Ujian kelulusan pun hampir tiba. Haru dan Daiki masih seperti biasa; masih tetap akrab seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa setelah kejadian waktu lalu. Haru masih pada sikap penuh semangatnya dan Daiki pada sikap dinginnya. Tak ada yang berubah.
Belakangan ini, mereka sering menghabiskan waktu di perpustakan. Bukan untuk membaca atau belajar guna mempermantap nilai di ujian nanti, melainkan menghabiskan waktu sekedar untuk beristirahat. Ya, mereka berdua bukanlah tipe seorang kutu buku seperti itu. Dapat dikatakan bahwa mereka sama-sama populer di kalangan wanita dan pula sama-sama buruknya jika menyangkut suatu pembelajaran. Sungguh serasi sekali.
Sepulang sekolah, biasanya mereka sering menghabiskan waktu bersama di bukit itu seolah seperti sebuah rutinitas di hari-hari sebelumnya. Baik setelah les maupun sehabis berlatih di masing-masing club mereka. Namun, karena ujian sebagai momok menakutkan pada beberapa siswa telah melambai di ujung mata, mereka pun sibuk untuk mengikuti les yang wajib diikuti oleh para siswa tahun ketiga.
Malam ini, sepulang dari les, sekitar pukul 20.00, mereka berdua menghabiskan waktu bersama di taman kota sembari menikmati sekaleng minuman pada masing-masing di tangan mereka. Suasananya cukup sepi untuk saat ini. Hanya ada mereka berdua yang berada di taman ini. Tidak seperti biasa. Namun, hal ini cukup bagus untuk disebut sebagai berkencan. Berdua adalah hal yang menyenangkan. Pikir Haru.
Terlihat mereka sedang membicarakan banyak hal dengan senda gurau mengisi pembicaraan yang mereka lakukan saat ini. Entah apa saja. Haru pada tawa khasnya dan Daiki dengan senyum tipisnya.
Di tiap pembicaraan, ada hal yang selalu mengganggu saat Haru memandang wajah seorang sebagai teman bicaranya kali ini. Tidak untuk saat ini saja, tetapi juga di hari-hari sebelumnya.
Terkadang terlintas di kepala Haru, bagaimana hubungan ini bagi Daiki? Namun, sekali lagi, itu bukanlah hal yang mudah untuk dipertanyakan dan diam merupakan hal yang lebih baik walau pemikiran ini sedikit mengganggu. Namun, memikirkannya bukanlah hal yang mengganggu untuk kesenangan hari ini. Sedikit rumit untuk menggambarkan hal yang tak dapat dijelaskan.
"Aku akan masuk di KYODAI" Kata Daiki dengan tiba-tiba.
"Bagaimana denganmu?" Lanjutnya.
Haru memandangnya dengan perasaan terkejut. Ia tahu bahwa unversitas itu merupakan salah-satu universitas terunggul di Jepang yang menghasilkan banyak lulusan terbaik di dalamnya, dan tentu saja baik untuknya. Namun, ia tak dapat mendustakan perasaannya untuk turut berbahagia mendengar pernyataan Daiki tersebut.
Ia berpikir bahwa hal itu bukanlah hal yang baik untuk kedepannya. Jarak merupakan suatu masalah dan membuat Haru mulai berpikir egois, dimana ia tak mampu mengutarakannya.
"KYODAI? Berarti di Kyoto, kan?" Haru berbalik menanyainya dengan nada suara yang sedikit kecewa.
Daiki menganggukkan kepalanya; mengiyakannya; lalu meneguk minuman yang sudah tak dingin di tangannya. Ia tampak tak mengkhawatirkan hal itu sama sekali. Sangat berbeda dari Haru yang begitu terkejut mendengarnya; khawatir untuk kedepannya.
Bagaimana mereka bertemu nantinya? Bagaimana untuk hari-hari kedepannya? Apakah Daiki akan sama seperti sekarang ini? Tidakkah ia akan melupakanku? Bagaimana jika ada seseorang yang akan menggantikan posisiku, duduk di samping Daiki? Sungguh pertanya-pertanyaan itu mengitari kepalanya saat ini dan membuatnya serasa ingin meledak.
"Jadi, kau akan tinggal disana?" Tanya Haru, lagi, dengan terus berusaha untuk tetap tenang.
Sekali lagi, Daiki hanya menganggukkan kepalanya. Terlihat tak masalah tanpa memikirkan hal yang sama sepertinya. Ia sama sekali belum mengerti perasaan Haru; tidak memikirkan mengapa Haru menanyakan hal itu.
