Chapter 38 - Membuntuti Penyihir (6)

Terdapat beberapa meja lagi di dalam ruangan itu dengan botol-botol besar berbagai bentuk dengan berbagai warna cairan yang mengisinya, sepertinya itu meja kerja sang penyihir. Salah satu meja kerja itu berada di dekat meja yang sebelumnya, terdapat sebuah timbangan timah yang telah digunakan—ada sisa-sisa bubuk hitam yang menempel pada salah satu dasarnya. Lalu ada sebuah lumpang lagi, kali ini agak besar. Beberapa kotak berisi botol-botol dengan berbagai macam bahan ramuan kering dan cair.

Di tengah-tengah ruangan terlihat sebuah kuali besar—yang isinya sedang kosong rupanya. Sebuah rak besar berisi stoples yang berjejer di dinding di dekat lemari hitam membuat otaknya mengingat sesuatu yang tak menyenangkan. Isinya tak begitu jelas, cahaya lilin tak menyentuh dengan jelas isi botol-botol tersebut, akan tetapi Milena yakin itu bukan hal bagus yang ingin dilihatnya dengan kedua matanya saat ini. Pikiran dirinya diawetkan berada dalam stoples dingin itu menghantui benaknya, hatinya sungguh kesal dengan hal itu, kedua tangannya tiba-tiba menjadi dingin. Semua ini gara-gara penjaga bertubuh kurus itu! Menyebut-nyebut peri yang diawetkan dalam stoples segala!

Selama beberapa menit Milena mengelilingi ruangan itu. Isinya sungguh menarik, meski sangat menyeramkan bagi siapapun yang berpikiran normal tentunya. Ada sebuah tangga di sebelah kanan pintu ruangan itu, tampaknya menghubungkan sisi lain dari pondok—sebuah menara kecil memang terlihat dari luar pondokan sang penyihir, entah untuk apa dan ada apa di sana, saat ini ia tak mau ambil pusing.

Di sisi tangga, di dekat rak botol-botol mengerikan, sebuah bola Kristal memantulkan proyeksi cahaya lilin dari arah meja. Ia hendak memeriksanya ketika sebuah derap langkah kaki terdengar menaiki tangga, rasa panik menyerangnya. Ia harus bersembunyi! Matanya sibuk mencari-cari tempat persembunyian yang jauh dari kecurigaan sang penyihir. Ia terbang ke sana kemari dengan perasaan panik dan was-was, tubuhnya yang oleng di udara membuatnya sedikit pusing dan mual. Derap langkah kaki itu terdengar semakin dekat. Milena tak tahu harus bersembunyi di mana. Pikirannya rasanya kacau saat itu. Ia berhenti di tepian kuali, mengamati keadaan sekitarnya, napasnya naik turun, lalu menarik napas perlahan, menutup mata dan melihat ke sekelilingnya sekali lagi, lebih fokus dari sebelumnya. Suara kenop pintu di buka, tapi nampaknya terkunci. Suara gemerincing kunci yang ditarik memenuhi keheningan dari balik pintu. Milena berbalik menatap pintu itu, menelan ludah pahit.

Klik!

Suara kunci pintu terbuka.

Kenop berputar dan sebuah sepatu lancip melangkah masuk. Si penyihir membuka tudungnya. Rambut hitamnya tergerai panjang menutupi kedua sisi wajahnya yang sangat cantik.

Dari balik lemari, Milena mengintip sang penyihir yang baru memasuki ruangan. Baru kali ini ada seseorang yang ia yakini bisa menyaingi kecantikannya di dunia peri. Penyihir itu tampak mengendus sesuatu sejenak, lalu melihat ke arah bola Kristal—sekiranya seperti itulah menurut Milena dari sudut pandangnya yang agak terbatas.

Semula si penyihir melangkah ke sebelah kiri, tapi tampaknya ia berhenti sejenak, ragu. Kemudia berbalik, berjalan menuju meja bacanya dan meraih kotak kecil. Dielusnya sebentar, kemudian dengan senyum mengerikan di wajah cantiknya, ia membuka kotak itu.

Kekesalan bertalu-talu memenuhi benak Milena. Ia tak tahu isi kotak kecil itu, rasanya sungguh menjengkelkan! Ia menggelengkan kepala, bukan itu tujuannya kemari. Yang ia inginkan adalah cermin kejujuran! Fokus Milena! Fokus! Ujarnya pada diri sendiri.