Hari ini tanggal 17 Agustus, pesta kemerdekaan sedang dirayakan di kota kecil ini. Di depan sebuah panggung dimana seorang Artis lokal mendendangkan lagunya. Aku dan dia sedang asyik menyaksikan sang artis berdendang dari lagu dangdut sampai lagu-lagu mancanegara. Kami tertawa riang, mau bagaimana lagi, sang artis memanglah seorang artis namun suaranya cempreng, sehingga semua lagu yang dibawakan terdengar lucu.
Dalam lautan keramaian ini kami tidak sendiri dalam tawa. Beberapa anak muda dan orang tua ikutan tertawa karena mendengar suara sang artis. Sang artis yang tidak merasa bahwa para penontonnya menertawakan dirinya malah semakin semangat berdendang sambil melancarkan tarian mautnya yang mirip dengan break dance. Sepertinya sang artis terpilih oleh produsernya karena semangatnya yang menggebu dan rasa malunya yang telah lenyap di dalam dirinya. Tapi terlepas dari semua kecemprengan suara sang artis dan riak tawa para penonton. Kami menikmati pesta kemerdekaan tersebut.
"Kapan kau berangkat?"
Merasa ditanya, akupun menoleh ke sebelahku. Rambut hitam pendek dan lurus dengan baju biru dekil dan wajah yang sedikit berdebu, celana hitam pendek dan kaki tanpa alas sehingga membuat kakinya terlihat kotor. Dia tersenyum tanpa memperlihatkan giginya karena kutahu giginya ada yang ompong dan dia malu memperlihatkannya. Tapi biarpun begitu, kuakui senyumannya itu sungguh manis.
"Hah? Maaf nggak kedengaran!"
Teriakku padanya, alunan musik yang dibantu dengan speaker besar membuat aku tak dapat mendengar apa yang dia katakan padaku. Sebelum ia kembali mengulang pertanyaannya, aku langsung menarik tangannya dan mengisyaratkan untuk keluar dari kerumunan. Diapun mengiyakan dan mengikuti tarikan tanganku.
Kami pun akhirnya berhenti di sebuah pos ronda yang berada cukup jauh dari panggung dimana sang artis mulai menggila dengan alunan lagu yang dibawanya. Dengan suara cempreng khas sang artis yang tak pernah berhenti mengundang tawa para penonton.
"Kapan kau akan berangkat?"
"Oh... besok."
Terlihat raut mukanya berubah, lebih sayu dan murung ketika mendengar bahwa aku pergi besok. Hening dan senyap menyelimuti kami. Kami berdua terdiam dan membisu.
Kulayangkan pandanganku ke arah panggung tempat sang artis berdendang. Aku tak mendengarkan artis itu mendendang. Mataku menatap kesana namun pikiranku jauh melayang.
Aku mengenal dia beberapa hari yang lalu. Dia adalah teman sekelasku. Saat itu aku dan dia sudah masuk kelas 4 SD di sebuah sekolah tua bertingkat 2. 3 kelas pertama dibawah dan sisanya berada di lantai 2.
Salah satu yang bisa kuingat darinya adalah senyumannya yang manis. Namun tidak pernah kulihat dia tersenyum sampai giginya kelihatan. Hal itu mungkin dikarenakan giginya yang ompong satu di depan. Siswa lain tertawa saat melihat giginya yang ompong ketika perkenalan pertama di kelas dan setelah itu dia menjadi sangat pendiam.
Pertama kali kami bertemu adalah ketika suatu hari aku pulang sekolah dengan berjalan kaki. Sebenarnya aku bisa pulang dengan angkot tapi kuhabiskan uang angkotku beserta simpananku yang telah aku kumpulkan untuk beberapa hari ini untuk membeli sebuah pistol mainan yang berpeluru bola plastik padat kecil yang jika kena badan pasti terasa sakit. Jarak antara sekolah dan rumahku cukup jauh. Kira-kira 2 jam berjalan kaki. Sungguh melelahkan.
Di perjalanan aku melihat dia di pinggir lapangan kosong sedang berhadapan dengan seekor anjing liar yang sedang menggeram kepadanya. Dia memegang cutter di tangan kanannya, dengan sedikit gemetar sambil memasang kuda-kuda seakan hendak menerjang anjing itu... atau malah menunggu anjing itu menerjangnya.
Aku yang hanya melihat dari kejauhan terdiam. Aku memang takut tapi kalau dipikir-pikir ini adalah kesempatan bagus untuk mencoba pistol mainanku. Harus kuakui kalau aku benar-benar takut jika harus berhadapan dengan anjing liar, tapi mungkin karena aku sudah biasa dengan hal yang seperti ini dan dulu aku pernah mengusir seekor anjing hanya dengan tongkat kayu. Hebat kan?
Karena mendapatkan kesempatan untuk mencoba pistol mainan baruku, semangatku mengalahkan rasa takutku. Kuambil pistol mainanku, mengisi magasinnya dengan peluru sampai penuh kemudian membidik anjing itu. Pistol ini layaknya "senjata tunggu dulu" sehabis tembak, kokang, bidik, lalu tembak lagi.
"Cepat lari setelah anjing itu mengejarku!" teriakku ke dia ketika sedang membidik anjing itu.
'Ptak...'
Tembakan pertama mengenai anjing itu tepat di badannya. Anjing itu menoleh dan mulai menatapku dengan garang. Kukokang lagi pistolku lalu aku tembakkan sekali lagi ke anjing tersebut.
