Chapter 36 - Membuntuti Penyihir (4)

Kening Milena tiba-tiba bertaut.

Meski telah membuka portal aneh di hutan dan menampilkan istana yang mungkin saja adalah istana terindah di dunia, sang penyihir tidak menjejakkan kakinya selangkah pun ke dalam istana itu, malah berbelok ke kanan di mana sebuah pondok kecil reyot dengan sumur tua di depannya.

Milena memaksakan sayapnya untuk mengikuti ke arah itu, dan meringis kesakitan. Ujung sayapnya yang patah mengirim sinyal-sinyal perih ke sekujur tubuhnya ketika terkena angin.

Sebelum menjangkau batas sumur tua itu, tangan kanan sang penyihir bergerak-gerak di udara kosong, tampak sebuah kilasan biru elektrik menyerupai kubah perlahan muncul, membelah terbuka secara pasti mulai dari puncak tengah hingga menyentuh tanah.

Pelindung, eh? Pikir Milena mengelus dagunya.

Ia mendengus, sungguh beruntung dirinya pada saat-saat seperti ini. Sangat jarang seseorang bisa memasuki rumah penyihir yang memiliki pelindung, utamanya pondokan penyihir kegelapan.

Selama beberapa saat, sang penyihir tak bergerak. Ia hanya berdiri mematung. Dengan nuansa mengerikan, ia menggerakkan kepalanya ke kanan, tampak mengamati sesuatu. Lalu, dengan kepala tertunduk, dan menatap isi keranjang rotannya.

Milena sampai terheran-heran. Apa sebenarnya yang dilakukan oleh si penyihir itu? Dan apa yang ada di dalam keranjang rotan itu sebenarnya?

Sayap Milena mulai tak kuat untuk mengepak, ia butuh istirahat secepat mungkin. Menelan pil pereda rasa sakit hanya akan membuatnya tertidur saat ini, artinya kesempatan langka akan lepas dari genggamannya kapan saja.

Masuklah! Masuklah! Masuklah cepat ke dalam pondok jelekmu itu! Dasar penyihir bego! Umpat Milena dalam hati.

Seolah-olah mampu mendengar umpatan Milena, sang penyihir melangkahkan kakinya memasuki pondokan, membuka pintu dan membantingnya ketika Milena nyaris memasuki pintu itu.

Buk!

Milena menabrak pintu dengan kepalanya. Dengan keadaan sayapnya yang patah, ia tak mampu mengendalikan berat tubuhnya, terjatuh ke keset kaki sang penyihir begitu saja.

"Ouch!" rintihnya kesakitan, "penyihir itu keterlaluan! Membanting pintu seenaknya! Rupanya ia sedikit bermoral juga dengan memiliki keset kaki di depan pintu!"

Milena memegang bahu kirinya yang kesakitan. Untung saja sayapnya tak patah, hingga tak perlu mengalami hal serupa dengan nasib Alfred. Ketika dibandingkan dengan nasib peri lelaki itu, ia kini lebih memilih sayap yang patah daripada sayap yang cacat!

Milena berdiri, menoleh ke belakang untuk melihat sayapnya yang kini terpotong sempurna. Apa kali ini dia akan mendapat julukan Peri Cacat, ketimbang Peri Pemarah? Penduduk desa pasti senang dengan hal ini! Pikiran itu semakin membuat Milena kesal.

Ia melipat tangan di dada. Rasa sakit dan kepala yang berdenyut membuatnya ingin membakar pondok penyihir itu, niat itu hilang dalam sekejap ketika bayangan cermin kejujuran terlintas di benaknya.

"Sebaiknya ini sepadan!" ucapnya kesal, lalu terbang mengelilingi pondokan sang penyihir meski dengan keadaan tak seimbang.

Ia memeriksa keadaan sekitar pondokan tersebut, mungkin saja ada jendela yang terbuka walau hanya sedikit. Itu sudah cukup baginya untuk masuk. Rasa kecewa dan putus asa memenuhi benaknya, tak ada satupun jendela yang terbuka. Ia bisa saja melempar batu ke arah jendela itu dan membuat keributan. Namun, menarik perhatian bukanlah tujuan utamanya. Milena berpikir keras. Mengintip isi pondokan itu saja tak bisa—tirai putih menutupi semua jendela. Pondokan jelek semacam itu, harusnya memiliki celah untuk dimasuki.

Kaca yang pecah atau apapun, ataupun juga sebuah lubang tikus jika ada! Sesaat Milena nyaris girang memikirkan ide 'lubang tikus', tapi surut ketika mengingat tikus merupakan salah satu bahan untuk ramuan penyihir atau apalah yang berkaitan dengan sihir. Sangat kecil kemungkinan ia membiarkan ada tikus hidup berkeliaran di dalam pondokannya.