Chereads / Am I Normal? / Chapter 14 - Waktu

Chapter 14 - Waktu

Sudah seminggu telah berlalu, tetapi kejadian lalu masih terngiang hebat di kepalanya, dan membuat perasaan menyakitkan tidak kunjung juga menyurut.

Pandangannya terus saja tertuju pada secangkir coffee latte di hadapannya. Walau ia bukanlah seorang yang begitu menyukai coffee, tetapi perasaan tak karuan ini dapat mengubah suatu hal yang tidak ia sukai dalam dirinya.

Mungkin tubuhnya terlihat sedang bersantai. Menikmati suasana cafe, tetapi pemikirannya tidak sedang bersama tubuhnya saat ini.

And you should know...

There's no retreat and no surrender...

You should know...

Not here, not now, not ever...

Lagu yang juga dulunya terdengar menyenangkan, kini menjadi menyebalkan. Entah mengapa Lagu yang bersenandung di cafe ini mengusik telinganya.

Ia pun berdiri, dan meletakkan beberapa yen di atas meja, lalu bergegas keluar dari tempat ini. Meninggalkan coffee yang masih lebih dari setengah tak ia habiskan begitu saja.

Sekarang sudah pukul 8 malam, dan ia pun mulai beranjak menuju rumahnya yang memang tak jauh dari tempat ini. Namun, saat di perjalanan, seseorang memanggilnya dari kejauhan, dan membuatnya segera menoleh ke arah orang tersebut.

"Hei! Senpai! Kau dari mana?!" Tanya seseorang yang ternyata adalah Ko bersama dengan beberapa kawannya.

Haru berjalan ke arah mereka yang berada di seberang jalan. Mereka terlihat melakukan suatu keseruan, tetapi bukan hal itu yang membuatnya menghampiri mereka. Melainkan, hanya sekedar ingin menyapa.

"Kau seperti brandalan di tempat seperti ini" Kata Haru dengan mengangkat sedikit dagunya.

Perkataan itu malah membuat Ko beserta kawan, geng, atau apalah mereka, tertawa setelah ia mengatakan hal itu.

Ko pun segera berdiri dan tersenyum padanya "Hei, senpai? Ada apa? Kau tampak kacau sekali hari ini?...Tapi bukan cuma hari ini sih...kuperhatikan sudah beberapa hari kau tampak kacau. Apa kau ada masalah?" Tanya Ko dengan meremas bahu kanan Haru.

"Bukan urusanmu" Balas Haru dan segera menyingkirkan tangan Ko dengan paras dingin yang ia tunjukkan. "Orang-orang ini seperti sedang dalam keadaan mabuk" gumamnya dalam hati.

"Apa karena seorang wanita? Jangan bilang kau menyesal menolak wanita cantik itu?...Oh ayolah--Eh! Tunggu! Aku tau solusinya!" Kata Ko, lalu merangkul tubuh Haru, dan membawanya untuk sedikit menjauh dari orang-orangnya.

"Hei...ini...aku tau kau membutuhkannya...jika kau menggunakannya, semua masalahmu tidak akan membebanimu" Lanjutnya. Nyengir sambil memasukkan sesuatu pada saku celananya

Ko segera melepaskan tangannya yang merangkul Haru, lalu kembali pada kawan-kawannya.

Haru meraba-raba benda yang baru saja dimasukkan ke dalam saku celananya, lalu menariknya keluar. Ia mengerutkan keningnya sambil terus mengamati benda yang berada di telapak tangannya, "rokok?".

"Hei, Ko?" Panggil Haru sambil memasukkan benda itu kembali kedalam saku celananya.

Ko menoleh kearahnya dengan mengangkat sebelah keningnya, "ada apa, senpai?".

"Kau...hmm tidak. Lupakan saja" Sepertinya, sesuatu di pikirannya membuat bibirnya enggan melanjutkan perkataannya, dan membuat Ko mengerutkan kening.

"Hei, Senpai?!..." Panggil Ko saat Haru hendak berbalik meninggalkan mereka.

"Kau pasti membutuhkan ini juga" Lanjutnya sambil membuang lighter ke arah Haru yang dengan sigap diterimanya.

Setelah itu, Haru pun mulai melangkah meninggalkan mereka tanpa berkata apa-apa. Hanya ada senyuman dingin sebagai kata pamitnya.

