Chapter 35 - Membuntuti Penyihir (3)

"Ini yang kumaksud dengan kecepatan!" Milena memasukkan kotak P3K-nya ke dalam ransel, memeluknya ranselnya dan menerjang angin bagaikan peluru bercahaya.

Ia menikung ke kiri bagaikan peri balapan tanpa aturan. Beberapa kali ia sempat tergores dan menghantam ranting kecil, namun itu tak membuat tekadnya surut, akhirnya tak kurang dari semenit, ia melihat cahaya yang menyerupai bola arwah beberapa meter di depannya. Senyum menyeringai terpasang di wajahnya. Sembari tetap menjaga jarak seperti sebelumnya, ia memasang kembali ransel di punggung.

Beberapa menit kemudian, si penyihir tampak mematikan cahaya sihirnya. Ia meletakkan keranjang rotannya di samping kakinya dan mulai merapalkan mantra yang rumit.

Milena mengeryitkan kening. Mungkinkah si penyihir itu sedang merencanakan sesuatu di hutan ini? Tak lama kemudian, di depan sang penyihir muncul sebuah portal yang bengkok di udara. Di sisi satunya terlihat sebuah istana yang terlihat suram. Tidak begitu menakutkan seperti hutan saat ini, hanya saja suram dan tampak sunyi. Tak ada tanda-tanda kehidupan selain lumut dan sulur yang merangkak naik di dinding-dinding luar istana. Jika saja pemandangan itu sedikit cerah, mungkin itu adalah istana terindah yang pernah dilihat Milena seumur hidupnya.

Istana itu berdiri kokoh meski nyaris tertutup oleh sulur dan lumut di mana-mana. Menara-menara besar dan kecil menghiasi tiap tepian istana tersebut. Paling belakang terdapat menara terbesar dari yang lainnya. Entah mungkin ada maksud di balik rancangan menara tersebut, karena sebuah lonceng besar kusam bertengger di sana.

Di depan istana, terlihat tiang-tiang tinggi menjulang yang berjejer rapih, seolah-olah tiang-tiang itu adalah parameter bagi istana tersebut. Beberapa di antaranya sudah hancur atau tinggal separuh. Di bawahnya terdapat beberapa pedang dan alat bertarung lainnya, tergelak begitu saja.

Beberapa terdapat noda hitam yang Milena yakini sebagai darah yang mengering. Mungkinkah si penyihir itu membunuh seluruh penghuni istana hanya untuk menguasai istana itu seorang diri? Tiba-tiba saja bulu kuduknya merinding.

Penyihir itu meraih kembali keranjangnya, memeriksa sekelilingnya sebelum akhirnya ia memasuki portal.

Ketika sang penyihir telah memasuki sisi lainnya secara penuh, portal itu menutup perlahan, hal itu tak ingin disia-siakan oleh Milena. Tanpa pikir panjang dan mempertimbangkan risiko macam apa yang ada di depannya, ia menerobos memasuki portal itu.

Tepat ketika portal itu menutup, ujung sayap kiri Milena yang masih ada di dalam portal, akhirnya tertinggal di sisi satunya. Ia ingin menjerit kesakitan, seluruh tubuhnya menggigil, setiap syaraf di tubuhnya menjerit protes, sakitnya sampai terasa di otaknya, seolah-olah jarum di tusuk di sana berkali-kali. Rasa sakit itu seolah-olah membuat dirinya sadar betapa hidupnya ia.

Bukan hanya sekedar mitos dan legenda manusia belaka. Karena tak ingin menunjukkan kehadirannya pada sang penyihir. Milena hanya menggigit tangannya sampai berdarah. airmatanya menetes pelan di kedua pipinya.

Di kejauhan, sang penyihir itu melangkah semakin dekat ke tiang-tiang istana. Dengan rasa sakit yang masih melekat padanya, dan darah yang menetes dari tangannya, ia terbang mengikuti sang penyihir. Bentuk sayapnya yang cacat membuatnya terbang secara tidak normal, terkadang ia nyaris oleng ke kiri atau nyaris terjungkal ke depan. Milena terbang begitu menyedihkan saat itu. Belum pernah ia merasa begitu hina dan menyedihkan sebagai seorang peri keturunan legendaris. Sebaiknya cermin itu benar-benar ada! umpatnya kesal dalam hati.

Sepanjang jalan, Milena mengamati keadaan di sekitarnya. Walau terdapat berbagai macam senjata—dan sebagian berlumuran darah yang sudah kering. Namun, ia tak melihat ada mayat atau tengkorak satupun di sana. Apakah penyihir itu memakan mereka agar abadi? Milena mendengar banyak hal buruk mengenai kebiasaan menjijikan penyihir, utamanya penyihir perempuan. Mereka yang tersesat di jalan kegelapan, cenderung menangkap pria manusia sebagai salah satu bahan awet muda mereka. Milena bergidik mengingat hal itu dan merasa mual di saat yang sama. Sungguh menjijikkan!