Bencana yang menimpa mereka bukanlah hal yang bisa ditolerir lagi. Kasak-kusuk menyebar ke seantero hutan itu—topiknya tentu saja Milena. Siapa lagi? Tiga hari berlalu semenjak insiden itu, gerakan gelombang penentang Milena secara perlahan semakin besar dan semakin lantang bersuara di publik. Massa yang setuju dengan propaganda pemboikotan Milena hari demi hari semakin meningkat, disusul gerakan pemboikotan pada peri cantik itu, puncaknya adalah aksi protes keras mereka pada hari di mana pihak kerajaan mengumumkan pengumuman penting.
Penduduk desa berbondong-bondong menuju ibukota—nyaris semua kalangan peri yang ada ikut dalam aksi itu. Mereka ramai berdesak-desakan di jalan sambil memegang papan bertuliskan:
- Usir Milena! -
- Penjarakan Milena! -
- Asingkan Milena ke hutan terlarang! -
- Cabut hak sayapnya! -
Dan masih banyak lagi kata-kata yang tak suka kehadiran Milena di desa itu. Beberapa peri terbang dengan tak sabaran menuju ibukota dengan spanduk super panjang dan super besar. Mereka mengumpulkan nyaris semua tanda tangan (atau cap jempol ajaib) penduduk desa—mungkin hanya Alfred saja yang tak melakukannya, ia menghindar sebisa mungkin dari kedua orang pembawa spanduk tersebut.
Alfred berjalan lunglai di barisan paling belakang, tak bersemangat. Rencananya untuk membuat Milena berbaur dengan yang lain kini gagal total. Keadaan saat ini membuat temannya itu tak meragukan pendapatnya lagi.
"Ada apa denganmu? Jangan katakan ini karena peri pemarah tak jelas itu." Grace menyikut Alfred.
"Bisa tidak kau diam!" Alfred memukul jidatnya sendiri. "Aku pusing tujuh keliling."
"Dasar bodoh!" ledek Grace, ucapnya tak peduli lalu terbang menuju spanduk besar tadi, ikut-ikutan dalam pawai demo besar-besaran itu.
"Kau yakin kau tak apa-apa?" Frida menyentuh bahu kanannya, tampak mencemaskan teman kerjanya itu.
"Ah, iya, aku tak apa-apa, " ia tersenyum kecut, "aku hanya tak tahu harus berbuat apalagi." desahnya pelan.
"Yaaaahhh… Hmmm... aku yakin mereka tak akan menghukumnya tanpa bukti begitu saja, kan?" Frida berusaha agar kata-katanya tak membuat Alfred semakin tak bersemangat.
"Yeah, kau benar." Alfred tersenyum sedikit cerah dari sebelumnya.
Pihak kerajaan tak bisa begitu saja menuduh Milena tanpa bukti. Sebuah lilin harapan kecil menyala dalam hatinya saat itu juga.
***
Di saat semua peri menuju ibukota dengan segala macam emosi di benak mereka, Milena masih tertidur nyenyak di atas bekas sarang burung yang telah disulapnya menjadi tempat tidur kesukaannya—ia membiarkan sang burung membuat sarang pada mulanya dan mengusirnya ketika sarang itu siap untuk dihuni. Sangat licik, huh?
Tuduhan yang diarahkan padanya sama sekali tak dipedulikannya. Ia tak bersalah, kenapa harus repot-repot memikirkannya, bukan? Lagipula mereka tidak kehilangan semua persediaan mereka!
Untuk menghindari warga yang marah dan kesal, beberapa hari belakangan ini ia sibuk berkeliling di hutan sampai terasa lelah; mencari-cari hal baru atau sekedar berpetualang seberapa jauh ia bisa terbang seharian. Selain itu, percuma juga berbicara sampai mulutnya berbusa kalau bukan dialah pelakunya. Toh, mereka tetap tak akan percaya.
"Kenapa kita yang harus mengawasi jalan utama? Sial sekali!" gerutu peri laki-laki berwajah tirus yang terbang di dekat sarang tersebut.
"Yeeeah... karena kita adalah peri penjaga, bodoh! Tugas kita adalah mengawasi jalan utama agar tak ada peri idiot yang menyelinap di saat yang lainnya berkumpul di ibukota." Seorang peri lain di sampingnya menjawab dengan nada menggerutu. Tubuhnya gempal dan pendek.
"Tapi, ini membahayakan jiwa kita! Kau tak dengar kalau penyihir jahat itu suka mengoleksi peri-peri dalam toples , dan diawetkan!" lengkingnya hingga membuat Milena tersentak bangun dari tidurnya.