Penyihir itu memandangi isi kotak selama beberapa saat.
Apapun isinya, tampaknya sangat berharga bagi sang penyihir. Apakah benda di dalam kotak itu adalah cermin kejujuran yang sedang dicari-carinya? Artinya cermin itu tak terlalu besar seperti dugaannya, ia bisa menggunakan bubuk ajaibnya.
Bubuk ajaib miliknya berlaku jika benda yang ditaburi bubuk tersebut tak lebih berat dari orang yang menabur bubuk tersebut—Aturan penggunannya memang seperti itu. Di buku panduannya menjelaskan agar debu-debu ajaib diberi aturan agar tidak disalah gunakan.
Bagaimana jika bukan cermin itu? Pikiran ini mengganggunya.
Jika cermin itu lebih besar dari yang ia bayangkan, maka ia harus putar otak untuk mencurinya. Kalau tak bisa mencuri cermin itu, dia punya ide lain yang lebih menggoda.
Terbersit di pikiran Milena untuk mencuri apapun isi dari kotak tersebut. Mungkin, mungkin saja itu bisa membuat segala penderitaannya setimpal! Ia tersenyum kecil memikirkan ide itu. Ia tak ingin rugi sedikitpun dengan segala hal yang telah dilaluinya dan pulang dengan tangan kosong!
Setelah cukup lama memandangi isi kotak itu. Sang penyihir menutup dan menaruhnya kembali pada tempatnya. Buku mantra terbuka yang ada di atas meja, disentuhnya sesaat lalu berjalan menuju meja yang penuh dengan berbagai macam botol-botol ramuan. Milena tak bisa melihat dengan saksama apa yang tengah dilakukan oleh sang peyihir karena memunggunginya, rasanya ia ingin melempari punggung sang penyihir dengan buah arbei, semua itu gara-gara buah arbei sialan! Ia kini terjebak dalam lemari hitam penyihir yang demi hutan yang luas, entah apa isinya!
Pupil Milena melebar, sang penyihir tengah berjalan menuju lemari hitam tempat persembunyiannya.
Gawat! Pekiknya dalam hati.
Ketika tangan kanannya hampir menyentuh lemari, sesuatu yang aneh terjadi pada tangan kiri sang penyihir. Seketika itu juga sang penyihir memekik, memegang tangan kirinya yang membuat Milena ngeri setengah mati.
Tangan itu terlihat seperti tangan nenek-nenek, kurus dan berkeriput sebatas pergelangan dan perlahan merambat naik sebatas siku. Ada apa dengan sang penyihir itu? Apa dia terkena kutukan atau salah meramu ramuan? Apakah ia terkena racun? Pertanyaan demi pertanyaan bergelayut di hati Milena. Bagaimanapun juga, tak ada satu pun penjelasan mengapa tangan si penyihir menjadi seperti itu, jadi ia hanya mengabaikannya saja dan tak mau ambil pusing. Toh, sekali lagi itu bukan tujuannya datang ke tempat itu.
Raut wajah sang penyihir terlihat gusar sesaat, detik berikutnya ia menghela napas dan mengerang kesal. Niatnya untuk membuka lemari sepertinya diurungkan, ia berbalik kembali menuju meja yang penuh dengan botol-botol ramuan, mengambil sebuah botol berwarna merah, meneguknya sampai habis dan melempar botolnya ke lantai. Milena berjengit.
"Ini tidak berguna!" raungnya murka. Wajah cantik sang penyihir sepersekian detik berubah menjadi wajah yang mengerikan, lalu normal kembali. Dadanya naik turun seirama dengan emosinya yang makin meluap-luap. Tampaknya sang penyihir punya masalah dengan kecantikan. Milena terkikik dengan menutup mulut. Dia bukan saingan apa-apa bagi Milena kalau begitu!