Pasti ada sesuatu yang bisa digunakan untuk meraih cermin itu, pikirnya serius. Milena berjalan pelan mengamati benda yang ada di atas meja. Sebuah pena bulu menarik perhatiannya. Ia mengelus dagu, berpikir. Diraihnya pena bulu itu dan di seretnya sepanjang jalan menuju kotak besi tadi.
Sang peri berdiri di depan kotak besi, mengamati dengan saksama. Pena bulu itu berada dalam genggamannya.
"Baiklah. Ini hanya tes kecil." katanya bersemangat.
Milena mengarahkan ujung runcing pena bulu itu pada kotak yang terbuka tadi. Ia menggunakannya untuk membuka kotak sedikit demi sedikit. Setelah cukup dalam jangkauan pandangan mata, ia melihat cermin kejujuran itu mengambang pada dimensi gelap yang tampak tak berujung di belakang cermin itu. Kotak apakah sebenarnya itu? Milena mulai merasa ngeri, bulu kuduknya berdiri. Semakin lama ia menatap pada dimensi gelap tak berujung itu, ia merasakan dorongan untuk masuk ke dalamnya. Kedua tangan Milena gemetar semakin hebat. Keringat dingin kembali menyerangnya. Ia menyentuh cermin itu dengan ujung pena bulu. Cermin itu bergoyang pelan di udara, lalu kembali diam. Ia harus mengambilnya dengan tangan kosong. Perutnya tiba-tiba mual.
Milena meletakkan pena bulu di sisinya, memberanikan diri berjalan menuju cermin itu. "Ah... sebaiknya ini tidak sia-sia." katanya dengan suara berbisik. Matanya tak lepas dari kedua sisi kotak yang terbuka di kiri kanannya. Takut-takut akan tertutup sendiri. Wajah Milena memucat setiap kali ia melangkah ke arah cermin.
Saat ini ia sudah masuk ke bagian dalam kotak besi itu. Tangannya terjulur di udara ke arah cermin itu. Lagi-lagi, ia menelan ludah gugup. Saat menyentuh tepiannya, cermin itu bergoyang kembali. Mata Milena menyipit. Kotak itu tak akan menutup saat aku meraih cermin itu, kan? Ia bertanya-tanya dalam hati. Jantungnya serasa ingin melompat keluar. Wajahnya sudah pucat pasi.
Krek!
Tangannya mencengkeram tepian cermin hingga tanpa sadar mencakarnya. Ia tersentak kaget. Lalu mendengus pelan. Kuku bodoh! umpatnya dalam hati. Matanya melirik ke kiri dan ke kanan, memastikan tak ada gerakan aneh dari kotak besi itu. Setelah merasa aman. Ia menarik pelan cermin itu dari tempatnya, semula Milena mengira cermin itu akan terasa berat. Tampaknya perkiraannya salah. Cermin itu hampir seberat kacang almond yang diambil dari rumah tupai bawahannya.
"Beruntung sekali!" soraknya gembira.
Cermin itu kini berada dalam pelukannya. Ia keluar perlahan dari dalam kotak besi, dan membaringkannya di atas buku mantra. Wajah Milena berseri-seri terlihat dari pantulan cermin. Terbersit di pikirannya untuk mencoba kehebatan cermin itu. Hanya saja, bagaimana ia menggunakan cermin itu? Milena kebingungan.