Chapter 7 - Milena dan Keonaran (5)

"Bagaimana mungkin pihak kerajaan tak memperingati kita tentang masalah ini? Apa yang dipikirkan pihak kerajaan?" omel peri tua yang berada disamping Gustraf. "Sungguh tidak bijak!" lanjutnya lagi, geram.

"Ini baru rumor semata, makanya pihak kerajaan tak memberi peringatan resmi. Kalian tidak boleh memberitahu ini pada siapapun! Warga akan panik dan mereka akan berontak meminta perlindungan pada pihak kerajaan! Aku bisa dalam masalah! Kita bisa dalam masalah!" Gustraf menarik kerah baju peri tadi, matanya melotot tajam.

"Ba-baiklah! Kami tak akan memberitahu siapapun, benarkan?" Ia melirik pada peri lainnya yang kini mengangguk cepat. Gustraf menghela napas lega, cengkeramannya dilepas dan ia duduk terhenyak di kursi.

"Ingat saja janji kalian dan jangan keluyuran tidak jelas saat ini." Dia memanyunkan mulutnya, putus asa.

"Gustraf, darimana kau mendengar informasi ini?" celutuk Grace, penasaran.

"Oh! Itu…"baru saja Gustraf hendak menceritakannya seseorang menghantam pintu masuk dengan keras sembari berteriak dalam kekalutan: "Bencana! Kutukan! Malapetaka! Dasar peri terkutuk!"

Mereka semua berbalik memandangi peri yang baru masuk itu, wajahnya pucat pasi, bola matanya melotot ngeri, seolah-olah baru saja melihat kematian.

"Apa? Kenapa kau berteriak begitu?" Tanya Gustraf, penasaran.

"Kalian tak akan percaya! Peri terkutuk itu kali ini benar-benar keterlaluan!" wajahnya memerah seperti tomat, dadanya naik turun.

"Apa yang terjadi kali ini?" Alfred berjalan menghampiri peri yang baru masuk itu.

"Dia merusak persediaan musim dingin kita! Peri itu jahat sekali!" teriaknya dengan nada melengking, tangannya menarik kerah baju Alfred, bola matanya nyaris keluar dari tempatnya.

Mereka semua terhenyak.

Persediaan mereka adalah harta tak ternilai, jika mereka tak memiliki persediaan cukup untuk tahun ini, kecil kemungkinan mereka akan bisa bertahan melewati musim dingin yang akan segera tiba.

"Tunggu! Apa maksudmu dengan merusak persediaan?" Gustraf menyipitkan mata.

"Dia melubangi pohon persediaan! Air danau masuk ke dalamnya! Semua persediaan kita mengapung terbawa ke hilir!" pekiknya dengan suara nyaris habis. " SEMUANYA!" lanjutnya merana dengan kedua tangan bergerak-gerak di udara, kemudian ia terperosok duduk di lantai.

Kedai itu tiba-tiba menjadi heboh, mereka terlihat panik dan tampak mulai putus asa. Jika kejadian itu benar, maka mereka akan mengalami masa-masa sulit selama musim dingin. Yang terburuk adalah kelaparan panjang yang akan melanda mereka. Persediaan madu mereka berada ditempat lain, tapi itu hanya bisa menghidupi mereka sampai pertengahan musim. Dan siapa pula yang suka melahap madu tiap hari sebagai makan pagi, siang, dan malam?

Jika mereka mulai dari awal, hanya akan bisa memetik setengah dari hasil yang mereka dapat—itu pun harus bekerja sepanjang hari tanpa istirahat. Udara semakin dingin dari hari ke hari, terlebih dengan adanya rumor penyihir yang lalu lalang di jalan utama. Semuanya jadi serba salah!

"Ini pasti ada kesalahan! Milena tak mungkin melakukan hal sekejam itu!" bela Alfred. Ia menyapu pandangan matanya ke seluruh penghuni kedai, namun yang didapatnya hanyalah tatapan marah dan kecewa. "Milena tak sejahat itu…" lanjutnya setengah berbisik. Wajah Alfred jauh dari bahagia saat itu juga.

"Sebaiknya kita ke Nyonya Malissa guna memastikan tragedi ini!" saran Frida, tangannya bergerak-gerak gelisah.

"Kau benar, mari kita pergi!" seru Grace.

Seketika itu juga Tim Mawar itu meninggalkan kedai menuju pohon persediaan yang berjarak lima meter sebelah barat. Lucinda terlihat lemas, entah karena ia masih teringat akan rumor penyihir kegelapan atau karena jerih payahnya mengumpulkan persediaan kini lenyap dalam sekejap mata.

Mereka terbang secepat yang mereka bisa menuju pohon persediaan, sepanjang jalan mereka melihat para peri kalang kabut, menangis, meratap, dan berbagai macam tingkah laku yang dicap nyaris gila oleh orang-orang yang melihatnya. Mereka berempat mulai terlihat cemas, semakin mereka mendekat ke pohon, semakin cemas hati mereka.

"Apa kau pikir dia tahu kalau salah satu dari kita yang melemparinya buah arbei?" Frida melempar pandang pada Alfred. "Kau tahu? Milena?"

"Aku tak percaya Milena sejahat itu." Ia mengerutkan kening.

"Jika benar ini terjadi, semua ini salahmu, Grace!" Lucinda melempar tatapan marah pada Grace yang terbang di hadapannya.