Chapter 9 - Massa yang Marah (1)

Milena menatap sepasang kupu-kupu yang beterbangan di udara. Ia duduk di atas sebuah batu besar di tepi sungai, jaraknya cukup jauh dari desa, jadi ia tak perlu bertemu peri-peri menyebalkan yang sibuk mengumpulkan buah yang hanyut.

"Kalian pasti bahagia. Saling percaya satu sama lain. Sungguh indah." Ungkapnya tanpa sadar.

"Astaga! Apa yang kuucapkan?" ia meraih batu kecil terdekat dan melempari sepasang kupu-kupu itu.

Senja mulai menyapa, ia merasa sangat bosan. Kejadian di desa sudah tak menarik lagi baginya, walau ia tadinya tertawa terbahak-bahak melihat mereka semua panik tak karuan, sampai-sampai ada yang saling bertubrukan satu sama lain.

Milena termenung sendiri di tepi sungai. Hari-harinya sungguh membosankan. Mengganggu orang-orang sudah tak seru lagi. Alfred, teman kecilnya juga sibuk dengan timnya. Milena adalah peri soliter, yah, sebagian besar orang menyatakan status itu pada dirinya. Maka tak heran ia tak memiliki kenalan selain Alfred.

Milena adalah salah satu keturunan dari peri legendaris di dunianya. Banyak yang berharap suatu hari kelak ia akan menjadi peri seperti leluhurnya itu, ia tak suka dengan pengharapan itu. Menjadi peri seperti leluhurnya berarti ia harus banyak belajar, membaca buku setinggi langit-langit, belajar sihir dan hal-hal lain yang menyusahkan. Keinginannya hanya satu dan sederhana: ia ingin bebas terbang kemanapun dan melakukan apapun yang ia sukai. Cukup itu saja.

Pengharapan yang berlebihan yang ditujukan padanya membuatnya kesal dan bertindak seperti sekarang—usil dan suka mengganggu. Segala hal di sekitarnya membuatnya mudah naik pitam, makanya peri-peri lain menjulukinya Peri Pemarah. Ia tak keberatan mendapat julukan itu, toh, mereka yang membuatnya marah-marah sepanjang hari.

"Kau di sini rupanya?" Alfred muncul dari balik daun besar, ia tersenyum melihat Milena yang terlihat cantik tertimpa cahaya rembulan.

"Oh, Alfred. Kau tak bersama gengmu?" sindirnya galak.

Alfred tertawa. "Geng apa maksudmu? Kalau kau maksud adalah Tim Mawar, kau bisa bergabung dengan kami."

"Kau gila? Mereka jelas-jelas membenciku." Milena membuat gerakan wajah aneh, "dan aku tak suka mereka, huek!" lanjutnya, kali ini dia pura-pura muntah.

"Mereka tak membencimu". Kurasa kalian hanya perlu saling mengenal satu sama lain." Alfred duduk di sisi Milena yang ekspresi wajahnya tak karuan.

"Yeah. Saling kenal? Aku? Yang benar saja." Milena mendengus tak percaya.

"Kau bisa mulai dengan menyapa mereka tiap pagi."

"Dan berpikir bahwa aku memiliki rencana jahat untuk mereka?" koarnya galak.

Tawa Alfred pecah. Rupanya stigma bertabiat buruk disadari juga olehnya sendiri.

"Milena." Ucapnya was-was.

"Ya?"

"Apa betul kau yang membuat kekacauan tadi siang?" ia melirik Milena perlahan.

"Kau juga berpikir begitu?" Ia hanya tertawa.

"Apa benar kau yang melakukannya?"Alfred tampak syok, nadanya naik satu oktaf. Milena tampak lebih terkejut, keningnya bertaut, merasa tersinggung.

Milena tersenyum menyeringai dan berkata dengan nada menggoda, "kau suka hasil pekerjaanku, huh? Mereka semua kalang kabut dibuatnya!"

"Milena!" bentak Alfred tanpa sadar.

Milena tampak terkejut, baru kali ini ia melihat temannya semarah itu. Apakah dia juga berpikir bahwa dia yang melakukan hal tersebut? Sungguh konyol!

"Kau membentakku?" Milena mengerjap tak percaya. "Kau? Kau baru saja membentakku?" lanjutnya, mendengus kecewa.

"Tidak, bukan begitu. Aku tak bermaksud—" Alfred kebingungan dengan respon Milena, memang benar baru kali ini ia berbicara dengan nada seperti itu padanya, namun ia tak menyangka jika Milena terlihat begitu kecewa padanya.

"Baik! Aku mengaku! Aku yang melakukannya!" suara Milena meruncing, "Aku rasa itulah Para Pembuat Onar lakukan, bukan? Segala hal buruk yang terjadi akan mengarah pada Sang Pembuat Onar!"

Milena terbang berdiri dari dudukannya dan terbang meninggalkan Alfred yang tak tahu harus bagaimana.