Chapter 42 - Membuntuti Penyihir (10)

"Kau tikus yang berani rupanya." ia mengelus Milena yang ketakutan dengan penuh kasih sayang.

Hal baik sempat terbersit di benaknya mengenai penyihir itu. Mungkin ia tak seburuk perkiraan semua orang? Sebuah harapan perlahan muncul ke permukaan, tapi hatinya tiba-tiba mencelos saat sang penyihir meraih sebuah kandang di lantai, menaikkannya ke meja yang penuh dengan botol-botol ramuan, lalu membuka pintu kandang.

Mimpi buruk! Neraka! pekiknya dengan perasaan horor.

Seberapa keras ia memekik, yang terdengar hanya berupa cicit tikus yang tengah memberontak dengan tubuh semakin lemah mendekati kandang tersebut.

Kandang itu terbuat dari besi. Peri alergi dan lemah terhadap besi. Sekujur tubuh Milena terasa lemas dan beruntung ia masih dalam bentuk tikus, jika ia kembali dalam bentuk peri-nya, maka sekujur tubuhnya akan mulai memerah dan mengelupas.

Sang penyihir tertawa terbahak melihat Milena yang terkulai lemas. Ia mengunci pintu kandang dan mengamati Milena yang masih dalam bentuk tikus.

"Ini lebih mudah dari yang kubayangkan. Kau benar-benar tikus yang bodoh." seru sang penyihir dengan nada penuh kemenangan.

Milena terkejut. Apa maksudnya itu? Ia hendak melihat sang penyihir dengan saksama dan mengamati ada apa sebenarnya? Apa yang dimaksudkan sang penyihir dengan 'lebih mudah' tersebut? Apa dia sudah tahu sedari awal kalau ia adalah peri yang sedang menyamar sehingga dimasukkan ke dalam kandang besi? Benarkah itu?

Mata Milena tampak berair, entah ia mulai menangisi hidupnya atau karena kini besi di bawah perutnya mulai terasa hangat menyakiti kulitnya.

Sihir dari debu yang dimilikinya bertahan sesuai dengan kekuatan fisik dan mental sang pengguna, dengan tubuh yang semakin lemah setiap detiknya, ia tak akan mampu mempertahankan sihir debu tersebut.

Milena benar-benar tergolek tak berdaya di dalam kandang. Oh, sungguh memalukan dan tragis....

"Aku masih punya kesibukan lain. Jadi jangan berusaha kabur dari kandang ini." ia mengguncang-guncang kandang, tubuh Milena berguncang tak berdaya mengikuti arah guncangannya.

Pandangan matanya mulai kabur, kepalanya terasa sakit berdenyut. Milena yakin beberapa detik lagi ia akan kehilangan kesadaran.

Setelah puas mengguncang kandang Milena, ia berjalan menaiki tangga dan menghilang dari balik tembok bundar.

Rupanya, inilah akhir dari Milena, Si peri pemarah yang terkenal itu....

Akhir yang tragis....

Ia ingin memutar waktu dan memperbaiki semuanya....

Tapi, apakah kesempatan kedua itu akan datang kepadanya?

Milena ingin hidup bahagia dan berkumpul bersama yang lain, bukannya menyendiri dan menyembunyikan perasaannya yang menyedihkan dengan cara berbuat onar di mana-mana...

Peri cantik itu terisak sejenak, airmatanya mengalir menuruni kedua pipinya yang berbulu kelabu.

'Aku berharap diriku bisa berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya...'

Ucapnya dengan tulus, meski yang terdengar hanya berupa cicit lemah tak berarti. Detik berikutnya ia terlelap dalam keheningan malam.

Di meja satunya, dari dalam kotak kecil sebuah cahaya hijau bersinar keluar dari sela-sela kotak selama beberapa saat. Hal itu sepertinya mempengaruhi cermin kejujuran yang tergeletak di atas buku mantra, karena batu rubi yang ada di cermin itu berkilau sekali dan di cermin menampilkan seorang lelaki muda tengah berlari melewati lapangan luas. Gambaran itu hanya bertahan tak kurang dari lima detik, lalu cermin itu kembali normal. []