Chapter 33 - Membuntuti Penyihir (1)

Keesokan harinya, Milena kembali menjelajahi hutan terlarang. Ia kembali menyelidiki bagian dalam hutan, tidak begitu dalam, hanya bagian luarnya saja yang masih terkena sinar matahari pagi. Jantung hutan terlarang sangat gelap dan mencekam, ia bisa merasakannya hanya dengan menatapnya sekilas.

Menjelang tengah hari, Milena kembali pada pohon Oak sebelumnya—menikmati makan siangnya sambil bersenandung riang, seolah-olah tak ada yang terjadi.

Selesai menyantap makan siang, ia terbang cukup tinggi di atas pepohonan, hilir mudik memeriksa batas hutan terlarang itu.

Sayangnya, hutang terlarang tersebut bagaikan garis lurus di ufuk langit. Bulu kuduknya meremang. Tak mungkin ia memasuki dan memeriksa hutan itu sendirian. Bagaikan mencari jarum dalam jerami! Hatinya nyaris menjerit dengan kenyataan yang menghantamnya. Apa tindakan nekatnya selama ini sia-sia belaka?

Karena lelah terbang tanpa tujuan, Milena kembali ke pohon Oak. Suasana hatinya dongkol. Ia ingin melampiaskannya pada siapapun saat ini! Apapun! Tapi, tak ada siapa-siapa di sana. Sebagai gantinya, ia menjambak rambut sambil berteriak histeris.

Setelah puas memaki dan mengumpat di udara kosong. Ia merasa letih sekali. Ada baiknya tidur sejenak melepas lelah. Toh, penyihir itu belum terlihat sejak kemarin. Ia merentangkan tangan di udara, menguap lebar-lebar, lalu mengambil posisi ternyaman untuk tidur.

Sore harinya, Milena terbangun oleh suara berisik, cukup lama juga ia terlelap. Dengan perasaan berat, matanya berusaha dibuka secara perlahan, namun terasa lengket sekali.

Beberapa kali ia mengerjapkan mata akan tetapi kantuk yang menguasainya sungguh hebat. Tubuhnya terasa sulit digerakkan, seolah-olah ada selimut berat tak terlihat yang menutupi sekujur tubuhnya. Semakin dilawannya, semakin terasa sulit bergerak dan terlena kembali untuk memasuki dunia mimpi.

Milena mendengar gumaman aneh dari arah bawah, tepat dari arah pandangnya. Meski pandangannya kabur, ia bisa melihat sesosok makhluk bertudung hitam dengan keranjang rotan di tangan kanannya.

Sulit melihat wajah sosok tersebut, tudungnya terlalu besar dengan bulu-bulu putih ditepiannya.

Penyihir! Pekik Milena dalam hati.

Rasa kantuk yang tadinya mengusainya kini lenyap seketika, namun tubuhnya masih sulit untuk digerakkan. Sekuat tenaga ia mengerahkan tubuhnya yang seolah kehilangan kendali. Di saat tak berdaya seperti itu, ia hanya mampu melihat dengan mata terbuka dan tubuh bagaikan sekaku mayat. Suasana aneh menghampiri atmosfer di sekitarnya. Hutan menjadi menakutkan lebih dari sebelumnya.Tak ada simfoni hutan yang sering terdengar di mana-mana. Kehadiran sosok itu membuat tempat dilaluinya seakan-akan menyambut kematian. Dedaunan yang awalnya mulai berubah coklat menyambut datangnya musim dingin, tiba-tiba saja mendadak berubah hitam dan mati seolah terkena racun. Ranting-ranting yang mengering, kini tampak menakutkan, bagaikan tangan-tangan kurus kering yang siap menerjang siapapun yang melewatinya.

Sesaat setelah sosok bertudung itu berlalu, Milena perlahan mampu menggerakkan tubuhnya.

Ia kelelahan, tubuhnya berkeringat seperti baru saja memetik buah seharian penuh tanpa istirahat, atau sekiranya perbandingannya seperti itu—ia tak pernah memetik buah, namun mungkin seperti itu rasanya bekerja sebagai peri pemetik buah.

Sungguh menguras tenaga! Napasnya tersengal-sengal, matanya berair dan tengggorokannya terasa sakit seperti terbakar.

Sensasi apa ini? Pikir Milena.

Ia melempar pandangannya pada sosok yang sudah berada cukup jauh di depannya itu.

Keadaan aneh nan mengerikan itu masih saja terjadi ketika sosok itu akhirnya melewati pohon tempat Milena istirahat. Pertanyaan besarpun muncul di benaknya: bagaimana ia bisa mengikuti sosok itu?

Tak ada yang pernah menyebutkan jikalau seorang penyihir memiliki aura yang mematikan seperti itu. Kini ia berpikir keras mencari solusi di saat mepet begini, sungguh membuatnya ingin murka! Rencana yang sudah disiapkannya kini hancur berantakan.

Milena menimbang-nimbang penuh perhitungan sejenak, lalu dengan berdecak lidah, ia terbang mengikuti sosok tersebut dari jarak aman.

Ia tak tahu apakah penyihir itu yang memiliki cermin kejujuran atau tidak. Ini sebuah taruhan besar!

Sekarang atau tidak sama sekali!

Ia harus mencobanya dulu!