Chapter 22 - Tekad Milena (1)

Alfred terlihat kurang senang, wajahnya kusut dan ia terbang sempoyongan. Ia masih kaget dengan pengakuan Frida barusan. Peri perempuan itu menyukainya? Bagaimana mungkin hal itu sampai terjadi? Ia tahu orang-orang tak mengendalikan perasaan mereka sendiri, seperti yang dialaminya terhadap Milena, namun, kenapa mesti dia? lelaki yang disukai Frida? Rekan kerjanya sendiri dan sudah dianggapnya sebagai keluarga? Sangat membingungkan, entah bagaimana ia akan menghadapi Frida nantinya.

Tiba-tiba saja ia memikirkan skenario itu terjadi padanya dan Milena, bagaimana reaksi peri perempuan itu jika ia menyatakan cintanya? Sudah banyak peri laki-laki patah hati dan cintanya diinjak-injak oleh Milena seolah bukan apa-apa, mirip daun-daun kering bertebaran di jalan. Bagaimana hubungan mereka selanjutnya? Apakah Milena masih akan menganggapnya sebagai teman semasa kecil? Atau sama seperti pria lainnya yang telah mengaku? Ia menggelengkan kepala, bukan saatnya untuk memikirkan hal tersebut, ia memacu sayapnya lebih cepat, keselamatan Milena jauh lebih penting saat ini.

Sarang Milena berada di atas pohon yang cukup tinggi, jadi ia tak bisa tahu dari kejauhan apakah peri pemarah itu masih tertidur atau tidak, ia melesat tajam ke atas cabang pohon tersebut dan mendarat di tepi sarang. Tempat tidurnya berantakan, ia memeriksa kalau ada hal yang mencurigakan terjadi, namun pemandangan itu sama seperti hari-hari biasanya, terbengkalai jika ia sudah menemukan hal yang menarik perhatiannya. Alfred berjalan pelan menuju rumah pohon Milena—sebuah lubang di batang pohon tersebut, isinya minimalis dan lebih rapi dari sarang Milena di luar.

"Oh, tidak. Kemana perginya dia?" Alfred menepuk jidatnya dengan helaan napas berat.

Karena tak menemukan Milena baik di sarangnya, maupun di rumah pohonnya, ia memutuskan menuju jalan utama. Jika pihak kerajaan memutuskan pengumuman resmi terkait penyihir itu, maka seharusnya ada penjaga perbatasan sementara di sana. Ia melesat bagaikan peluru, menerobos cabang-cabang pohon yang mulai mengering, menunduk dan memutar di semak-semak belukar tanpa berpikir panjang hingga membuat pipi kirinya tergores.

"Halo, selamat pagi menjelang siang!" sapa Alfred, terkekeh.

Spicklose dan Bartamiel terkejut.

"Apa? Kau juga peri dari hutan lain?" sindir Bartamiel sarkastik, matanya menyipit tak senang.

"Apa? Apa maksudnya itu? Aku dari desa. Aku sedang mencari seorang teman." ia terkekeh kembali.

Sesaat suasana menjadi hening. Detik berikutnya Alfred menyadari sesuatu, ia membeku. Dengan mulut menganga lebar, panik mulai menyerangnya. "Jangan bilang kalian baru saja bertemu peri baru pagi ini?"

"Ya! Dia sungguh anak laki-laki yang malang, baru tiba di hutan ini sudah menghadapi hal yang menakutkan, tapi aku kagum, dia sungguh pemberani." puji Bartamiel.

"Kau bicara apa? Dia anak perempuan yang cantik! Matamu rusak, ya?" ledek Spicklose.