Pada sore hari ini, Haru hendak pergi ke tempat Daiki dengan Shino yang juga sedang menunggunya disana. Namun, sedikit terlambat sebab Reina juga sedang mengunjunginya di waktu yang sama. Ingin meninggalkannya juga bukan hal yang baik-baik saja. Setidaknya, menemaninya sesaat akan membuatnya segera pergi saat melihatnya terburu-buru.
Berbeda dari tiga hari yang lalu, kali ini ia datang hanya untuk mengisi waktu di hari yang suntuk, katanya.
"Hei, Reina, aku harus pergi" Kata Haru sembari mengenakan scarf hitam di lehernya.
Reina yang tadinya duduk pun segera berdiri dan mendekati Haru dengan wajah masam. "sore ini, kau mau kemana?! Kita baru saja bertemu!"
"Kau tidak perlu tau... tapi, kalau kau mau tetap disini juga bukan masalah" Jawab Haru, lalu mulai melangkah menuju pintu kamar.
Akan tetapi, sebelum ia membuka pintu kamarnya, deringan ponsel pada saku celana jeansnya membuatnya berhenti melangkah untuk menjawab telepon tersebut.
"Shino, ada apa?" Tanya Haru setelah mengangkat teleponnya.
"Huh, sial! Dimana kau? Aku sudah ingin kembali sekarang. Takayashi dan juga aku sudah daritadi menunggumu!". Tanya Shino yang terdengar kesal saat ini.
Haru menjauh dari Reina, seakan ia tak ingin Reina mendengar apa yang hendak dikatakannya.
"Reina sedang datang ke tempatku, jadi aku harus menemaninya dulu. Tapi, sekarang aku sudah mau kesana. Tunggu sebentar lagi" Kata Haru dengan mengecilkan suaranya.
"Huh... aku tidak dapat menunggu. Aku punya janji sore ini" Balas Shino, lalu menutup telepon yang sedang berlangsung.
Haru menghela napas, lalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celana jeans yang dikenakannya.
Ia menatap Reina yang saat ini kembali duduk di atas tempat tidurnya, dengan menyilangkan kaki. Dari raut wajah yang ia tunjukkan, juga sedang menggambarkan isi hatinya yang tidak bersemangat sore ini.
Perlahan, ia mendekati Reina; menatap wajahnya yang terus masam saat melihatnya. Ia ingin membujuknya dengan sebuah perkataan manis, tetapi kepalanya seakan sudah kehilangan naluri pemikat wanitanya, hingga membuat bibirnya kaku untuk merangkai kata per kata yang biasa diutarakannya, semenjak ia kembali dekat dengan orang itu, Takayashi Daiki.
"Kau mau kemana?" Tanya Reina sekali lagi.
Haru menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab: "Huh... aku mau ke tempat Daiki sekarang".
Reina yang sudah sejak tadi menahan rasa kesalnya pun berdiri, dengan telapak tangannya yang sudah mendarat pada wajah sebelah kanan Haru. Cukup keras! Tetapi, apalah daya untuk Haru yang sama sekali tidak ingin melawan seorang wanita.
Ia bisa saja membalas pukulan yang menyakitkan itu; mendorong tubuhnya hingga tersungkur; atau bahkan membantingnya ke lantai; tetapi semua hal itu hanya dilakukan oleh seorang yang tidak tahu diri! Seorang pria yang mempunyai rasa sebagai seorang pengecut yang tinggi!
"Daiki! Daiki! Dan Daiki! Apa sekarang sahabatmu itu lebih penting dari kekasihmu sendiri?!" Tanya Reina yang sudah semakin geram.
Bukannya kesal karena suara dari wanita yang sedang membentaknya dengan keras saat ini, ia malah nyengir, merasa geli dengan pertanyaan itu. "Kau cemburu dengan Daiki?... Jangan katakan kalau kau cemburu dengan seorang pria hahaha".
"Aku kesal padamu! Bukan hanya karena kedekatan kalian saja! Tapi, kenapa dia boleh memanggilmu dengan 'Haru', dan aku tidak boleh memanggilmu seperti itu?!" Tanya Reina dengan air mata yang sudah di ujung mata.
"Oh. Aku mengerti. Jadi, itu masalahnya?... Baiklah. Kau boleh memanggilku dengan panggilan apa saja, sesuka hatimu" Jawab Haru dengan menahan rasa begitu ingin tertawanya.