Haru hanya bisa terdiam dengan memandangi minuman yang ia pegang saat ini. Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin ia pertanyaan dan ada banyak hal yang ingin ia keluhkan atas pernyataan Daiki baru saja. Namun, ia tak dapat mengungkap semua itu; mengutarakan bahwa ia begitu ketakutan mengenai hal itu.
Kiranya, hal itu merupakan suatu kabar buruk baginya. Ia tak pernah menginginkan hal seperti ini akan terjadi nantinya. Namum, hal itu merupakan keputusannya dan ia tidak berhak untuk mengutarakan suatu keegoisan dalam sebuah status yang tak pasti.
"Bagaimana denganmu?" Tanya Daiki dengan menatapnya.
"Entahlah...aku belum memikirkannya...tapi…hanya saja…" Haru terdiam sejenak.
Dari sudut matanya, terlihat Daiki yang memandanginya; menunggunya untuk melanjutkan apa yang ingin ia katakan.
"Hanya saja…akan menyenangkan jika kita berdua bisa masuk di universitas yang sama" Lanjut Haru.
Kalimat itu keluar begitu saja dari bibirnya. Ia tak pernah merasa bahwa kepalanya pernah mengolah kalimat itu sebelumnya dan lantas ia sampaikan begitu saja. Argh! Bukanlah hal buruk untuk dikatakan. Namun, tetap saja merupakan hal yang mengejutkan baginya. Ia dibuat terkejut dengan perkataannya sendiri, dan tersadar bahwa hal itu bukanlah ungkapan pemikirannya, melainkan persaannya. Dimana jauh dari lubuk hatinya, ia ingin selalu bersama; menghabiskan waktu bersama seperti sekarang ini.
Akhir? Akankah selulus nanti juga akan berakhir? Haru terus mencoba untuk tidak memikirkan hal yang tidak ingin ia pastikan jawabannya. Akan tetapi, dengan perasaan seperti ini, ia tak dapat memungkiri pemikiran yang semakin menggerogoti kepalanya saat ini.
Malam yang ia pikirnya Indah, ternyata hanya tampak menyenangkan sejenak saja. Perkataan Daiki merupakan kabar buruk. Kegelapan yang kelabu. Bagaimana itu? Cukup rumit menjelaskannya, seperti halnya dengan perasaannya.
*****
Keesokan harinya, Haru berlatih dengan anggota club sepak bolanya dengan bersikap seperti biasa seolah dirinya baik-baik saja. Ia begitu bersemangat dalam menggiring bola; dan memasukkannya ke kandang lawan tanpa suatu masalah di kepalanya. Begitu berbakat, seperti halnya dalam menutupi kegelisahannya. Cukup berbakat.
Setelah itu, ia pergi untuk beristirahat karena berlatih dibawah terik matahari membuatnya menguras banyak energi. Cukup kelelahan. Keringat bercucuran pada wajahnya. Ia pun mengusapnya menggunakan kaos yang dikenakannya dan juga agak basah sebab keringat di tubuhnya.
Terdengar dari kejauhan, para wanita mensorakinya; menyebut julukan "prince" yang tak nyaman ditelinganya. Mereka memang menganggap Haru cukup keren dalam keadaan seperti ini. Ia pun melambaikan tangan ke arah para wanita itu berada, dan membuat mereka semakin histeris saja.
Di suasana menikmati waktu istirahatnya, tiba-tiba saja ia teringat oleh Daiki dan membuatnya segera beranjak pergi dari tempat duduknya menuju ke tempat ganti untuk mengganti pakaiannya yang berada tak jauh dari lapangan tempat ia berlatih saat ini.
Ia segera menghubungi Daiki untuk menanyakan keberadaannya; berharap sore ini mereka dapat menghabiskan waktu bersama seperti biasa. Namun, sayangnya nomornya dalam keadaan sedang tidak aktif. Bukanlah masalah. Hal itu salah satu kebiasaannya saat Daiki masih berada di dalam kelas. Ia pun bergegas menuju ke kelas Daiki untuk menemuinya.
Sesampainya di kelas yang ia tuju, matanya mulai memandang; mencari di sekeliling ruangan dengan tidak melangkah masuk. Namun, ia tak menemukannya; hanya ada segelintir orang-orang yang sedang mengobrol; juga wanita yang kegirangan melihat keberadaannya. Ia pun meninggalkan tempat ini.
