Kengerian dan hawa mencekam tak pernah lepas dari sosok tersebut sepanjang jalan.
Milena bertanya-tanya dalam hati: kemanakah tujuan sosok tersebut sebenarnya? Apakah ia sedang bepergian mencari bahan-bahan aneh untuk ramuan sihirnya? Ataukah sedang menuju ke pondokannya?
Cukup lama ia mengekori sosok tersebut, mereka berjalan jauh masuk ke jantung hutan yang lebih gelap dari tempat yang ia masuki sebelumnya.
Hal itu membuat Milena bekerja esktra keras menyembunyikan dirinya dari sosok tersebut. Ia bersembunyi di balik pepohonan, namun meski ia sudah mencapai batas kemampuan dirinya dalam bersembunyi, ia masih menarik perhatian dari beberapa pasang mata dari balik kegelapan. Dirinya yang berpendar kuning keemasan di tengah-tengah kegelapan pekat, begitu menonjol dan membuat siapa pun di sekitar tempat itu memicingkan mata padanya.
Milena mengumpat dalam hati: Sial! Sekarang apa? Magnet bagi makhluk kegelapan haus darah?
Kewaspadaannya meningkat saat sejumlah pasang mata di kegelapan semakin mendekat ke arahnya. Ini skenario terburuk mengikuti seseorang secara diam-diam. Milena tersudut pada sebuah batang pohon besar, keringatnya mulai bercucuran. Bukan karena ia terlalu dekat dengan penyihir tersebut, namun mata-mata mengerikan yang ada di balik kegelapan kini mulai menaruh perhatian besar padanya.
Ia menelan ludah gugup. Tiba-tiba sebuah sosok menerjangnya dari atas secara diagonal, tubuhnya oleng ke kiri dan nyaris jatuh dari atas pohon.
"Aku tak punya waktu untuk kalian!" desisnya marah, suaranya terdengar dalam dan begitu tegas.
Raut wajahnya yang semula terlihat cemas dan takut, kini berubah tegang.
Beberapa dari pasang mata itu mulai terlihat ragu. Bola mata mereka membesar, tampak terkejut dan mulai mundur perlahan.
Milena melirik dari kanan ke kiri, tampak memikirkan sesuatu dan meraih kantong kain kecil berwarna hitam dari pinggangnya. Ia merogoh isinya dan meniupkannya pada kegelapan di depannya. Perlahan tapi pasti, mata-mata yang mengarah padanya menutup perlahan. Satu masalah terselesaikan sudah! Pekiknya girang dalam diam.
Tanpa memandang ke belakang, ia kembali terbang membuntuti sang penyihir yang kini nyaris hanya berupa titik di depan matanya.
Sungguh sangat gelap di dalam jantung hutan tersebut, jika saja si penyihir itu tak membuat cahaya sihir di tangan kanannya—yang kini terlihat bagaikan bola arwah dari kejauhan, maka dipastikan dirinya akan tersesat kehilangan arah dalam kegelapan.
Milena mengepakkan sayapnya sekuat mungkin, namun beban yang dibawanya tak menguntungkannya, kekesalan memuncak di benaknya.
Di kejauhan, ia melihat sang penyihir berbelok ke kiri, bola mata Milena membesar, ia mulai terlihat panik. Jika ia kehilangan jejak penyihir itu saat ini, kemungkinan untuk mendapat kesempatan kedua bertemu sang penyihir itu adalah hal yang mustahil.
Di saat kritis seperti ini adalah hal yang dibenci oleh Milena. Mau tak mau ia harus melepas beberapa barang bawaannya.
"Ini semua gara-gara insiden tak penting itu." Umpatnya kesal.
Sembari terbang sekuat tenaga, ia melepas gesper dan pengait ganda ranselnya. Tangan satunya memegang erat salah satu pengait ganda, sementara tangan satunya mengeluarkan sebiji almond yang dijatuhkan begitu saja ke tanah. Saking terburu-burunya ia mengejar ketinggalannya, almond satunya ikut terjatuh.
Milena memekik dalam diam, namun tak bisa berbuat apa-apa. Ia tak punya banyak waktu lagi, saking kesalnya ia meraih kotak P3K peri-nya dan membuang semua isi ranselnya begitu saja. Beberapa buku coretan, sebuah pakaian, dan benda-benda penyelamatan serba gunanya kini hilang tertelan kegelapan hutan.