Ptak...
Kena lagi, kali ini anjing itu mulai mengejarku. Jarak antara aku dan anjing itu yang cukup jauh, kembali aku kokang pistolku lalu kutembak lagi.
Ptek...
Tembakan yang bagus, kali ini tembakanku mengenai matanya sehingga anjing itu agak melambat sambil mengerang kesakitan. Tapi hal itu tidak berlangsung lama karena anjing itu segera pulih dan kembali mengejarku dengan kecepatan yang semakin cepat.
"Waktunya lari!"
Akupun berlari sekuat tenaga menjauhi anjing yang mulai mengejarku. Sesekali melihat kebelakang untuk memastikan apakah anjing itu masih mengejarku atau tidak. Aku berlari sambil beberapa kali berbelok di tikungan. Aku tak tahu harus lari kemana. Aku hanya berlari kemana kakiku ingin membawaku.
Dikejauhan kulihat sebuah pohon mangga besar, segera aku menuju pohon itu untuk memanjatinya. Dengan sisa tenaga dan dorongan adrenalin yang mengaliri tubuhku aku berhasil naik pohon itu dan menaiki dahan tertinggi yang dapat menopangku. Setelah beberapa kali mengambil nafas untuk menghilangkan keterengah-engahanku. Aku kokang pistolku untuk bersiap menembak anjing itu lagi.
Aku gemetaran namun senang karena berhasil lolos dari kejaran anjing itu. Entahlah apakah dengan tembakan-tembakanku akan dapat memancing anjing itu dari perempuan itu.
Tindakanku barusan sungguh sangat berani hanya karena habis membeli pistol mainan ini. Aku bagaikan seorang super hero yang menolong seorang gadis dengan pistol ditangannya. Sungguh mirip dengan tayangan super hero di TV. Hanya saja jika super hero melawan orang jahat, maka aku adalah super hero yang menolong seorang gadis dengan melawan seekor anjing liar yang hendak menyerangnya yang berakhir dengan aku melarikan diri dari panggung laga
"Tragis, hahaha."
Aku menertawakan diriku sendiri sambil menyiagakan Pistolku. Beberapa menit aku menunggu, anjing itu tidak kunjung datang.
"Jangan-jangan anjing itu berhenti ditengah jalan dan menyerang gadis itu."
Gumamku dalam hati. Khawatir dengan keadaan perempuan itu, aku langsung saja menuruni 3 dahan besar kemudian melompat langsung ke tanah. Meloncat dari ketinggian membuat rasa sakit di kakiku. Rasa sakit itu menjalar dari kakiku ke seluruh tubuhku, tapi aku abaikan rasa sakit itu dan segera melaju ke tempat dimana pertama kali perempuan itu berada.
Aku berlari dengan cepat. Memaksakan seluruh tenagaku yang sudah habis karena berlari dan memanjat pohon tadi. Aku merasa cemas terhadap perempuan yang baru kutolong. Apakah dia baik-baik saja?
Aku tetap melaju ketika akan melewati belokan menuju lapangan dan kemudian...
'Bruk'
Aku menabrak sesuatu, sosok yang kutabrak itu terpental. sementara aku mungkin lebih tepatnya terdorong karena terpeleset kerikil kecil yang membuatku kehilangan keseimbangan sehingga aku malah menimpa sosok yang kurasa adalah seorang perempuan.
"Be-berat!"
Sosok itu bisa bicara. Dan sesuatu itu adalah dia... maksudku seorang perempuan berambut pendek hitam lurus dengan baju SD merah putih sama seperti diriku. Roknya kotor karena terjatuh dan baju putihnya terdapat noda merah.
Bercak merah? Ya, noda merah darah yang berasal dari tangan kanannya yang berdarah.
"Maaf"
Aku segera bangkit dan mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Ia sambut dengan memberikan tangan kirinya yang tidak berdarah dan kemudian bangkit.
"Kau baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja, uuu..."
Dia mengerang kesakitan.
"Baik-baik saja gimana?! Liat tuh tanganmu berdarah!"
Segera kubahu dia dan berjalan. Mukanya terlihat sedikit memerah sambil sesekali melihatku sambil bernafas berat. Eh? Apakah dia tersipu malu karena melihat wajahku? aku yang hanyalah seorang bocah berumur 10 tahun telah membuat anak perempuan tertarik padaku. Sungguh suatu pencapaian yang luar biasa!
Seketika dia jatuh terduduk dengan nafas yang semakin berat. Aku yang tadi ke GR-an langsung dengan sigap menahannya berat badannya yang jatuh bebas sebelum ia benar-benar jatuh sempurna. Kacau.
"Dimana rumahmu? Biar kuantar kau kerumahmu."
Dia hanya diam, kayaknya dengan kondisinya yang sekarang membuatnya sulit untuk berkata-kata. Akupun mengambil inisiatif untuk membawanya ke rumahku.
"Begini saja, kau akan kugendong ke rumahku, biar lukamu akan dirawat ibuku."
Tanpa menunggu persetujuannya dia kugendong hingga kerumah. Jarak antara tempat kami berada dan rumahku sekitar setengah kilometer lagi. Dengan tenaga paksaan dan hanya berbekal harga diri sebagai lelaki tangguh, aku berjalan menuju rumah.