Malam ini, Haru absen dari tempat kerja paruh waktunya. Ia sudah meminta izin kepada wanita yang merupakan atasannya di tempat itu untuk tidak masuk selama sehari, sebab banyaknya tugas perkuliahan yang sedang menumpuk selama beberapa hari.
Tentunya, dengan alasan seperti itu, membuat wanita itu segera menyetujuinya tanpa ragu. Dan bahkan, atasan yang baik hati itu memberinya tambahan waktu selama dua hari, lebih dari waktu yang dimintanya.
Wajar saja jika tugas-tugas itu menggunung, sebab Haru bukanlah seorang yang giat menyelesaikan tugas-tugasnya dengan tepat waktu. Sudah sejak dulu.
Baginya, "tiba masa, tiba akal" adalah hal yang unggul! Semua ide yang tak terpikirkan sebelumnya, akan muncul seketika saat waktu mulai menghimpit kepalanya.
.....
Ia menyandarkan punggungnya pada kursi, dengan mata yang terus menatap layar komputer; yang menunjukkan file tugas yang harus diselesaikannya malam ini. Tangan kanannya memegang mouse komputer, serta tangan satunya hanya berdiam di samping keyboard, di dekat sekaleng minuman yang juga akan menemaninya menghabiskan waktu semalaman ini. Akan tetapi, walau berlagak terpaku bah seorang pegiat tugas, pemikirannya saat ini jauh dari sikap yang ditunjukkan.
Saat ini, kepalanya sedang memikirkan hal yang tak semestinya; hal yang tabu lagi bagi dirinya; yang seharusnya lapuk, tetapi masih subur adanya; dan tentunya, pertemuan pertama mereka.
Bukan tanpa alasan ia melakukannya. Perasaan di dadanya seakan menariknya untuk kembali melihat masa lalu, yang juga serasa sedang berbisik merayu, "Lihatlah. Betapa dekatnya kalian berdua waktu itu. Tidakkah kau merindukan kebersamaan itu? Ayolah, lepaskan aku, perasaanmu".
Argh! Perasaan ini seakan memaksanya untuk mengulang waktu!
Cukup. Sudah cukup!
Ia mungkin seorang yang berpaling dari perasaannya sendiri, tetapi sebuah janji telah disepakati bahwa masa lalu bukan tempat untuk kembali. Jadi, mohonnya, cukup untuk menjadi seorang yang berpaling, tidak untuk menjadi seorang pengingkar janji.
Beeep Beeep Beeep
Deringan ponsel yang berada di atas meja, seketika membuyarkan lamunannya dari pemikiran yang seperti diaduk tak merata, yang membuatnya ingin melempar ponsel yang terus saja berdering, begitu mengganggu. Namun, dengan melihat nama 'Reina' pada panggilan yang masuk, mengingatkannya akan sebuah rasa bersalah beberapa hari yang lalu.
"Halo, Youichi-kun? Apa kau sibuk?" Tanya Reina saat Haru mengangkat teleponnya.
"Kau tidak di tempat kerjamu?" Lanjutnya.
"Ah, tidak. Aku tidak masuk hari ini. Ada apa?". Jawab Haru dengan nada suara datar.
Reina mulai menangis lirih, dan membuat Haru mengernyit bingung dengan sikapnya yang aneh malam ini. Sesekali, terdengar ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tangisan tidak dapat membuatnya berbicara.
"Hei, ada apa? Kau masih marah? Maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengusirmu waktu itu, tapi karena aku sedang ada masalah...hmm, membuatku benar-benar tidak dapat menjaga sikap waktu itu. Maafkan aku. Ini salahku" Ujar Haru, lalu menghela napas panjang.
Keheningan terjadi beberapa saat.
"Youichi-kun, apa kau mencintaiku?" Tanya Reina setelah tangisannya mulai mereda.
Haru tertegun sejenak, lalu menghela napas. "Tentu saja! Kenapa kau malah menanyakan hal yang sudah pasti?!"
"Tapi, kenapa saat kau sedang bersamaku, kau seperti terlihat memaksakan diri?" Tanya Reina sekali lagi.
"Kau sangat lucu" Haru menertawakan hal yang sama sekali tidak ia pahami. Mengapa ia mengatakan hal seperti itu? Sangat lucu. Dan membuatnya ingin tertawa lebih keras lagi. Tunggu! Tertawa? Ataukah mungkin hanya sekedar berpura-pura untuk tidak membenarkan perkataan yang memang sudah tepat itu.
