Chapter 41 - Membuntuti Penyihir (9)

Kombinasi berikutnya terlihat berupa kotak-kotak yang ditumpuk tak beraturan, sisi-sisinya sama sekali tak satu arah. Ia membisikkan mantra lain, meniupkannya pada kombinasi itu dan menggerakkan telunjuknya di tengah-tengah, seolah-olah membagi kombinasi itu menjadi dua bagian, atas dan bawah.

Pada mulanya, kotak itu bergerak-gerak gila tak terkendali, lalu diam statis. Hal berikutnya yang terjadi, kotak-kotak tak beraturan itu bergerak-gerak liar, saling berputar berlawanan arah satu sama lain. Dan bunyi 'klik' terdengar tiga kali sebelum akhirnya sebuah desisannya terdengar dan kotak terbuka separuh.

Kemarahan dan kemurkaan sang penyihir beberapa saat lalu kini berganti dengan suara tawa melengking yang membuat bulu kuduk merinding. Apa isi kotak itu hingga membuat sang penyihir begitu senang? Pikir Milena.

Sang penyihir membuka tutup kotak itu dengan perlahan, lalu meraih sebuah cermin dengan sebuah batu rubi biru di puncak tengahnya.

"Itu cerminnya!" spontan Milena memekik setengah berbisik di dalam lemari.

Tanpa di duganya, sang penyihir berbalik ke arah lemari. Mata sang penyihir berubah awas. Wajahnya tegang, tapi Milena lebih tegang lagi. Bukan suaranya yang membuat sang penyihir sadar ada yang aneh di dalam ruangan itu, semua itu gara-gara ia memekik sambil melompat ke belakang, hasilnya ia mengenai sesuatu hingga bunyi gedebuk terdengar dari dalam lemari.

"Apa itu?" ucap sang penyihir curiga, matanya memicing tajam.

Panik menyerang Milena, tenggorokannya terasa berduri. Seluruh tubuhnya mendadak dingin, perutnya seperti tertekan sesuatu yang berat. Ia tak sanggup mengerakkan satu anggota badan pun saat ini, membeku dalam ketakutan. Bola matanya membesar.

Dari jauh ia melihat sang penyihir berjalan ke arahnya, ia harus memikirkan sesuatu atau akan tertangkap basah memasuki tempat terlarang bagi peri.

Milena mengumpulkan seluruh tenaganya dan berusaha fokus, dadanya berdegup begitu kencang hingga ia takut-takut sang penyihir mengetahui keberadaannya hanya dengan suara detak jantungnya.

Tangannya gemetar hebat, diraihnya sebuah kantong kain dan merogoh isinya lalu menaburkannya pada seluruh tubuhnya. Ia berkonsentrasi memikirkan sesuatu yang sering ada di tempat penyihir. Sialnya ia tak bisa berkonsentrasi dengan baik! Pikiran bahwa dirinya akan menjadi koleksi dalam stoples selanjutnya, membuat otaknya diperas dengan berbagai macam skenario buruk. Kenapa debu berwarna hijau gelap lebih susah dipakai ketimbang debu berwarna ungu, sih?

"Mari kita lihat ada apa di dalam sini?" kata si penyihir dengan cengiran lebar.

Si penyihir membuka lemari dan menemukan seekor tikus abu-abu besar gendut tengah mengendus-endus sudut lemari---pikiran Milena akhirnya fokus dan mungkin bukan hal yang patut dibanggakan, ia hanya mampu memikirkan tikus di saat lemari terbuka.

Dalam hati ia mengumpat kesal. Kenapa harus tikus? Kecoak mungkin lebih cocok! Dia bisa bersembunyi di balik botol atau benda apapun, tidak dengan penyamarannya saat ini. Tikus! Seekor tikus! Tikus gendut pula! Sungguh memalukan! Gerutunya kesal.

"Ah! Seekor tikus!" kata si penyihir itu dengan suara dalam dan penuh ketenangan.

Milena tak melihat bagaimana reaksi wajah sang penyihir, ia takut jika menatap matanya maka ia akan ketahuan kalau bukan tikus sungguhan. Melalui tatapan, seseorang mampu menembus hati orang lain, hal itu yang paling ditakutkannya selama ini. Dan hal itu salah satu alasan mengapa ia tak suka bergaul dengan warga desa. Peri itu tak suka mendapat belas kasihan dari pancaran matanya yang penuh dengan drama dan tangis di masa lalu.

"Sungguh tikus yang sangat gemuk, eh?" ia meraih Milena dan memandangnya dengan seksama, tapi Milena hanya gemetar ketakutan dan menutup matanya dengan kedua tangannya yang kini begitu mungil dan bercakar tajam.

Tindakan paling berani yang mungkin dilakukannya adalah mencakar wajah cantik sang penyihir, kemudian akan berusaha melarikan diri sebelum kemurkaan sang penyihir menyihirnya hingga hanya tersisa bekas gosong di lantai.

Skenario yang berputar dan bermain-main di otaknya kini semakin menjadi-jadi. Horor menghantui jiwa dan otaknya. Jika ia tidak dalam bentuk tikus, ia yakin seluruh tubuhnya akan dingin seperti es.

Oh, Alfred! Maafkan, aku! ucapnya dalam hati penuh penyesalan.