"Kau... kau..." Reina tidak mampu mengucapkan apa yang ada di pikirannya saat ini. Jarinya hanya menunjuk Haru, lalu segera berlari menjauh; meninggalkan Haru dengan membanting pintu.
Beberapa saat setelah Reina meninggalkan tempat ini, ia juga mulai melangkah menuju ke tempat Daiki.
Daiki dan juga Shino mungkin saja akan menghajarnya karena keterlambatannya saat ini, walau itu bukanlah hal yang ia sengaja sama sekali.
Ia tertunduk lesu. Setidaknya, dengan mengabaikannya seperti tadi akan dapat membuat wanita itu tidak lagi betah saat bersamanya dan segera mengakhiri hubungan mereka. Huh... ia juga berharap, Reina akan menjadi wanita terakhir yang akan di kencaninya.
*****
Ding Dong
Ding--
"Kau terlambat!" Kata Daiki yang menyambutnya dengan raut wajah yang kurang bersahabat.
"Huh... Reina datang ke tempatku, jadi aku harus menemaninya dulu" Balas Haru dan segera masuk tanpa menunggu Daiki mempersilakannya terlebih dulu.
Ia melepas mantel dan juga scarf yang dikenakannya, dan membuangnya begitu saja di atas sofa. Kemudian, ia duduk di atas sofa dengan kaki yang dinaikkan di atas meja; menyalakan TV, seperti sedang berada di rumah sendiri. "Mana Shino?".
"Dia sudah pergi. Sudah kukatakan kalau kau terlambat... dasar bodoh..." Ia mengehela napas sejenak.
"Tapi, hmm, kau... apa kau tidak bekerja malam ini?" Lanjutnya, lalu duduk di sebelah Haru.
"Tidak. Libur Natal. Atasanku ingin mengunjungi keluarganya di Hokkaido, jadi ia meliburkan kami lebih awal... hmm, bahkan terlalu awal menurutku...". Jawab Haru.
Setelah menjawab pertanyaan itu, keheningan pun terjadi. Hanya ada suara TV yang membising di keheningan ini.
Sesekali, Haru melirik kearah Daiki yang pandangannya terus tertuju pada TV; berharap kali ini, ia akan menjadi yang pertama untuk memecah keheningan ini. Namun, menunggunya, sama seperti menunggu burung gagak berwarna putih, yang hingga akhir zaman pun tidak akan terjadi.
Hal seperti ini sudah seperti kodrat kebersamaan mereka. Dimana saat keheningan terjadi, Haru akan menjadi yang pertama untuk memecah keheningan seperti sekarang ini!
"Aku seperti membuang-buang waktuku disini jika kau terus terdiam seperti itu" Kata Haru tanpa menoleh ke arah Daiki.
"Aku juga tidak berharap kau datang kesini..." Jawab Daiki, yang juga enggan menoleh ke arahnya saat ini.
Haru menghela napas. "Oh... aku mengerti...".
Ia berdiri, hendak kembali, dengan meraih mantel dan juga scarfnya di atas sofa setelah mendengar pernyataan seperti itu darinya. Akan tetapi, sebelum ia melangkahkan kaki, segera Daiki memegang jemarinya. "Kau... apa kau mau menginap malam ini?".
Haru tersentak kaget dengan menahan suaranya. "Oh, te-tentu".
Tidak ada kata 'tidak' untuk ajakan seperti itu!
Ia kembali duduk di samping Daiki, dengan Daiki yang masih memegang jemarinya saat ini.
Haru menatap jarinya yang terkena sentuhan lembut dari seseorang di sampingnya. Dengan jantung yang semakin memacu aliran darahnya, ia tidak dapat mengatakan sepatah kata.
Di situasi seperti ini, kekakuan menjalar di sekujur tubuhnya; merambat ke paru-parunya, hingga dibuat setiap tarikan napasnya menjadi lebih berat dari sebelumnya.
Dan setelah beberapa saat, terdengar Daiki menghela napas dan membuat tubuh Haru menjadi normal kembali.
Daiki berdiri dengan tangannya yang tak lagi menyentuh jemari Haru, lalu segera menuju Dapur.
"Ka-kau mau kemana?" Tanya Haru yang sedang menatap Daiki saat ini.
"Sudah hampir malam. Aku harus menyiapkan makan malam" Jawab Daiki tanpa menghentikan langkahnya.
