Chapter 43 - Tipu daya Sang Penyihir (1)

Sekujur tubuh Milena terasa sangat berat, lelah, dan nyeri sekali. Sayapnya yang cacat, kini bukan apa-apa lagi dibanding rasa sakit yang menyerangnya. Ia membuka mata perlahan, agak kabur, tahu dan sadar apa yang telah terjadi. Akan tetapi, otaknya masih belum mau menerima kenyataan itu.

Milena ingin terlelap selamanya saja. Mungkin ia sedang dihukum oleh karma, bahkan untuk tertidur lelap selamanya ia tak bisa. Bau tak sedap berputar-putar dalam ruangan, menusuk hidung seperti bau bangkai. Milena mengerang lemah.

Takdir macam apa ini? Konyol sekali... Keluhnya dalam hati.

Ia sudah kembali ke bentuk aslinya. Tubuhnya yang semakin lemah serta kulit yang memerah dan terkelupas membuat dirinya tak mampu bergerak sama sekali.

Mati saja sekalian... Pikirnya sarkastik.

Tanpa peringatan, sang penyihir menguncang kandang, membuat Milena tambah merana. Tubuhnya menggelinding ke kiri dan ke kanan.

Milena mengintip melalui celah mata kanannya, cahaya dari jendela bundar tampaknya menandakan hari sudah sore. Apakah ia pingsan sebegitu lamanya? Besi memang hal yang mengerikan bagi para peri.

"Bangun peri pemalas!" seru sang penyihir.

Milena ingin bangun, kabur, dan melupakan soal cermin kejujuran yang ada di depan matanya. Secara harfiah, ada di depan matanya! Sang penyihir membuka kandang dan meraih Milena dalam genggamannya. Ia menatap Milena yang terkulai lemas.

"Kau peri terbodoh yang pernah kutemui selama ini." Sang penyihir tertawa terbahak.

Usai tertawa terbahak, ia meletakkan Milena di samping kandang—tahu bahwa peri yang kontak langsung dengan besi cukup lama memakan waktu untuk kembali pulih, ditambah saat ini Milena diletakkan di samping kandang yang terbuat dari besi.

Peri itu tak sanggup berbuat apa-apa. Apa dia akan diawetkan? Apakah ramuan busuk yang dibuat sang penyihir adalah ramuan untuk mengawetkannya? Ia melihat penyihir itu melenggak-lenggok di dalam ruangan sambil meraih berbagai bahan yang dimasukkan ke dalam kuali satu persatu.

Milena memejamkan mata. Berharap bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Berharap bahwa ia ada di tepi sungai bersama Alfred, masih beragumen mengenai niatnya mencuri cermin kejujuran. Senyum putus asa terpasang di wajahnya sesaat. Semua sia-sia.... Tak ada yang bisa menolongnya saat ini.... Hanya kematian yang diharapkannya menjadi penolong nomor satunya. Tapi, apakah kematian akan berlaku kejam atau lembut padanya? Adakah kematian yang lembut?

Sang peri membuka mata. Penyihir itu tampak duduk di kursinya dengan kotak kecil di tangan. Ekspresi wajahnya tampak bingung. Ada apa? Ada yang berjalan tak sesuai rencananya?

Alih-alih tertawa, Milena terbatuk-batuk dan membuatnya menarik perhatian sang penyihir.

"Kau sudah sadar sepenuhnya, eh?" Ia mendekati Milena, menyodok-nyodoknya seolah-olah dirinya adalah seonggok benda menjijikkan.

"A—" Milena hendak mengatakan sesuatu, tapi tenggorokannya yang kering membuatnya susah berbicara.

"A? A apa? Apa kau tahu kalau kau adalah peri terbodoh yang pernah kujebak?" Senyum menyeringai penuh kemenangan terpasang di wajahnya.

Apa maksudnya itu? Jadi, benar kalau sang penyihir itu sudah tahu tentang dirinya selama ini? Tapi, bagaimana mungkin? Apa yang salah dengan rencananya?