>> PERINGATAN! <<
• MENGANDUNG SPOILER! HARAP SKIP JIKA TAK SUKA SPOILER! •
Saya kasih preview, karena mungkin 2 minggu ke depan saya nggak update gegara mood anjlok akibat novel ini ulasannya baru 3 biji. Penyakit umum para author. Bukan masalah baperan. Kalo nggak percaya, silahkan bikin novel sendiri dan rasakan perjuangannya.
Komen, voting dengan batu kuasa, dan ulasan dengan rating tinggi adalah penyemangat bagi para author. Apalagi kalau babnya dikunci. Rajin update pastinya.
Tapi, saya cuma butuh ulasan dengan rating tinggi dan vote batu kuasa dari kalian, nggak minta kalian bayar. (¬_¬)
Melihat respon kalian yang terlalu diam, saya akan mulai mikir-mikir buat mengajukan kontrak untuk semua novel saya tahun depan. ( ̄ー ̄)
Iya, saya sensitif dan manja, namanya juga penulis, pasti ada maunya, sama kayak pembaca pasti ada maunya. ISH! NYEBELIN!!!
Saya nggak suka marah-marah, ngambek, sih, iya. (¬_¬)
____________________________________________
>> Preview dari entah bab berapa ( ̄Д ̄) <<
Malam hari, David datang mengunjunginya. Kali ini tidak seperti biasanya, ia tak membawa makanan yang terbuat dari pisang, melainkan makanan Cina cepat saji dan bersama seorang teman. Namanya Max, perawakannya lebih tinggi dari David, garis rahangnya tegas dan diperkuat dengan rambut hitam ikal sebahu, matanya agak sipit, hidung mancung, alis hitam legam, dan kulitnya putih pucat seperti mayat hidup, tapi masih ada semburat rona merah mudah di sana, warna kulit yang agak tidak biasa. Ia memakai jaket hitam dengan dalaman kaos putih polos, teman sekelas David katanya.
Ketika orang asing itu memasuki ruangan, ia membeku sesaat di tempatnya. Sorot matanya sulit ditebak, Milena memicingkan mata keheranan. Apakah dirinya begitu aneh? Pikirnya seraya menilai penampilannya sendiri.
Sementara David berjalan menjauh darinya, ia dan lelaki itu saling tatap seolah-olah kehadiran David hanyalah udara kosong. Lelaki itu melangkahkan kaki seraya mengatupkan rahang, sekilas jika Milena tak memperhatikan dengan saksama, mungkin ia tak akan melihatnya tengah mengendus bau seperti menciumi aroma jijik, keningnya bertaut sangat cepat. Milena meragukan penglihatannya itu karena seketika juga senyum khas terbingkai indah di wajah Max. Ekspresi itu berlangsung cepat. Sangat cepat. Hingga Milena merasa telah keliru dengan penglihatannya.
"Kau pasti Milena!" nada suaranya melengking riang, tangannya terjulur ke depan.
"Yeah. Itu namaku." Milena tak bisa menahan senyum canggung di wajahnya.
"Dia Max Issac." Kata David tenang, menyiapkan makanan di atas meja geser.
"Max! Senang bertemu denganmu." Senyumnya sangat lebar hingga Milena sulit untuk tidak membalasnya.
"Senang bertemu denganmu, juga." Milena berusaha terdengar ceria, tapi kalimat itu nantinya menjadi kalimat yang akan disesali seumur hidupnya.
Max orang yang sangat ramah. Matanya pasti telah mempermainkannya beberapa saat lalu. Perkenalan itu cukup singkat dan normal: saling bertukar nama, berjabat tangan, lalu menanyakan keadaannya seperti hal umumnya yang dilakukan seseorang ketika menjenguk orang sakit. Milena bisa merasakan kalau Max sangat tertarik padanya, bukan dalam artian khusus, lebih seperti seorang teman. David bilang padanya jika Max memang orang yang suka bergaul pada siapapun, memintanya agar tidak salah paham.