"Hmm, lupakan. Mungkin hanya perasaanku saja. Aku tau kau mencintaiku" Lanjutnya sebelum Haru menjawab pertanyaan sebelumnya.
Di telepon, Reina memintanya untuk bertemu di akhir pekan ini. Dan segera disetujui oleh Haru sebagai penebus rasa bersalah yang memang tak seharusnya ia lakukan berulang kali, sebab ia tahu menyenangkan hati wanita itu akan membuatnya kembali berpura-pura sekali lagi. Akan tetapi, mendengar Reina kembali bersemangat, membuatnya berpikir jikalau hal itu tidak akan membuatnya menjadi seorang yang lebih buruk lagi.
.....
Setelah berbicara cukup lama di telepon, Haru pun kembali pada sikap awalnya, terpaku menatap layar komputer; menatap tugas yang belum juga ia selesaikan sejak tadi.
Tangannya bergerak meraih ponsel yang baru saja ia letakkan di atas meja, lalu melihat semua pesan-pesan dari para wanita sekelasnya dan juga kenalannya di universitas yang sama, yang sudah diabaikannya seharian ini. Namum, hanya sekedar melihatnya saja tanpa membuka atau bahkan membalas salah satu dari mereka.
Bukan berlagak sombong, atau sampai merasa yang paling populer di kalangan para wanita. Akan tetapi, menurutnya, jika hanya sekedar menyapa biasa, mereka bisa melakukannya kapan saja saat berjumpa.
Ding Dong
Ding Dong
Ia menatap jam pada layar komputernya. Pukul 8.00 malam. Kedatangan tamu di malam hari, hanya ada dua orang di kepalanya. Shino atau Reina, mereka berdua si pengunjung malamnya.
Ia pun berdiri, dan melangkahkan kaki untuk segera membuka pintu; menyambutnya dengan sapaan ramah.
Hah! Ia begitu terkejut! Matanya membelalak kaget saat membuka pintu, dan melihat orang yang sama waktu itu; sama dengan yang ia temui untuk pertama kalinya beberapa hari yang lalu, sedang berdiri dihadapannya saat ini!
Perlahan, ia melangkah mundur dengan kaki yang gemetar. Tidak! Bahkan, sekujur tubuhnya serasa bergetar sebab rasa tak percayanya mengalahkan rasa terkejutnya.
"Boleh aku masuk?" Tanya seseorang di hadapannya, yang saat ini juga sedang tersenyum padanya. Siapa lagi kalau bukan seorang yang sering kali membuatnya berdebat dengan diri sendiri, Takayashi Daiki.
Haru berbalik, membelakangi Daiki yang masih berdiri di luar pintu. Ia menyentuh keningnya, lalu menghela napas panjang. "Sebenarnya, apa mau?".
Mengapa ia disini? Apa yang ia lakukan disini? Bagaimana ia tahu tempat ini?
Ada banyak pertanyaan di kepalanya saat ini. Mungkin puluhan, mungkin juga ratusan, yang membuat pemikirannya berputar-putar tak beraturan; membuatnya serasa ingin menggila dalam satu waktu. Namun, belum saja ia menyudahi rasa terkejutnya saat ini, kejadian yang lebih mengejutkannya kembali terjadi.
Tiba-tiba saja Daiki memeluknya dari belakang begitu erat. Dan membuat jantung Haru semakin memompa sebegitu kuat, seperti membuatnya berhenti bernapas! Bahkan, telinganya sendiri bisa mendengar detak jantungnya yang mendentum sangat keras!
Apakah ia mendengarnya? Suara jantungku?
Daiki menyandarkan kepalanya pada pundak Haru. "Sampai kapan kau akan menghindariku?".
Haru membeku dengan bibir yang kaku. Rasa terkejut membuatnya terpaku!
"Kau, sampah..." Lanjut Daiki dengan mengecilkan suaranya.
"Sampah?" Kata Haru dengan berbisik, menanyai diri sendiri.
Julukan lama itu membuatnya luluh; membuat senyum tipis terparaskan pada wajahnya saat ini.
Ia sadar bahwa ia begitu merindukan julukan menyebalkan yang menyenangkannya itu. Sudah sejak lama, sejak terakhir ia menyebutnya dengan julukan itu.
