Setidaknya aku tak akan berada sendirian di dalam stoples dingin dan sempit. Milena terbahak memikirkan hal itu.
"Kenapa kau terbahak?" seru sang penyihir, ia merasa tersinggung.
Milena merentangkan kedua tangannya di kedua sisi, menatap langit-langit ruangan itu. Terdiam sesaat. Tubuhnya kini sudah menyesuaikan diri dengan rasa sakit yang melekat padanya. Ia memiringkan kepala pada sang penyihir lalu bertanya dengan nada mengejek, "apa kau hanya mampu membuat ramuan busuk seperti itu? Bau bangkai yang sangat mencerminkan dirimu, eh?"
"Yeah! Berbicaralah sesukamu! kau pikir aku mengeluarkanmu dari kandang besimu hanya untuk ngobrol dan membiarkanmu mengejekku? Asal kau tahu!" telunjuknya dinaikkan setinggi mata, wajahnya begitu dekat dengan Milena.
"Ramuan itu khusus untukmu. Bukankah sudah kubilang kau istimewa? Sesuatu yang istimewa, harus diperlakukan istimewa pula, bukan?" ia terkikik nyaring.
"Kau tak berniat mengawetkanku dalam stoples, eh? Seperti yang kalian lakukan pada leluhurku di masa-masa kegelapan?" tantang Milena.
Muka sang penyihir mengkerut, tampak kesal.
"Mengawetkan peri bukanlah hobiku! Aku menyantap segala sesuatunya yang masih segar! Segar itu lebih nikmat!" ia menjilat bibir atasnya.
"Kau menjijikkan." ledek Milena, mendengus tak percaya.
"Kau tak akan percaya betapa menjijikkannya aku." penyihir itu meletakkan kembali cermin kejujuran ke dalam kotaknya dan berlalu meninggalkan Milena menuju kuali yang kini mengeluarkan uap berbentuk tengkorak.
"Yeah... Hari yang buruk untuk mati. Malam Halloween? Apa itu? Semacam waktu ritual khusus kah? Seberapa buruk malam Halloween itu? Seberapa gelap Halloween itu?" Milena berbicara sendiri pada diri sendiri, kembali memandang langit-langit ruangan, ia tak bisa merasakan sayapnya lagi. Mungkin sudah mati rasa, memikirkan ide kabur dari tempat itu tanpa bisa terbang apa gunanya?
"Milena bodoh..." umpatnya pada pada udara kosong.
Otaknya memikirkan beberapa skenario, misalnya salah satunya adalah jika tak berada di samping kandang besi dan pulih sedikit, mungkin hal itu percuma saja. Sayapnya tak akan sanggup menopang berat tubuhnya. Ia bahkan tak sanggup merasakan sayapnya! Bagaimana ia bisa terbang? Apa yang harus dilakukannya kalau begitu? Haruskah ia pasrah begitu saja? Sungguh memalukan mati tanpa perlawanan. Bagaimana ia bisa menghadap leluhurnya nanti? Oh! Jiwanya akan menjadi budak kegelapan, mungkin ia tak akan bertemu leluhurnya.
Lagi-lagi, Milena tertawa memikirkan skenario konyolnya.
Ia mencoba mengumpulkan semua kekuatan yang dimilikinya. Ranselnya yang berisi kotak P3K peri sepertinya tertinggal di dalam lemari saat berubah menjadi tikus.
Jarak lemari dan meja tempat dirinya terkapar berada cukup jauh, ia tak bisa menggapainya. Milena berusaha mengangkat tangan kanannya, meraba pinggangnya mencari-cari kantong-kantong kain kecil dibalik rumbaian roknya yang tersisa. Senyum kecil terpasang di wajahnya, namun pura-pura kesakitan kembali.
Entah debu apa yang tersisa di pinggangnya, beberapa di antaranya sudah mengempis. Tangannya kembali mencoba merogoh kantong itu.
Sial! Tersangkut! Makinya dalam hati.
Tangannya sekuat tenaga menarik kantong itu hingga lepas dari tangan dan meluncur terbang di udara bebas; kantong itu terlempar keluar cepat dari tangannya secara diagonal, benda itu tersangkut di celah-celah kotak botol ramuan.
Tidak! Milena nyaris memekik putus asa dalam kebisuan.
Ia terlalu tergesa-gesa hingga kantong itu terlempar ke tempat lain! Seketika itu juga ia merasa marah dan putus asa.