Chapter 32 - Berani Atau Bodoh? (6)

Cukup lama Milena terbang di sepanjang jalan utama.

Hari sebentar lagi sore, namun hutan nyaris sunyi bahkan dari suara-suara terkecil apapun. Mungkin ini adalah hasil pengumuman resmi pihak Kerajaan.

Informasi seperti itu biasanya akan mengalir seperti air dingin yang tumpah, ia akan menyebar kemana-mana dan tanpa henti, mengejutkan dan membuat siapapun bergidik.

Dalam benaknya, Milena bertanya-tanya, apa yang sebenarnya yang diincar oleh sang penyihir itu?

Para peri pada dasarnya merupakan pelindung dan penyeimbang hutan dan alam, maka dari itu para peri soliter dianggap hama karena sikap mereka yang suka seenaknya sendiri tanpa mempedulikan orang lain, tak jarang mereka juga bekerja sama dengan makhluk jahat lainnya.

Apakah sang penyihir itu memiliki sekutu di dunia peri? Atau penyihir itu sedang merencanakan sesuatu untuk menerobos dunia peri? Apapun itu, Milena tak peduli, ia hanya mau mendapatkan cermin itu dan membuat onar lebih heboh dari sebelumnya. Mungkin dia bisa melihat rahasia siapa pun yang ia mau melalui cermin kejujuran itu dan memanfaarkannya, memeras misalnya. Milena tersenyum puas hanya dengan memikirkannya.

Jarak yang dilaluinya lebih jauh dari sebelumnya, ia memasuki daerah perbatasan hutan terlarang. Daerah itu cukup dalam menuju jantung hutan. Pepohonan di sana, lebih tampak mati daripada merana karena pergantian musim. Cahaya yang masuk hanya sedikit melalui celah-celah ranting yang saling menumpuk layaknya tangan-tangan mati yang kering.

Semakin dalam Milena terbang, cahaya semakin sedikit. Sebagai gantinya, dirinya yang seorang peri lebih bersinar dan menarik perhatian beberapa pasang mata dari balik kegelapan. Milena berusaha menampik rasa takutnya dengan memikirkan kemenangan super megahnya nanti. Ia terbang cukup lama di daerah itu, tapi hasilnya nihil.

Dirinya tak cukup bodoh untuk memasuki daerah terlarang tanpa ada satupun pemandu—terlebih lagi hari semakin gelap. Maka diputuskannya kembali menuju jalan utama sebelum ia lupa jalan kembali.

Kakinya mendarat pada salah satu pohon Oak besar, ia duduk melepas letih dengan kaki berselonjor ke bawah pada bagian terdalam batang pohon Oak, matanya memandang jalan utama di bawah. Sebelah alisnya tiba-tiba terangkat, ada bekas jejak kaki di tanah. Bukan jejak kaki baru, tapi cukup membuatnya yakin memang ada yang berkeliaran di hutan itu.

Mungkin saja itu adalah jejak kaki sang penyihir, dilihat dari arah datangnya yang berasal dari daerah hutan terlarang dan mengarah ke jalan utama hutan. Hatinya hendak mengikuti jejak tersebut, tapi dia lebih memilih menunggu sambil mengistirahatkan kedua sayapnya yang lelah terbang seharian. Dia memang tak cocok jadi peri pekerja.

Sembari menunggu sang penyihir, ia menghela napas panjang, memikirkan berbagai cara agar bisa mendapatkan cermin kejujuran.

Ketika senja tiba, sang penyihir belum juga terlihat, ia mulai ragu jika jejak kaki itu milik sang penyihir. Mungkin saja itu jejak kaki pemburu yang sedang mencari hewan buruan di hutan. Tapi, jejaknya hanya satu arah? Sungguh berani jika ada manusia yang mengelilingi hutan lalu terjebak di hutan terlarang dan berhasil keluar pada akhirnya! Bagaimana jika begitu? Rasa kesal menggelayut di hatinya, ia melipat tangan di dada dan menggembungkan sebelah pipi.

"Ini sungguh menjengkelkan," katanya dengan nada tak sabaran, "menunggu seperti ini rasanya seperti bertahun-tahun!"

Saking lelahnya, ia memutuskan akan berjaga di sekitar pohon. Berjaga sepertinya bukan hal yang mudah. Pelupuk matanya semakin berat, ia menguap sekali dan memutuskan tidur dengan tas ransel sebagai bantalnya.

Masih ada hari esok. Berkeliling hutan di malam hari bukanlah ide yang bagus. Ia tidur menghadap jalan utama, jaga-jaga jika sang penyihir tiba-tiba muncul tanpa peringatan.[]