"Aku punya permintaan penting."
"Apa itu?"
"Pertama-tama, kau harus berjanji dulu padaku." Ucapnya dengan nada lemah dibuat-buat.
"Berjanji? Apa itu?" kepalanya tersentak ke belakang, bingung.
"Ya. Kau harus menuruti satu syaratku." Milena mengedipkan mata.
"Oh! Kau licik, meski detik-detik kematianmu sudah dekat." Dia tertawa. "Lalu, apa itu?"
"Berjanjilah dulu padaku." Dilihatnya kening sang penyihir bertaut, Milena buru-buru menambahkan, "tenang saja, aku tak memintamu melepaskanku. Aku juga tak mau jadi rekan kejahatanmu menyembah Iblis di malam Halloween atau apalah itu!" Milena memutar bola mata.
Sang penyihir merasa tersinggung, detik berikutnya ia tersenyum dan berkata dengan nada menyakinkan. "Baiklah. Aku berjanji."
Milena menatapnya. "Lakukan sumpah penyihir agar aku tahu kau tak akan melanggar permintaan terakhirku."
Sang penyihir tampak terkejut. Belum pernah ia bertemu peri yang begitu cerdik.
Ternyata ia tak sebodoh itu! Pikirnya.
Para penyihir tak bisa melanggar sumpah mereka, jika dilanggar hal buruk akan terjadi. Ia menganggap remeh peri ceroboh itu. Mau tak mau ia harus melakukan sumpah itu.
"Baiklah." Katanya dengan nada pasrah. " Akan aku lakukan!" tangan kanannya mengarah pada tangga, sebuah kilatan merah meluncur turun dan melekat pada genggaman sang penyihir.
Sebuah tongkat sihir setinggi mata, berpendar beberapa detik. Selanjutnya, pendar itu lenyap, digantikan oleh sebuah permata merah berkilau yang ada di puncak tongkat.
"Kau sungguh-sungguh berniat menjadikanku persembahan, eh?" Milena terkekeh lemah.
"Kau tak akan tahu betapa senangnya diriku mengetahui bahwa kulitku akan kembali cantik dan halus," ia mengelus telapak tangan kanannya yang kurus, nyaris bagaikan tengkorak—kulitnya menempel pada tulang dan berkerut, ia tersenyum dengan mata berbinar dan dalam sekejab senyumnya hilang saat berkata, "meski hanya untuk sementara...."
Sungguh menyeramkan! Pikir Milena ngeri.
"Ada apa dengan tanganmu?" tanpa sadar ia bertanya. Milena tak ada niat untuk mengetahui masalah pribadi sang penyihir, hanya saja rasa ingin tahunya kadang-kadang membuat mulutnya berceloteh duluan tanpa berpikir panjang.
"Ada apa dengan tanganku, uhm? Tangan ini?" nada suara sang penyihir terdengar tak senang dengan pertanyaan itu.
"Maaf. Hanya penasaran. Lupakan saja kalo begitu." Milena nyengir.
"Oh. Tidak. Akan aku beritahu." Ia tersenyum licik.
Milena sungguh tak menyukai senyuman sang penyihir itu, bibir yang indah tapi tampak seperti mengandung racun dan terlihat jahat. Mungkin saja jika ada pria yang menciumnya, sang pria akan meninggal seketika. Pikiran konyolnya kembali mengutak-atik otaknya, ia hendak tertawa keras, tapi ditahannya. Itu hanya akan membuatnya kehilangan sebuah peluang untuk melarikan diri.
"Kau akan mengingat alasan mengapa kau menjadi persembahan yang istimewa. Mendapatkan cermin kejujuran tak semudah yang dipikirkan siapapun. Kau terlalu bodoh untuk dikelabui."
"Tunggu dulu!" potong Milena. "Apa salah satu penjaga di istana adalah kaki tanganmu? Itu benar, kan?"
Sang penyihir terdiam. Ia duduk di kursinya dengan satu tangan memegang tongkat. "Dan kenapa aku mau memberitahumu hal itu?" nada suaranya berubah tajam.
Milena tergelak. "Sebentar lagi aku akan mati. Setidaknya beritahu aku bagaimana caranya aku sampai termakan rencanamu yang luar biasa hebat ini! Oh! Perlu kau tahu, ini bukan permintaan terakhirku. Aku hanya ingin tahu." Usai berkata demikian, napasnya mulai terasa sesak.