Tunggu! Rindu? Apa benar ia merindukan julukan itu? Atau malah merindukan orang yang mengatakan hal itu?
"Daiki, pergilah" Kata Haru dengan mengecilkan suaranya.
"Aku tidak mau…" Balas Daiki yang masih betah menyandarkan kepalanya pada pundak Haru.
Perlahan, Haru berusaha melepas kedua tangan yang memeluk tubuhnya saat ini, sampai Daiki menurutinya untuk melepaskan kedua tangannya sendiri.
"Pergilah!" Lanjut Haru dengan lebih tegas.
"Tidak!" Tegas Daiki.
Haru berbalik ke arahnya. Menatap orang si pemilik wajah dingin ini. Ia yakin kepada diri sendiri bahwa jauh dari lubuk hatinya, ia masih begitu mencintainya walau seberapa besar usahanya untuk menutupi perasaannya. Namun, disamping itu, ia juga menyadari satu hal bahwa mencintainya adalah hal yang begitu menyakitkan.
"Aku mohon…" Kali ini, Haru memelas padanya.
"Tidak!" Daiki masih membalas dengan perkataan yang sama dan cukup tegas, lalu menundukkan kepalanya.
Haru mengangkat kedua tangannya, lalu meremas lengan Daiki. "Kau yakin?".
Daiki mengangkat kepalanya, dan menatap kedua mata Haru seakan sedang mencari tahu sesuatu di dalam pikirannya.
Namun, seolah sudah terbiasa dengan tatapan seperti itu, Haru pun segera menarik tangan Daiki, dan menyeretnya masuk ke dalam dengan menggenggam pergelangan tangannya begitu kuat, hingga membuat Daiki sedikit meringis. ia kemudian mendorongnya ke sofa, dan segera mengambil posisi di atas tubuhnya.
"Haru! Apa yang kau lakukan?!" Tanya Daiki yang saat ini begitu terkejut sembari terus mendorong Haru agar menyingkir dari atas tubuhnya.
Haru kemudian memeluk tubuh Daiki. Dan, benar saja! Sikap ini ternyata mampu menjinakkan seorang Daiki yang tadinya terus meronta.
"Daiki, kau tau kalau aku begitu mencintaimu, dan aku pun tau kalau kau juga sudah menolakku dengan perkataanmu yang masih dapat kuingat jelas di kepalaku. Tapi, apa maksudmu, datang kembali padaku?" Ujar Haru di telinga Daiki dengan lembut.
"Terlalu menyakitkan untuk mencintaimu, tapi bodohnya, aku masih melakukannya. Apa itu normal?" Lanjutnya.
Tangan Daiki bergerak perlahan membalas pelukan Haru, hingga membuatnya semakin erat memeluk tubuh Daiki yang saat ini belum juga mengatakan apa-apa. Namun, dengan tiba-tiba, kepala Haru bergerak sendiri mencium leher Daiki, hingga ia dapat merasakan aroma dari tubuh seorang yang sudah lama membuatnya segila ini.
Tentunya, Daiki dibuat begitu terkejut dengan sikap itu, dan mendorong tubuh Haru begitu kuat hingga membuatnya tersungkur ke lantai. Ia segera bangun dengan mata yang melirik ke arah Haru yang duduk melantai sembari menundukkan kepalanya.
"Pergilah..." Kata Haru yang masih tertunduk; menyembunyikan perasaan yang tergambar pada wajahnya saat ini.
"Ha-Haru, apa yang kau lakukan?" Tanya Daiki dengan suara bergetar.
"Pergilah..." Kata Haru sekali lagi.
Daiki masih belum beranjak. Entah apa yang membuatnya masih berdiam diri di tempat ini setelah Haru melakukan hal semacam itu.
"Pergi! Sebelum aku berubah pikiran!" Tegas Haru dengan menatap Daiki.
Daiki begitu terkejut setelah Haru berkata seperti itu. Matanya melebar seketika. Entah karena perkataan Haru, atau karena melihat matanya yang berkaca-kaca menahan air mata!
Daiki pun segera berdiri; menatapanya sesaat, lalu berlari keluar meninggalkanya.
Setelah itu, Haru memandang sofa, tempat ia melakukan hal bodoh itu. Ia mengelus tempat dimana Daiki tadinya berbaring; mendekatkan wajahnya hingga ia dapat mencium aroma parfumnya yang menempel di tempat itu.
