Chereads / Am I Normal? / Chapter 6 - Tak Terduga

Chapter 6 - Tak Terduga

Seminggu sudah berlalu, sejak Haru menyatakan perasaannya terhadap Daiki. Akan tetapi, sesalnya belum juga berlalu, bahkan semakin bertambah di tiap harinya. Seperti telah melakukan kesalahan besar. Mungkin, dan tak dapat diperbaiki lagi. Pikirnya.

Ia terus memikirkan perbuatanya tempo hari, dan dipenuhi dengan rasa kekhawatiran yang menggantung seperti bayangannya sendiri; yang mengikutinya tiap kali ia melangkahkan kaki.

Jika ia mampu mengatur waktu seperti jam pada umumnya, akan segera ia berbalik untuk tak melakukan segala yang membuatnya penuh sesal seperti sekarang ini; berbalik pada waktu sebelum ia mengenal seorang yang bernama Daiki.

Saat ini, Haru belum mempunyai nyali untuk menemui Daiki. Jangankan menemui, melangkahkan kakinya sekalipun untuk keluar kelas, ia tak mampu. Rasa penyesalan ini benar-benar telah membuatnya menjadi seorang yang begitu pengecut.

Ia begitu ketakutan. Bukan karena takut seperti ia sedang melihat hantu, melainkan takut jika Daiki memalingkan wajahnya saat bertemu dan takut jikalau Daiki akan membencinya. Namun, ia tetap berusaha tersenyum pada setiap orang yang ia temui; bertingkah seolah semua baik-baik saja untuk menutupi segala hal menakutkan yang selama ini ia cemaskan.

Hari-hari yang ia lalui begitu sulit. Rasanya baru sejenak mereka menjalin pertemanan, dan seketika lebur sebab kenaifannya sendiri. Ya, ia merupakan seorang yang begitu naif dalam urusan asmara.

Teman-temannya juga sedikit peka terhadapnya. Walau seberapa tebal topeng yang ia kenakan, mereka tetap akan mengetahui hal sebenarnya bahwa ia sedang menutupi suatu masalah. Namun, Haru juga seorang yang keras kepala, mencoba terus mengelak; mengatakan baik-baik saja, lagi dan lagi.

Ia seolah berusaha untuk terus lari dari sebuah kenyataan, tak ingin mereka mengetahui yang sebenarnya, dan terus mencoba memendam walau itu merupakan suatu hal yang begitu menyakitkan.

Sejak ia menyukai Daiki, terluka bukanlah hal yang tabu lagi. Ia cukup terbiasa sebab sudah beberapa kali merasakan perasaan yang kurang mengenakkan ini, tetapi dengan versi yang berbeda.

Jika hatinya diibaratkan sebuah kain maka, mungkin saja tak cukup benang untuk menambal sobekannya. Namun, untuk saat ini, luka inilah yang paling membuatnya seakan ingin menghilang begitu saja, dan juga membuat sobekan di hatinya sudah cukup luas. Ia tak bisa menyalahkan siapapun melainkan dirinya sendiri.

*****

Sepulang sekolah, Haru menuju ke tempat dimana mereka berdua pernah menghabiskan waktu bersamaa; tempat dimana ia melakukan hal yang disesalinya. Ya, bukit rumput itu.

Setibanya disana, Haru mulai membayangkan hari-hari menyenangkan yang terjadi saat itu; membayangkan apa saja yang mereka bicarakan di tempat ini waktu lalu, hingga ia tersenyum membayangkan semua hal di tempat ini.

Ia begitu bahagia saat itu. Berbicara banyak hal hanya pada malam itu, dan kali pertama untuk Haru mendengar banyak hal darinya. Namun, semuanya...mungkin tak akan terjadi lagi hari ini, esok, dan seterusnya. Pikirnya.

Ia terus saja memikirkan semua hal menyenangkan itu tanpa menyadari bahwa langit sore telah menjadi malam. Akan tetapi, gulitanya malam tidak menghalanginya untuk tetap berbetah diri; dan berdiam dalam kesunyian malam bersama imajinasinya.

Imaninasi membuatnya melupakan hal yang menyakitkan. Serasa ingin hidup dalam perimajinasian jika tuhan menghendaki. Pemikiran yang cukup bodoh sampai ia tak menyadari kehadiran seseorang yang sedang mendekatinya.