"Apakah aku memang terlihat sangat kacau?" Gumamnya, lalu mengacak-acak rambutnya saat di perjalanan.

Langkahnya terhenti sejenak, lalu berbalik pada tempat duduk kayu yang berada di pinggiran sebuah taman kecil yang baru saja dilewatinya.

Ia duduk dan menyandarkan punggungnya. Kemudian, ditariknya sebatang rokok dari saku celananya, dan segera membakarnya menggunakan lighter yang diberikan oleh Ko tadi.

Ia membeku sejenak dengan terus mengamati benda yang ia selipkan pada kedua jarinya, lalu perlahan menyentuh bibirnya.

Uhuk! Uhuk! Asap rokok benar-benar menyesakkan paru-parunya. Dan bodohnya lagi, ia menerima benda semacam ini dengan senang hati.

"Hei, Haru?..." Seseorang memanggilnya dari samping, lalu segera menolehkan kepalanya ke arah suara itu, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat seseorang yang sedang berdiri di sampingnya saat ini, "hah! Kau?!"

"Jika kau tidak bisa melakukannya, kenapa kau harus memaksakan dirimu?...Kau tidak perlu melakukan hal yang tidak membuatmu menjadi diri sendiri" Orang itu merebut rokok dijarinya, lalu membuangnya begitu saja.

Ia segera berdiri. Hendak meninggalkan orang yang sama sekali tidak ingin ia temui saat ini. Namun, lengannya sudah berada dalam cengkraman orang tersebut. Daiki. Akan tetapi, segera Haru menyingkirkan tangan yang semakin kuat mencengkeram lengan kirinya itu dengan paksa!

"Bisakah kau..." Dengan melihat wajah itu, Haru seakan lupa dengan apa yang hendak dikatakannya.

"Dengarkan aku dulu!...Aku mohon!...ada hal yang ingin kukatakan padamu..." Kata Daiki, lalu merendahkan pandangannya seakan menyembunyikan sesuatu.

"Mengatakan apa?! Kau normal?! Kau bukan 'gay'?! Atau aku menjijikkan?!...Kau tidak perlu mengatakan apa-apa! Omonganmu sudah sangat memuakkan! Dan bahkan, mendengar suaramu saja sudah membuatku muak!" Tanpa ragu, Haru mengatakan semua itu.

"Hah...?" Daiki menatapnya, dan tatapan itu...entah mengapa membuat Haru seakan menyesali semua perkataan yang baru saja ia ucapkan sebagai ungkapan kekesalannya.

Haru menghela napas beberapa kali, lalu menundukkan kepalanya "maafkan aku...", dan keheningan pun terjadi beberapa saat kemudian.

"Daiki...?" Panggil Haru dengan lembut. Memecah keheningan di antara mereka, lalu menggenggam kedua tangan Daiki.

"Bisakah kau berpura-pura tidak pernah mengenalku? Bisakah kau berpura-pura bahwa aku tidak pernah menyatakan perasaanku? Dan kembali pada kehidupan normalmu saat kau belum mengenalku...? Akan lebih baik juga jika malam ini menjadi pembicaraan terakhir kita" Haru memelas padanya.

Pertanyaan yang memukul dirinya sendiri. Daiki bukanlah seorang yang pantas menerima pertanyaan-pertanyaan itu. Melainkan, dirinya sendiri. Apakah ia bisa melakukan semua kepura-puraan itu?

"Tch!...Kau tau, sejak malam itu, aku terus berusaha untuk menghindarimu. Kenapa? Karena aku tidak ingin melakukan pembicaraan seperti ini. Aku takut! Aku takut dengan perasaanku sendiri" Lanjutnya, lalu melepaskan kedua tangan yang digenggamnya dengan kasar, dan mulai berbalik meninggalkan orang yang belum sama sekali mengucapkan sepatah kata kepadanya.

Ia terus mempercepat langkahnya seakan Daiki akan mengejarnya; memanggil namanya; dan memeluk tubuhnya dari belakang untuk menghentikan langkahnya. Tch! Walau dengan perasaan menyakitkan ini, kepalanya masih bisa berimajinasi!

Bukan masalah. Ini hanya tentang waktu. Ia hanya butuh waktu. Waktu yang akan memudarkan perasaannya. Ia hanya perlu bersabar dalam melalui waktu. Ia percaya itu.

*****