Daiki tak berada di kelas, dan bahkan aroma manis dari parfum yang sering ia gunakan sama sekali tidak menunjukkan keberadaannya. Ia cukup mengenali aroma itu.
Ia pun menuju ke belakang sekolah; tempat mereka sering menghabiskan waktu istirahat, dan mengitari sekitaran dari tempat itu. Akan tetapi, ia belum juga menemukannya. Kemana Daiki saat ini? Pertanyaan pertama yang muncul di kepalanya.
Bukanlah hal yang biasa untuk Daiki tak memberi kabar dan membuat kecemasan perlahan mulai masuk pada perasaannya. Ia pun teringat pada tempat yang ia yakini keberadaannya yang membuat kecemasan menjadi hal yang baik-baik saja.
Club memanah. Satu-satunya tempat yang dapat melegakan perasaannya. Ia pun mempercepat langkahnya dengan begitu yakin atas dugaannya sebab sore hari merupakan waktu berlatih di setiap club. Ia merasa begitu bodoh untuk tidak memikirkan hal itu sebelumnya.
Beberapa menit kemudian, ia telah tiba pada club memanah yang juga sering ia datangi. Namun, saat matanya mulai memandang ke dalam ruangan, masih sama dengan tempat sebelumnya. Di tempat itu, hanya ada teman anggota club yang lain dan sensei yang terkejut atas kehadirannya yang membuatnya merasa sedikit kikuk saat mulai meninggalkan tempat ini.
Haru berjalan di lorong sekolah; melewati beberapa ruang kelas sambil terus menghubungi nomor Daiki walau ponselnya masih pada keadaan yang sama. Tidak dalam keadaan aktif. Ia juga mengirim beberapa email dan pesan singkat dengan berharap, Daiki akan membacanya nanti. Akan tetapi, sudah beberapa saat menunggu, masih saja tak ada balasan darinya.
Kemana Daiki? Walau Haru telah menanyai beberapa teman sekelasnya, ia tetap saja mendapatkan jawaban yang sama seperti saat ia mencarinya. Mereka tidak pernah melihatnya; mengatakan bahwa Daiki memang tidak masuk hari ini dengan sebab yang tak mereka ketahui.
Haru semakin dibuat gelisah dengannya yang tanpa kabar. Kecemasaannya terhadap Daiki tidak dapat dikatakan sedikit hingga menjadi sebuah kegelisahan. Ia berniat untuk mengunjungi kediamannya, tetap ia sama sekali tak mengetahui alamat dari tempat kediamannya. Bukan tak mencari tahu, tetapi tak ada yang mengetahui saat ia menanyakannya. Katanya, Daiki adalah seorang yang tertutup dan tak pernah mengajak seorang pun ke rumahnya. Tentu saja Haru mempercayainya sebab ia membenarkan perkataan itu berdasar dari kebersamaan mereka selama ini.
"Huuuuh..." Haru hanya dapat menghela napas panjang untuk mengurangi kegelisahan.
Waktu berlalu seolah tak peduli mengenai suatu penantian; tak ingin tahu seberapa banyak detik yang tak terhitung dalam suatu penantian; ataukah ia hanya salah dalam menyimpulkan waktu? Begitu rumit Haru memikirkannya sebagai seorang yang melalui waktu.
Sepulang sekolah, ia pun berusaha untuk terus menghubunginya kembali; mengecek setiap email maupun pesan yang masuk; dan berharap salah-satunya merupakan balasan darinya, tetapi bukan untuk kesekian kalinya.
Haru begitu kesal sebab Daiki melakukan hal seperti ini; menghilang tanpa kabar untuk seharian ini; berbicara seenaknya dan berbuat sesuatu yang sering membuatnya gelisah, kecewa hingga dibuatnya sakit hati. Memintanya pun juga merupakan hal yang begitu dipaksakan. Bisa saja akan menambah masalah menjadi lebih bermasalah. Akan tetapi, jika ia mengganggap hubungan ini serius, bukankah saling memberi kabar? Ataukah hanya sebuah harapan sepihak? Haru dibuat mendebatkan dua hal rumit sekaligus dalam dirinya.
****
Daiki belum juga memberi kabar kepada Haru selama hampir tiga hari ini hingga membuatnya tidak begitu bersemangat. Entah sudah berapa kali ia mencoba menghubunginya, tetapi masih berupa kesia-siaan serta berapa puluh pesan yang ia kirimkan, pula masih belum terbalaskan. Ia sudah cukup lelah menunggu.