"Ah, aku akan membantumu!" Seru Haru yang segera melepaskan mantel dan juga scarfnya kembali, lalu menyusul Daiki menuju dapur.
.....
Hari ini, Daiki memberi kejutan yang tak terduga. Menanyakan hal yang aneh dan juga melakukan hal yang aneh. Semuanya adalah hal yang tidak diduga-duga!
Jika kejutan seperti itu bisa ditunjukkannya setiap hari, mungkin Haru tidak perlu lagi memikirkan hal yang tak pasti.
Rumit sekali.
*****
Sekitar pukul 10.00 malam, mereka berdua bersiap untuk beristirahat setelah menghabiskan waktu hanya dengan bermain game dan sedikit bicara. Akan tetapi, bukan masalah. Asal Daiki membiarkannya untuk menginap di tempatnya, sudah cukup walau Daiki tidak berbicara seharian pun!
Haru mengambil bantal di tempat tidur, lalu meletakkannya pada futon[1] yang akan digunakannya sebagai alas tidurnya di bawah nanti. Tetapi, pandangannya teralihkan kearah Daiki yang duduk di pinggiran tempat tidur tanpa mengatakan apa-apa.
"Oi, ada apa?" Tanya Haru; sedikit membungkuk saat sudah berada di hadapan Daiki.
Daiki menatap wajahnya sejenak, lalu bertanya: "Haru, apa kau mencintaiku?"
Seketika, raut wajah Haru berubah setelah mendengar pertanyaan darinya. Dari yang tadinya tersenyum ramah padanya, kini menjadi lebih dingin saat melihatnya.
"Huh... tunggu..." Kata Haru, lalu segera keluar dari bilik kamar ini.
Saat di luar, di depan pintu kamar, Haru memikirkan pertanyaan yang terdengar bodoh darinya.
Apa kau mencintaiku?
Mengapa ia menanyakan hal yang berulang kali Haru katakan?! Bodoh! Sangat bodoh! Bahkan, Lebih daripada bodoh!
Haru pun kembali masuk menemui Daiki di dalam kamar.
Saat berada di hadapan Daiki yang masih duduk di tempat yang sama, ia memegang kedua lengannya dengan membungkukkan sedikit tubuhnya. "Daiki, aku sangat mencintaimu. Tch... kupikir kau sudah bosan mendengarnya, tapi kau malah kembali menanyakannya... kau lebih bodoh dari dugaanku".
Haru kembali menegakkan tubuhnya, lalu mengambil bantal dan juga selimutnya untuk tidur di atas sofa. Akan cukup berbahaya baginya jika tidur sebilik dengan Daiki di situasi seperti sekarang ini.
Ia pun keluar, lalu meletakkan bantal dan segera merebahkan tubuhnya di atas sofa.
Perlahan ia memejamkan matanya, tetapi hal yang mengejutkannya terjadi sebelum ia melakukannya!
Ia dapat merasakan sentuhan lembut dari tangan Daiki, yang saat ini menaikkan rambut yang menutupi keningnya.
Rasa terkejutnya tidak sampai disitu saja! Segera Daiki mendekatkan wajahnya, lalu mengecup kening Haru dengan bibirnya yang hangat!
"Selamat malam, Haru" Ucap Daiki, lalu segera kembali ke dalam kamarnya.
Kecupan itu membuat Haru membeku dengan mata yang terus terpaku! Dan ucapan 'selamat malam' itu... argh! membuatnya meleleh seperti es batu!
Keajaiban! Ini... ini seperti yang ada di imajinasinya selama ini.
Ia kemudian menyentuh keningnya. Dan seakan tidak percaya, ia menampar wajahnya sendiri yang saat ini masih terpaku.
Ia dapat merasakan sakit pada wajahnya ketika ia menamparnya, tetapi ia tetap terpaku dan tidak dapat mengekspresikan perasaannya.
Ini bukan mimpi ataupun ilusi! Ia sadar dan masih terjaga saat Daiki melakukannya!
Jantungku... argh!
Ia seakan sedang mengudara malam ini, bersama perasaan ini!
Sudah sangat lama, Haru tidak merasakan bibirnya. Hal ini seperti mengulang waktu; mengembalikan pemikirannya yang dulu!
[1] Futon adalah perangkat tidur tradisional Jepang. Perangkat tidur serupa juga dikenal di Korea.
*****