"Menarik. Baiklah." Ia mengamati Milena yang sesak napas tanpa ekspresi. "Akan aku beritahu sedikit rencana luar biasaku. Menjadi penyihir di hutan sepi seperti ini terkadang membuatmu kesepian." Ia melambaikan tangan kirinya di udara, nada suaranya terdengar menyedihkan. "Sepertinya aku memiliki hobi baru. Berbicara dari hati ke hati dengan persembahanku sebelum menemui ajal. Uhm. Aku suka ide itu." Ia menganggukkan kepala, terlihat agak senang.
Sinting! Umpat Milena dalam hati.
"Oh! Sampai di mana kita? Ya! Ide!" serunya senang. "Kau sebenar bisa menjadi asistenku. Seperti masa-masa sebelum perang terjadi." Ia memandang Milena dengan sebelah kening terangkat.
"Teruslah bermimpi!"
"Kau yang rugi kalau begitu. Oh! Mari kita lanjutkan sesi dari hati ke hati ini. Sampai di mana lagi kita?" telunjuk kirinya menyentuh dagu, mata menarawang jauh, "Ah! Ide!" katanya, antusiasnya terhadap sesi dari hati ke hati itu membuatnya sedikit bersemangat tanpa disadarinya. "Aku sudah memberitahumu sebagian alasan mengapa aku menjebakmu, bukan? Pada mulanya, kau bukanlah incaranku. Bahkan aku tak tahu kau ada. Kau memang istimewa, aku akui itu. Akan tetapi, kau tak cukup bagiku, istilahnya, kau hanya kudapan di saat senggang." Ia memandang Milena dengan tatap nanar dibuat-buat.
"Berhenti menatapku dengan tatapan seperti itu!" koarnya galak, tetapi hanya berupa sayup-sayup sebuah bisikan marah yang mengambang di udara.
Tanpa memikirkan perkataan Milena, sang penyihir meneruskan ocehannya. "Usiaku jauh lebih tua dari yang terlihat. Aku bahkan lebih tua dari kakek buyutmu. Kau tahu hal yang paling menarik, eh? Aku menyantap kakek buyutmu sampai tak ada yang tersisa." Ia tertawa keras.
Milena tak tahu harus bereaksi apa. Sekujur tubuhnya sakit dan ia harus mengulur waktu agar ide jenius datang padanya. Dan kejutan lainnya, sebuah fakta menyedihkan mengenai kakek buyutnya yang ternyata menjadi santapan penyihir kegelapan sinting. Lalu, dirinya akan menjalani nasib yang sama? Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, eh? Otak Milena masih sulit mencerna semuanya secara bersamaan. Nasib macam apa yang menimpanya saat ini?
"Kau pasti terkejut, bukan?" sang penyihir menyeringai lebar.
"Ya." Milena melambaikan tangan , namun tak ada nada terkejut sama sekali.
"Oh. Kau tipe yang tak begitu peduli dengan keluarga rupanya." Sang penyihir terkikik. "Baiklah. Kita lanjutkan cerita tadi," ia berdeham, "setelah menyantap kekuatan kakek buyutmu, aku langsung menandainya dengan sebuah kata 'luar biasa'. Rasanya sungguh berbeda, begitu langka dan istimewa. Kaki tanganku yang selalu melapor terkadang berpapasan denganmu dan membuatnya terpercik aura-mu yang begitu kuat. Aku tak tahu kalau aura peri bisa mempengaruhi seseorang sampai aku mengetahui tentangmu. Rencana yang telah kususun, tiba-tiba saja memiliki rencana ekstra yang luar biasa."
Milena sebal dengan ucapan yang itu-itu saja sejak tadi, tapi ditahannya untuk protes.
Dasar penyihir tua reyot! Umpat Milena dalam hati.
"Siapa, sih, kaki tanganmu itu? Sungguh menjengkelkan aku diperlakukan seperti peri buangan, sementar ada peri yang berkomplot dengan penyihir sepertimu." Ia mengeryitkan kening tak puas. "Apa salah satu penjaga di perbatasan?" selidiknya.
Ia tertawa terpingkal-pingkal. "Aku tahu kau akan berpikir demikian. Oh, kau sungguh lucu! Orang seperti mereka tak berguna sama sekali. Jika kau membutuhkan kaki tangan, setidaknya peri itu harus cerdik dan licik, serta memiliki penampilan tak mencolok. Poin pentingnya adalah memiliki nilai baik di mata peri pada umumnya."
"Oh! Seorang munafik rupanya!" cemooh Milena, nyengir.
"Terserah apa katamu. Kinerjanya—Her performance (Her-bentuk kepemilikan perempuan dalam Bahasa Inggris) sungguh memuaskan. Bekerja begitu rapih dan tepat waktu. Penjaga perbatasan itu hanya faktor keberuntungan. Katalis yang memperlancar segala rencanaku!" Ia terkikik lagi.