Haru terus berdiam diri di dalam kelas, sambil kepalanya terus saja memikirkan Daiki. Ketika teman seclubnya datang untuk mengajaknya bermain di lapangan, ia malah menolak dengan beralasan kurang enak badan. Mungkin dapat dikatakan bukan sekedar alasan.
Ia memang tidak merasa baik-baik saja saat Daiki menghilang tanpa kabar. Terdengar seperti berlebihan atau lelucon belaka, tetapi hal ini adalah sebuah perasaan yang tidak dapat ia rekayasa.
Ia terus memandangi ponselnya; berharap untuk melihat nama Daiki tertera pada layar ponselnya. Kelakuan yang bodoh. Ia menyadari hal itu.
Beep beep
...Oi temui aku di atap gedung sekarang, sampah ('-')
Benar saja! Ponselnya berdering. Ia pun begitu gembira saat membaca pesan dari Daiki, dan membuatnya terbangun dari posisi tidurannya di meja; membuat raut wajahnya kembali ceria.
Segera Haru bergegas ke atap gedung. Ia terus berlari menaiki tiap anak tangganya tanpa merasa kelelahan. Tidak untuk saat ini.
Sesampainya di atas, ia melihat Daiki bersandar pada pagar besi pembatas sambil meneguk minuman yang tampak dingin di tangannya. Ia pun mendekatinya dengan napas yang berusaha ia atur sebab cukup kelelahan.
Daiki masih saja terdiam. Sesekali ia teguk minumnya, lagi. Tanpa kata; menatapnya yang sedang berusaha mengatur napas. Haru tak ingin memulai suatu pembicaraan. Mengingat Daiki lah yang mengundangnya untuk datang ke tempat ini.
Daiki terus memandanginya dengan Haru yang juga melakukan hal yang sama padanya; menatap seorang yang tak berkabar beberapa hari ini sembari berjalan menghampiri.
Daiki tersenyum, lalu memberinya sebotol minuman yang segera diterima oleh Haru tanpa mengatakan apa-apa. Haru juga dibungkam oleh suasana. Entah harus memulai pembicaraan apa.
"Kau tidak merindukanku?" Tanya Daiki disertai cengirannya.
Haru sering sekali dibuat terkejut oleh sikap maupun perkataan Daiki hingga ia merasa bahwa Daiki adalah seorang yang susah untuk ditebak. Ia merasa bahwa pemikirannya mengenai Daiki bahwa ia mengetahui segala hal tentangnya itu adalah sebuah kekeliruan. Ia tidak tahu apa-apa tentangnya. Seperti halnya saat ini, Daiki menanyakan suatu hal yang menyudutkannya; merasa bahwa ia seakan dipaksa untuk jujur atas perasaannya.
"Apa kau bercanda, sialan?!" Tanya Haru yang terus berusaha untuk tidak terjebak dalam suasana.
"Kau berpikir seperti itu?...Kau memang orang yang begitu bodoh..." Kata Daiki yang nyengir ketika ditanyai hal seperti itu.
"Sial! Kemana saja kau?! Aku menguhubungimu beberapa kali, tapi nomormu tidak aktif! Kau juga tidak pernah membalas pesanku! Sial!" Cetus Haru dengan mimik wajahnya yang begitu kesal.
"Aku mengikuti ujian masuk universitas" Jawab Daiki dengan begitu tenang.
Daiki pun menjelaskan, kemana saja ia selama ini kepada Haru? mengapa ia tidak mengaktifkan ponselnya? Dan tidak membalas email dan juga pesannya?—Begitu rinci yang membuat Haru cukup menjadi pendengar yang baik untuknya. Walau demikian, ia masih kesal kepada Daiki yang tak memberinya kabar sama sekali; yang membuatnya begitu khawatir. Ia terus saja mengomeli Daiki yang malah membuatnya terbahak. Namun, dibalik kekesalannya saat ini, ada perasaan bahagia saat mengetahui ia baik-baik saja.
Setelah mendengar penjelasan dari Daiki yang menghilang karena mengikuti ujian masuk universitas, Haru berpikir bahwa perkataan Daiki hari itu benar-benar serius. Ia benar-benar akan pergi. Entah mereka akan tetap seperti ini ataukah berakhir walau hubungan mereka adalah hubungan tanpa sebuah kejelasan. Teman atau sebagai seorang kekasih. Hal yang selalu ingin ia pastikan.
*****