"Buku Alkemis? Apa yang penyihir itu coba ciptakan?" ucapnya tanpa sadar. Perasaan Milena menjadi benar-benar tak enak.
Ia menelan ludah gugup. Jantungnya kini berdegup lebih kencang, rasanya seperti akan lompat dan lari meninggalkan tubuhnya. Tangan gemetar hebat. Entah suatu keberuntungan atau kesialan yang menimpanya bertemu buku terlarang. Apa yang diharapkannya di dalam rumah seorang peyihir kegelapan? Milena terkekeh sinting.
Dengan tangan masih gemetar, ia menyentuh halaman buku itu. Keringat dingin menuruni lehernya. Kalimat-kalimat dengan huruf-huruf aneh tertulis di halaman sebelahnya. Ia mengernyitkan kening. Ini Rune yang tak diketahuinya. Agak berbeda dengan huruf Rune yang ia ketahui, namun ia yakin itu huruf Rune. Beberapa goresan yang ia lihat menyerupai huruf Rune, namun agak asing. Ia membalik halaman berikutnya. Ada lebih banyak lagi kalimat yang tertulis di sana, dan beberapa gambar mengenai instruksi sebuah ramuan. Ini tidak bagus, katanya dalam hati.
Jika saja ia bisa membaca apa yang ada di dalam buku itu, ia bisa tahu apa yang sebenarnya yang Katrina rencanakan. Percuma membolak-balik sebuah buku tanpa tahu isinya. Ia menggerutu kesal. Mencuri buku alkemis itu sepertinya mustahil. Terlalu berat. Jika ia mencuri buku itu, mungkin bisa memperlambat rencana apapun yang dipersiapkan oleh Katrina. Aku akan jadi pahlawan, bukan? Penduduk desa akan segan padaku! Pikir Milena bersemangat. Lalu, ia menyeringai puas. Detik berikutnya wajahnya muram. Bagaimana ia melakukan hal itu? Sementara ia tak tahu meloloskan diri. Isi perutnya serasa terbalik.
"Mungkin kalau aku membakarnya saja!" seru Milena kegirangan. wajahnya berseri-seri dengan ide briliannya.
"Sekalian saja aku membakar ruangan ini!" ucapnya dengan menyeringai lebar. "Tapi, apa yang harus kulakukan untuk keluar dari sini? Aku bukan tipe pahlawan yang rela mengorban dirinya! Brengsek!" Milena membanting halaman buku itu hingga menutup.
Hatinya benar-benar kesal. Tak ada sama sekali hal yang bisa diperbuatnya. Ia teringat akan satu kotak aneh lagi.
"Apa, sih, isi kotak itu? Mungkin aku bisa melihat isinya. Lagian, tak perlu sebuah mantra untuk membukanya." Ia mengerucutkan mulut, matanya menyipit.
Kotak itu terlihat tak berbahaya. Di antara semua benda yang ada di ruangan itu, kotak itu satu-satunya tanpa mantra pelindung. Ia agak sedikit ragu, tapi ekspresi Katrina sewaktu membukanya membuat Milena penasaran. Ia mengerang kesal. Dia benci dengan sifat rasa ingin tahunya, sifatnya itu yang mungkin akan membuatnya kehilangan nyawa. Seperti keadaannya saat ini. Jika ia tak bisa keluar, maka tamat sudah riwayatnya. Siapa yang bilang punya sifat rasa ingin tahu yang besar itu bagus?
Dengan perasaan was-was, Milena mendekatkan tangan kanannya. Ketika menyentuh kotak itu, jantungnya serasa berhenti sesaat. Perlahan, ia membuka penutup kotak itu, sebuah kilauan hijau menyilaukan matanya selama beberapa detik. Milena panik, mengira dirinya telah buta.
Saat matanya normal kembali, ia mengomel panjang lebar tak jelas. Mengutuki hidupnya dan para penduduk desa yang membencinya. Milena terdiam ketika melihat isi kotak itu dengan saksama. Sebuah kalung indah tergelak di dalamnya. Liontin zamrud dari kalung itu yang tampaknya membuat kilauan yang sempat membutakan Milena beberapa saat lalu.
"Ini indah sekali." katanya tanpa sadar.