Beberapa menit kemudian, David keluar mencari pamannya, Max menghampirinya, memandang Milena cukup dekat, tatapannya tajam dan tak berkedip, membuat siapa pun pasti salah tingkah jika diperlakukan seperti itu.
Milena memundurkan kepalanya, kening berkerut.
"Jadi, peri, huh?" Max berusaha menahan tawa, berdeham sekali lalu melanjutkan dengan hati-hati, "David menceritakan semuanya padaku," lanjutnya tersenyum.
Sesaat, Milena nyaris saja terpesona. Namun senyum khas yang indah itu berubah dalam sedetik. Bukan senyuman seperti sebelumnya saat mereka berkenalan di awal. Senyum itu lebih mirip cengiran mengerikan: senyuman yang merendahkan dan menghina. Apa ini bukti bahwa ia tidak salah lihat sebelumnya? Sungguh aneh!
"Eng.... Yah.... David pasti orang yang cerewet," gerutunya, terkekeh. Milena berusaha mencairkan suasana, tapi gagal.
Max terbahak mengejek. Ia duduk bersandar di kursi kayu, menyesap sodanya lalu melanjutkan, "apa semua ini baru bagimu? Seminggu belakangan ini?"
"Ya!" nada suara Milena mulai terdengar kesal.
"Jangan khawatir. David bukan orang seperti itu. Tingkahnya yang aneh belakangan ini yang membuatku curiga. Tidak biasanya dia hilang fokus dan seperti orang bodoh yang melamun sendirian." Ia memakan mie cukup banyak, mulutnya belepotan bumbu. "Setelah kuselidiki, ternyata kau penyebabnya." lanjutnya lagi dengan penekanan kuat pada kata 'kau'. Ada nada tak bersahabat dalam suaranya. Ia menyeka mulutnya dengan ujung lengan bajunya, lalu menatap tajam Milena cukup lama,
"Jadi, apa maksudmu?" tuntut Milena, mulai tak nyaman dengan lelaki itu.
"Kenapa kau tak memakan makananmu?" Ia mengabaikan pertanyaan sang wanita, meraih kotak makanan cepat saji Milena, membuka tutupnya dan mengambil separuh isinya, "maaf, aku lagi lapar."
"Aku tak menyangka kau kasar dan tak sopan!" Milena mendengus kesal, melempar tatapan tak percaya pada Max.
"Well, itulah aku!" Ia berhenti mengunyah, kepribadian ramah dan hangat Max berubah. Ia dingin, kasar, tajam, dan tak bersahabat, "ini sifat asliku. Rahasiakan dari David." Ia mengedip genit, tersenyum nakal.
"Apa maksudnya itu?"
Max mengawasi pintu, jaga-jaga David telah kembali. Senyum liciknya merekah ketika melihat tak ada siapapun. Ia bersandar dengan santai, kedua kakinya terangkat ke sisi tempat tidur. Alas sepatu boot-nya menghadap Milena. Sembari mengunyah makanan berkata, "hentikan semua omong kosongmu. Aku tak menyukaimu, ralat, mungkin saja aku akan menyukai—" dia mengernyitkan kening sesaat, "—kalau kau tak bertingkah seperti cewek delusional penuh tipu daya." sudut bibirnya berkedut. Ia menatap tajam Milena, lagi.
Bulu kuduk perempuan itu meremang. Apa dia berkepribadian ganda? Dokter Ames pernah menjelaskannya sekali tentang jenis gangguan mental itu.
"Aku tak mengerti dengan apa yang kau bicarakan." Emosi Milena mulai terpancing, selama di dunia manusia seminggu ini, baru hari itu ia tersulut amarahnya.
"Aku tahu kau hanya berpura-pura. Kau ingin PDKT dengan David, kan? Hentikan sebelum kau terluka." Itu bukan perintah, tapi peringatan.
Milena terpaku.
Ada apa dengan orang ini? Pikirnya kesal.
>> Bersambung <<