Seseorang memanggil namanya dengan nada yang cukup halus. Haru sontak membuka kedua matanya. Suara itu tak asing di telinganya. cukup jelas untuk sebuah imajinasi.

Ia berpikir bahwa ia mulai berhalusinasi sebab sebuah imajinasi. Cukup berbahaya, tetapi cukup menyenangkan juga. Ia pun kembali memejamkan matanya, dan mulai membayangkan hal-hal menyenangkan itu. Namun, sekali lagi, suara itu memanggil namanya dan membuatnya tak hanya membuka mata.

Ia terbangun, dan berbalik ke asal suara itu. Ya, benar saja. itu adalah suara dari orang yang berusaha ia hindari belakangan ini. Hah?! Sungguh di luar dugaannya dan membuatnya segera memalingkan wajah sebab tak mampu menatap orang yang sedang berdiri di belakangnya saat ini. Daiki.

Tepat di belakangnya, berdiri seorang yang masih begitu ia cintai yang menatapnya dengan tatapan yang begitu tajam sama seperti sebelumnya. Daiki. Ia tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana menatap kedua matanya.

"Oi..." Sapa Daiki sambil menepuk pundaknya, lalu segera duduk di samping Haru.

Ia terlihat menyodorkan sebotol cola untuknya dan segera diambil olehnya. Walau dengan perasaan canggung, ia berusaha untuk tetap seperti bersahabat menutupi kegalauannya malam ini.

Haru begitu gugup, ia masih belum bisa memandang wajah Daiki. Jantungnya kembali berdebar-debar seperti pada awal ketika ia melihat Daiki untuk pertama kalinya. Tangannya mulai dingin, ia juga tak tahu harus memulai pembicaraan darimana dengan pemikiran bekunya saat ini hingga ia memilih untuk terdiam.

Terdengar Daiki yang menghela napas panjang. Ia begitu ingin memandang wajah seorang yang berada di sampingnya saat ini, tapi tubuhnya menolak apa yang sedang dipikirkannya saat ini.

"Kemana saja kau selama ini?" Tanya Daiki, lalu meneguk minuman yang ada di tangannya.

Keheningan pun terjadi setelah Daiki menanyakan hal yang begitu mengejutkannya. Lebih daripada ia hadir begitu saja tadi. Haruskah ku meminta maaf?

"Hmm…Daiki...aku minta maaf soal waktu itu... aku—" Kali ini Daiki yang memotong perkataannya.

"Sudahlah..." Kata Daiki.

Haru pun menatapnya dengan jantung yang masih berdebar-debar, dalam dan lebih dalam lagi. Daiki pun membalas tatapan Haru, sama dalamnya dengan tatapan kali ini. Mata mereka saling beradu seolah saling berbicara, dan berbagi rasa. Dengan mata mereka pula, seolah mereka bisa saling mengerti satu-sama lain.

Pada keheningan ini, Haru begitu gelisah sebab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pikirannya mengenai suasana seperti saat ini. Entah harus menanyakan soal apa? Semua tampak begitu rumit dalam sebuah kegelapan.

Ia tak dapat melepaskan pandangannya dari Daiki yang sepertinya juga bersikap sama sepertinya. Ia ingin memalingkan wajahnya, tetapi begitu sulit untuk melakukan suatu pemikiran di kepalanya.

Keheningan ini benar-benar sebuah kecanggungan di antara meraka. Sepatah kata pun seolah tak berarti malam ini dengan hanya mata yang saling beradu. Namun, ada hal lain yang berisikan kejadian yang tak sama-sekali diduga oleh Haru, dimana perlahan ia melihat wajah Daiki semakin mendekati wajahnya, dekat dan semakin dekat, hingga ia merasa bibir Daiki yang hangat sudah menyentuh bibirnya.

Haru bisa merasakan bibir yang sedikit dingin sebab angin malam. Entah itu bibirnya atau bibir yang sedang menyentuh bibirnya. Kepalanya tak mampu memikirkan satu hal pun di kepalanya seperti sedang tak mempunyai masalah apa-apa. Namun, momen itu cuma sesaat saja dan segera Daiki menjauhkan wajahnya hingga ia kembali pada pemikiran sebelumnya.

