"Apa? Kau tak bisa membedakan laki-laki dan perempuan? Jelas-jelas dia itu anak laki-laki, hanya karena rambutnya sedikit panjang, bukan berarti dia itu perempuan. Dasar bodoh!" Ucapnya dengan nada naik satu oktaf.
"Tapi, Bartamiel! Dia itu perempuan! Wajah secantik itu, masa laki-laki, sih? Mana ada laki-laki normal berpakaian perempuan berkeliaran di hutan!" Belanya lagi, sorot matanya terlihat bingung.
"Ya, ampun!" Alfred menepuk jidatnya untuk kesekian kalinya. "Debu penyamaran! Milena! Astaga!"
"Apa? Debu apa?" Tanya Bartamiel penasaran, beringsut mendekat.
"Kalian tak salah. Itu adalah Milena yang menggunakan debu penyamaran. Debu itu membuat kalian melihat apa yang ingin hati kalian lihat." Kedua bahu Alfred memelas.
"Apa? Milena? Mustahil?" Kepala Bartamiel tersentak ke belakang, kaget.
"Oh! Debu penyamaran! Aku tahu tentang debu itu! Pantas saja! Ya, ya, ya! Aku memang ingin punya anak perempuan yang cantik, makanya aku melihatnya sebagai anak perempuan!" Kepalan tangan kanannya memukul telapak kirinya, bola mata membesar.
"Apa? Apa ini? Apa karena aku ingin menjadi panutan bagi semua anak laki-laki, makanya aku melihat dia sebagai anak laki-laki?"
"Oh! Bagaimana ini! Cermin kejujuran! Kita menceritakannya tentang cermin itu!" rona wajahnya berubah seperti hantu.
"Cermin kejujuran?" kata Alfred, mengeryitkan kening.
"Yeah! Cermin yang membuatmu jujur, sejujur-jujurnya! Dan bisa berbahaya jika jatuh di tangan yang salah!" Spicklose sengaja mengucapkannya dengan nada horror dibuat-buat, tangan kanannya bergerak-gerak bebas di udara.
"Apa yang kalian ceritakan pada?" Tanya Alfred gelisah, tenggorokannya seakan tercekat. Ia memikirkan sebuah skenario terburuk.
"Oh, Soal itu... "
Baratamiel berdeham, lalu ia mulai menceritakan kembali kisah cermin kejujuran itu. Alfred tampak kalut, namun berusaha menguasai diri sebaik mungkin. Setelah beberapa menit mendengarnya, Alfred berterima kasih dan pergi mencari Milena—sebuah tempat di mana satu-satunya yang akan dituju setelah menggunakan debu penyamaran.
"Apa kau memikirkan apa yang kupikirkan?" Tanya Spicklose pada Bartamiel, matanya menatap kepergian Alfred.
"Hentikan bertanya hal-hal yang tak masuk akal! Aku tak tahu apa maksudmu." Gerutu Bartamiel, ia kembali pada posisi jaganya.
Sebelah kening Spicklose naik sebelah, sinar matanya memancarkan ketakutan, "kau tak berpikir kalau Milena akan mencuri cermin itu, kan, dari si penyihir?"
Bartamiel terbahak keras, lalu menyeringai lebar, "yeah! Kalau dia ingin misi bunuh diri. Tak ada yang melarangnya! Penduduk desa malahan akan senang!"
"Bartamiel!" Bentaknya marah.
Rekannya itu tersontak kaget, ia beringsut mendekat dan berkata dengan suara menggeram. "Apa kau baru saja membentakku?"
"Aku tak bermaksud begitu! Tapi, pikirkan lagi! Jika dia berhasil mencurinya, apa yang akan terjadi?"