Chapter 37 - Membuntuti Penyihir (5)

Milena menghela napas panjang, perlahan turun menuju keset tadi dan duduk bertopang dagu selama beberapa menit di sana.

Suasana di sekitar pondokan itu sangat tak mengenakkan. Meski di sisi lain adalah hutan, namun hutan itu tampak tak berpenghuni, gelap, mengerikan, dan memiliki aura mematikan di mana-mana.

Tanpa disadarinya, malam sudah tiba. Tak ada tupai atau suara serangga malam itu. Berbanding terbalik dengan di hutan tempat tinggalnya, hutannya sungguh berisik, sampai-sampai ia harus memasang penutup telinga di malam hari. Utamanya beberapa burung hantu yang kadang hinggap di pohon rumahnya. Terkadang ia harus menjahili burung hantu itu agar pergi menjauh dari rumah pohonnya dan tak kembali. Burung? Satu kata itu mengusik batinnya.

Sebuah senyum kecil terpasang di wajahnya yang indah. Bola matanya membesar, wajahnya sungguh berseri-seri, seolah-olah sesuatu tiba-tiba saja menjadi obat bagi semua penderitaan yang dilaluinya beberapa saat lalu.

Hatinya berdebar tak karuan, ia sungguh bersemangat. Adrenalin memenuhi tubuhnya bagaikan aliran lava yang mengalir ke seluruh penjuru syarafnya. Ia menegakkan tubuh, sayap terbentang lebar.

Dengan sekali hentakan, ia menerjang udara bebas di depannya, melakukan putaran di udara kemudian terbang menuju atap pondokan sang penyihir. Matanya berseri-seri, nyaris saja ia berteriak kegirangan saat itu. Apa yang dipikirkannya ternyata benar!

"Jendela bundar di atap!" ia memicingkan mata, tersenyum kecil.

Perlahan ia mendekati jendela kecil yang ada di depan atap pondokan itu. Milena was-was jika saja pintu itu ikut-ikutan terkunci. Tangannya menyentuh salah satu ujungnya dan seketika itu juga dadanya merasakan sensasi aneh luar biasa, sesuatu yang hangat seolah-olah ingin membuncah keluar dari dadanya. Ia kegirangan luar biasa!

"Yeay!" pekiknya dengan suara tertahan, tangannya mengepal kuat di udara.

Rupanya ada sebuah jendela bundar kecil di atap pondokan itu. Kenapa ia tak memeriksanya sebelumnya? Mungkin ia terlalu tergesa-gesa dan tak perhitungan dalam bertindak kali ini.

Jantungnya berdebar keras. Ini adalah pertama kalinya akan memasuki rumah seorang penyihir.

Ia mengintip sejenak.

Aman. Pikirnya dengan perasaan girang.

Peri itu menggeser ujung jendela lebih dalam dan mendaratkan kedua kakinya di kusen jendela. Menghela napas sejenak, lalu terbang perlahan memasuki ruangan tersebut. Di lihatnya kiri kanan ruangan itu dengan saksama. Ruangan kerja si penyihir! Sungguh beruntungnya dia! Ia terkikik sendiri memikirkan hal itu.

Tak ada hal yang menggembirakan di dalam ruangan itu. Hanya nuansa coklat gelap, hitam, dan ramuan-ramuan warna-warni di dalam botol-botol besar dan kecil, serta bau aneh yang apak di udara. Ia mengernyitkan hidung. Di sudut ruangan terdapat lemari hitam yang cukup besar setinggi manusia dewasa. Ada sebuah sapu tergeletak dengan gagang yang patah di sampingnya. Kening Milena bertaut. Apa yang dilakukannya pada sapu itu hingga terbelah dua begitu?

Matanya memandang ke seluruh penjuru ruangan itu, memicingkan mata. Cahaya di dalam ruangan itu sangat buruk. Hanya ada sebuah lilin yang menerangi ruangan itu di atas meja. Di meja itu ada buku-buku tebal bersampul kulit yang sudah usang, sebuah jam pasir, lumpang kecil, beberapa perkamen yang digulung, sebuah tengkorak, sebuah pena bulu, rak kecil yang berisi botol-botol ramuan kering, dan beberapa benda aneh yang tak pernah dilihat Milena sebelumnya, dan tak mau terpaksa memeriksanya lebih jauh—terlalu mengerikan dan gelap. Lalu selanjutnya, ada sebuah kotak kecil dengan ukiran aneh di atasnya berada di sisi buku mantra yang terbuka lebar. Di buku itu terdapat gambar pentagram rumit dan mungkin instruksi mengenai pentagram tersebut di halaman selanjutnya.