Terlihat jelas kemerahan pada wajah Daiki setelah bibir mereka saling bersentuhan. Haru dapat memastikan bahwa mereka baru saja...berciuman dan merupakan hal yang benar-benar membuat perasaan di dadanya semakin tak mampu ia kendali. Entah itu rasa terkejut, senang, bingung, semua menjadi sulit untuk memastikannya.

Daiki tampak malu-malu. Sedang Haru terus saja menatapnya dengan mimik yang dipenuhi perasaan yang tak karuan. Lantas saja, tanpa pikir panjang lagi, Haru segera memegang wajah Daiki lalu balik mencium bibirnya.

Daiki memejamkan kedua matanya dan tampaknya ia tak keberatan dengan apa yang kali ini ia lakukan. Saat ini, betapa irama jantungnya pada tempo yang lebih cepat.

Haru tampak begitu menikmatinya, serta tangannya sibuk mengelus wajah Daiki saat ini. Bibir merah mudanya sedikit kering, tetapi kelembutannya masih dapat membuat candu. Pikirnya.

"Maafkan aku" Ujar Haru dengan lembut.

Wajah Daiki semakin memerah. Baru kali ini, ia melihat pemandangan yang seperti sekarang ini. Ia tak menyangka bahwa orang sedingin Daiki juga dapat berekspresi seperti orang-orang pada umumnya. Bukan karena ia aneh. Sama sekali tidak. Haru bahkan begitu menyukai sikap yang membuatnya selalu ingin tahu hal baru darinya.

Ia terus saja menatap Daiki dengan mata yang agak sayu, dimana saat ini ia tak ingin sama sekali menatapnya dengan terus menundukkan kepalanya untuk menutupi wajahnya yang memerah. Haru tahu bahwa itu merupakan hal yang begitu memalukan bagi Daiki.

"K-kenapa kau menghindariku?" Tanya Daiki yang memecah keheningan diantara mereka.

"Kau mengatakan hal semacam itu, lalu menjauhiku?! Kau memang sampah..." Lanjutnya.

Haru pun tertegun sejenak mendengar peratanyaan itu. Bukankah ia mengetahui sebabnya?

"Maafkan aku…hanya saja…" Kata Haru yang telah memalingkan wajahnya.

"Aku takut..." Lanjutnya sembari kembali menatap wajah seorang yang menanyainya.

Haru mulai menjelaskan sebab mengapa Ia melakukan hal itu kepada Daiki. Sedang Daiki, hanya terus terdiam mendengar penjelasan darinya.

Haru pun mulai menceritakan awal mula rasa sukanya kepada Daikin menjadi sebuah rasa untuk ingin memiliki hingga kejadian saat ini, begitu rinci, hingga membuat gelak tawa dalam kekakuan ini.

"Akan ku katakan sekali lagi" Haru terdiam sejenak setelah berkata hal itu.

"Aku mencintaimu, Daiki. Benar-benar mencintaimu" Kata Haru dengan tegas, sambil menggenggam tangan Daiki.

Tampak senyum tipis menghiasi wajah yang selalu beparas datar itu. Terlihat pula air mata pada sudut matanya yang berkilau diterpa kelap-kelip cahaya lampu kota Tokyo dari kejauhan. Akan tetapi segera Haru mengusapnya, lalu mendekap tubuh Daiki yang hangat hingga membuatnya sedikit terkejut. Namun, ia tak keberatan tanpa suatu perlawan, dan jika memang perlakuannya tak menyenangkan hati, Daiki bisa saja mendorong atau bahkan memukul wajahnya, tetapi tak ia lakukan.

Haru tak pernah menyangka atas apa yang terjadi malam ini. Ia sama-sekali tak menduga akan datangnya saat seperti ini; saat yang selama ini tak pernah ia sertakan dalam lamunannya. Ia begitu bahagia dengan ia terus menggenggam tangan Daiki, seolah tak ingin melepaskannya.

Entah apa yang akan terjadi esok, lusa, dan seterusnya, ia tak begitu memikirkannya, tetapi bukan berarti tak terlintas apa-apa di kepalanya. Hanya saja yang terpenting kali ini bagaimana agar hubungan mereka baik-baik saja untuk seterusnya. dan akan terus melakukan yang terbaik walau akan menjadi hal yang sedikit rumit.

Malam yang berbahagia. Tuhan memanglah sang maha adil untuk sebuah skenario hidup. Kesedihan yang ia pikir akan berlarut segera pada titik bahagia yang selama ini hanya berada dalam rana imajinasinya.

******