"Eh... Uhm... Wahai cermin kejujuran... apa, ya?" Milena menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Setidaknya ia harus mengajukan sebuah pertanyaan. Dan saat ini, ia tak tahu harus bertanya mengenai apa. Otaknya buntu. Milena mendongak ke arah jendela bundar, hari sepertinya akan segera gelap. Ia berbalik menatap tangga di belakangnya. Penyihir itu sepertinya pergi untuk waktu yang cukup lama. Pikirnya.
Sang peri menghela napas lega.
Ia kembali melihat pada cermin, kali ini sebuah pertanyaan muncul di kepalanya.
"Wahai cermin kejujuran, aku ingin tahu. Apakah para penduduk desa begitu membenciku?" saat Milena melontarkan pertanyaan itu, permukaan cermin memperlihatkan sebuah gambaran kabur yang lama kelamaan semakin jelas. Perasaannya campur aduk. Ingin rasanya melempar cermin itu.
Para penduduk desa tampak masih melakukan aksi demo mereka, kali ini mereka sampai membuat model berbentuk Milena dan membakarnya di tengah alun-alun kota. Mereka membakarnya layaknya Milena adalah seorang penyihir? Sebegitu bencinya para penduduk desa terhadapnya? Ia tak melakukan pengkhianatan seperti salah seorang peri yang bersekongkol dengan Katrina. Mereka sungguh melihat Milena bagaikan hal yang menjijikkan? Tidak bisa dipercaya!
Ini tidak benar! Bukan aku yang seharusnya mereka salahkan! Protesnya dalam hati.
"Cukup." Kata Milena pelan pada cermin itu. Dan cermin itu kembali normal.
Kepalanya tersentak ke belakang, alih-alih melihat wajahnya yang marah karena perlakuan tak suka dari penduduk desa, ia melihat air mata mengalir di kedua pipinya. Air mata itu mengalir menuruni pipinya dan membasahi permukaan cermin. Milena membersihkan permukaan cermin itu dengan mengusapkan kedua tangannya. Pantulan wajahnya kini terlihat tak beraturan.
Malam semakin larut, ia perlu menyusun rencana untuk keluar dari ruangan itu. Mungkin tak ada salahnya jika tidur sebentar. Itu baik untuk otak. Begitu menurutnya. Dengan pikiran seperti itu, ia menyeret cermin ke meja seberang.
"Cermin ini lumayan juga kalo diseret. Aneh sekali." komentarnya ketus.
Milena menyandarkan cermin itu dengan posisi horizontal pada kurungan yang menahannya sebelumnya. Ia duduk termangu dengan memeluk kedua tumitnya, memandang pantulan dirinya melalui cermin. Sayapnya tak bisa dikepakkan, terlanjur mati rasa meski telah meminum pil P3K sebelumnya.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Pikir Milena dengan perasaan cemas.
Akhirnya ia tertidur dengan perasaan campur aduk, merasa lelah dengan semuanya. Entah apa yang akan terjadi padanya nanti. []