Usaha Si peri berjanggut kali ini gagal. Ia tak mampu mengendalikan massa yang panik seperti sebelumnya. Kebingungan, ia pun ikut-ikutan berteriak panik, berjalan mondar mandir tak tentu arah hingga membentur dahan rendah yang menjulur di dekat podium, pingsan.
"Ini resmi! Sudah resmi!" Alfred tampak kalut bukan main, ia mengkhawatirkan Milena yang entah masih tertidur atau kini tengah menjelajahi hutan sendirian. Ia berpusing seperti gasing di tengah kerumunan yang panik.
Plak!
Frida menamparnya tanpa ragu. "Tenangkan dirimu!" bentaknya tegas.
Alfred melongo keheranan. "Baru saja kau menamparku?!" Katanya bingung, entah itu adalah pertanyaan atau pernyataan yang terlontar dari mulutnya.
"Ya! Aku baru saja menamparmu! Sadarlah! Kau seperti orang gila! Milena pasti baik-baik saja! Ada apa denganmu? Memalukan!" desisnya marah, mata menyipit tajam.
"Frida..." ia mengerjapkan mata tak percaya, baru kali ini Frida begitu terang-terangan memperlihatkan emosinya. Kedua rekan mereka juga ikut-ikutan tak percaya, mereka sampai tersentak kaget dan nyaris jatuh terjengkang ke belakang.
"Aku, aku…" Alfred kehilangan kata-kata, terdiam.
Bola mata Frida membesar, ia baru sadar apa yang dilakukannya dan buru-buru minta maaf.
Dari kejauhan, kedua temannya seperti menonton drama panggung tanpa suara, mereka menggeleng-gelengkan kepala, mulut mengerucut. Entah apa yang dikatakan oleh Frida, Alfred tampak kecewa dan terbang meninggalkannya yang kini mulai menangis tersedu-sedu, menyesali perbuatannya.
***
"Tolong aku! Tolong aku!" Teriak Milena yang muncul di depan pos jaga, ia memasang wajah ketakutan yang meyakinkan. Oh! Milena sangat jago berakting! Ia memegang bahu kirinya yang seolah-olah memar terkena hantaman benda tumpul—hanya bubuk pewarna sebenarnya. Lalu ia berpura-pura terjatuh di depan pos jaga, napasnya dibuat pendek-pendek.
"Oh! Astaga! Kenapa kau bisa berada di sini? Semua peri berada di ibukota mengadakan aksi demo! Apa kau gila berkeliaran sendirian di sini? Untung saja kau bertemu kami!" rekan kerja peri berwajah tirus tadi segera membantunya berdiri dan menyandarkannya setegak mungkin.
"Ada apa? Apa kau melihat penyihir kegelapan?" peri berwajah tirus itu gemetar ketakutan.
"Benar juga! Apa kau dikejar oleh penyihir kegelapan?" ia meraih tombaknya dalam posisi siaga.
"Penyihir kegelapan?" Milena pura-pura terperanjat kaget. "Apa maksud kalian?"
"Apa? Apa ini? Kau tak dikejar oleh penyihir kegelapan?" Peri itu terdengar kecewa, tombaknya diturunkan dengan gerakan lesu.
"Bukan penyihir, lalu apa?" peri berwajah tirus itu mendekat, menelan ludah gugup.
"Namaku Danine, aku adalah peri yang baru saja pindah dari hutan sebelah. Kalian tahu? Yang ada danau emeraldnya yang luas?" ucapnya tanpa ragu sedikit pun, mereka menelan sandiwara Milena bulat-bulat. "Aku baru saja tiba di sekitar sini beberapa jam lalu, saat aku beristirahat tak jauh dari sini, aku mendengar sesuatu dari balik semak-semak, lalu sebuah bayangan gelap besar berkelebat entah darimana!" Milena menggambarkan sosok besar itu di udara dengan kedua tangannya.
"Sebesar ini! Lebih besar malah!" Milena nyaris menjerit histeris.
Peri tirus tadi berteriak tanpa sadar. Itu membuat peri satunya terkejut.
"Berhenti berteriak!" lengkingnya marah, lagi-lagi ia memukul belakang kepala rekannya itu.
"Maafkan aku, tapi aku baru di hutan ini. Penyihir adalah hal yang tabu di dunia peri, bukan? Ada apa sebenarnya?" Milena berpura-pura keheranan, suaranya dijaga sekecil mungkin.
Mereka berdua tampak diam dan mulai gelisah.
"Biar aku yang jelaskan." Ia memberi isyarat pada peri berwajah tirus agar tak buka mulut.
"Dan siapa kalian?" Tanya Milena lagi.