Daiki…
Daiki…
Ia menyebut namanya beberapa kali. Namun, karena teringat akan sebuah janji, membuatnya berhenti menggumamkan namanya.
"Persetan!" Haru mengumpat pada diri sendiri sambil melepaskan tinju pada sofa tersebut.
Ia pun segera pergi mengenakan sepatunya, lalu berlari hendak mengejar Daiki yang baru saja pergi. Dengan hanya mengenakan kaos hitam tipis dan celana dawnstring abu-abunya, ia menerobos udara dingin tanpa merasakan apa-apa; menyusuri jalan sepi sembari terus memanggil-manggil namanya, dan berhenti saat melihat Daiki yang sedang bersandar pada sebuah pagar besi.
Ia menghela napas lega. Pikirnya, mereka tidak akan pernah dipertemukan lagi, dan hampir saja menyesalkan diri karena telah menyia-nyiakan kesempatan kedua ini.
Haru berlari menghampirinya, lalu memeluk tubuhnya dengan erat. "Maafkan aku".
"Haru, kita bisa kembali seperti dulu" Kata Daiki dengan suara berbisik lembut; dengan kedua tangannya juga sedang memeluk Haru saat ini.
Haru tersenyum, begitu gembira mendengar satu-satunya kalimat romantis, dari seorang yang selalu menyembunyikan perasaannya dengan sikap dingin yang ia tunjukkan. Dan kedua tangan yang terus saja mendekap tubuhnya dengan kuat, membuatnya tak bisa berpaling lagi.
Sepertinya, tidak buruk meninggalkannya beberapa saat untuk sekedar memberinya sebuah pelajaran berharga, pikirnya.
"Haru? Lepaskan aku" Kata Daiki dengan melepaskan kedua tangannya dari tubuh Haru.
Haru melepaskan tangannya perlahan. Dengan senyum terpancar ceria pada raut wajahnya, ia menatap Daiki yang terlihat semakin memerah wajahnya; yang entah sedang merasa malu atau karena sedang menahan malu.
"Huft! Dingin sekali" Kata Haru dengan bergidik beberapa kali karena udara dingin yang saat ini seperti menembus tulang-tulangnya.
Cukup aneh. Tadi, ia sama sekali tidak merasakan apa-apa, tetapi setelah mendengar sebuah kabar gembira membuatnya merasa dingin seketika.
Daiki menghela napas. "Kebodohanmu memang tidak pernah berubah".
"Hanya orang bodoh yang berkeliaran pada musim dingin seperti ini dengan menggunakan pakaian seperti itu. Dasar sampah!" Lanjutnya.
Haru dibuat nyengir mendengar ujaran yang sedang mengolok-olok dirinya itu. Dan julukan lama itu, seperti menyuburkan kembali perasaan lama ini.
Baginya, perkataan itu benar-benar hanya seperti lelucon yang begitu ia rindukan selama ini. Dan tak ada yang pantas memarahinya, memukulnya, dan mengatakan hal seperti itu padanya, selain Daiki; yang menjadi satu-satunya.
"Itu karena aku suka saat kau memarahiku" Balas Haru yang membuat Daiki tertunduk malu.
"Sebaiknya, kita harus segera pergi. Udara disini sudah hampir membekukanku" Lanjutnya dengan merangkul tubuh Daiki untuk membawanya ikut pulang bersamanya. Dan sepertinya, Daiki tampak tidak melakukan perlawanan sama sekali.
.....
Ia memang bukan seorang yang teguh dengan perkataan sendiri. Mengatakan janji tetaplah sebuh janji yang seharusnya ditepati, tetapi malah ia ingkari dengan hanya mendengar julukan lama yang melunakkan hati.
Sangat tidak masuk akal! Akan tetapi, apa boleh buat? Itulah dia. Dengan kebodohannya, dibutakan sekali lagi oleh perasaan sendiri. Bahkan, dengan perasaannya saat ini membuatnya lupa dari niatanya untuk mengerjakan semua tugas-tugasnya malam ini! Huft!
Ya, apa boleh buat? Kesempatan kedua begitu berarti. Walau seberapa keras hatinya untuk tak ingin kembali, perasaan bukanlah sesuatu yang dapat ia bohongi.
*****