata: "Ada apa dengan wajahmu? Kau berkelahi?".

Haru tidak memberi jawaban. Hanya terus menatap kedua mata Daiki yang terlihat begitu kaku pada pertemuan pertama mereka.

Sepertinya, tidak hanya Haru yang merasa kaku dengan suasana seperti ini. Pikirnya, ia adalah satu-satunya yang merasa bahwa pertemuan ini menjadi hal yang membuatnya tidak dapat mengolah setiap kalimat di kepalanya. Dan nyatanya, orang sedingin Daiki pun juga merasakan hal yang sama.

Cukup mengejutkan! Ia pikir, Daiki adalah seorang yang tidak peduli dengan hal seperti ini!

"Tch, lupakan. Tidak penting" Lanjut Daiki, lalu menundukkan kepalanya kembali.

Haru menghela napas; menatap Daiki sejenak, yang tertunduk seperti sedang memikirkan suatu hal di kepalanya saat ini. "Aku duluan. Kau juga harus kembali. Udaranya semakin dingin disini". Ia menyentuh bahu Daiki, lalu segera pergi meninggalkannya. Mempercepat langkah kakinya, dan tidak menoleh sedikitpun untuk melihatnya.

Kebencian? Amarah? Ini bukan soal rasa benci dan juga marah. Ia meninggalkannya bukan karena ia membencinya ataupun marah padanya. Jika ada hal yang harus ia benci, maka itu adalah dirinya sendiri. Dan jika ada hal yang membuatnya marah, maka itu adalah perasaannya sendiri.

Semua kata 'benci' itu hanya untuk memanipulasi diri sendiri!

Ia mungkin selalu mengatakan benci, tetapi perasaan itu sudah lama berlalu, sejak setahun lalu; sejak Daiki mengutarakan kata maaf untuk pertama kalinya.

Lalu apa?

Ketakutan! Rasa takut jikalau ia bersamanya akan membuatnya tak ingin kembali pada sebuah janji yang pernah ia sepakati dengan diri sendiri; janji yang menyelaraskan hati dan juga pikirannya saat ini, yang memang hingga saat ini begitu enggan untuk bersatu!

Akan tetapi, entah sampai kapan! Bertemu dengannya saja membuatnya seperti ingin mengulang masa lalu.

*****

Setibanya di tempatnya, Haru pun segera membuka pintu dan mengganti sepatunya.

Ia tertunduk lesu sebab perasaan yang ia rasakan saat ini, sama seperti pada perasaan sebelumnya.

"Ah, kenapa kau tidak mengabariku kalau kau--hah! Ada apa dengan wajahmu?!" Tanya Reina yang begitu terkejut saat melihat memar pada wajah Haru.

"Kau belum pulang?" Haru menanyainya kembali dengan tidak menghentikan langkahnya.

"Aku menanyaimu! Ada apa dengan wajahmu?!" Tanya Reina sekali lagi dengan menegaskan nada suaranya.

"Sebaiknya, kau kembali. Orang tuamu akan mencarimu nanti" Kata Haru sembari melepas mantel yang ia kenakan, lalu menggantungnya.

Karena sudah semakin geram, Reina pun menarik kerah baju Haru begitu kuat hingga kancing pertama pada kemejanya terlepas, dan jatuh terpantul-pantul di atas lantai, lalu menghilang di bawah kursi.

"Bisakah kau pergi? Aku ingin sendiri malam ini". Kata Haru, lalu menghela napas panjang.

"Kau mengusirku?!" Tanya Reina yang dibuat semakin kesal sebab perkataan itu.

Haru menyentuh kepalanya, lalu meremas rambutnya begitu kuat ketika menghadapi wanita yang sudah semakin kesal di hadapannya. "Tidakkah kau melihat keadaanku sekarang ini? Apa aku terlihat baik-baik saja? Dan, satu lagi, kau juga tidak perlu tau sebabnya. Ini bukan urusan wanita!".

"Haaah...maafkan aku. Tapi, lebih baik, jika sekarang kau pulang; berbaring di tempat tidurmu yang nyaman; dan bermimpi indah--selamat malam" Lanjutnya.

Wajah Reina menunjukkan bahwa tangisan yang daritadi ditahannya sudah semakin meluap di matanya!

Ia pun mengambil tasnya dan mengenakan sepatunya; pergi tanpa mengatakan apa-apa; tanpa sebuah kata pamit padanya; apalagi kecupan manis yang biasa dilakukannya.

Setelah Reina pergi, Haru masuk ke kamar dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur.

Sejenak rasa tak enak hati, ia rasakan ketika mengingat perkataan yang mungkin sudah menyakiti perasaan wanita itu. Namun, pemikiran mengenai pertemuan pertamanya bersama seorang yang terus ia hindari selama ini, sepertinya lebih menarik perhatiannya saat ini.

Mengingat hal itu, dibuat jantung yang dulunya beku kembali menggebu-gebu. Sudah lama, ia tak merasakan tempo irama jantungnya yang begitu cepat seperti sekarang ini. Entah karena perasaan senang atau malah ketakutan!

Darah, paru-paru, jantung, dan semua hal dalam dirinya tidak bekerja seharusnya, sama seperti masa lalu; seperti saat ia mengajaknya berbicara untuk pertama kalinya, di atap sekolah setahun yang lalu.

Aku…aku hanya kasihan padamu...hanya itu alasanku ingin bersamamu...

"Tidak!" Haru meremas rambutnya begitu kuat!

Perkataan itu kembali terngiang hebat di kepalanya! Semua perkataan yang menyakitkan yang pernah di dengarnya sedang berdengung hebat di telinganya!

Orang itu adalah yang terburuk!

Ia tidak akan pernah kembali melakukan kesalahan yang sama!

Menyukainya adalah hal yang salah!

Semua perkataan itu selalu ia panjatkan untuk mempertahankan diri dari perasaan yang sebenarnya!

*****