Chapter 29 - Berani Atau Bodoh? (3)

Suara ribut-ribut terdengar begitu nyaring di telinga Alfred. Matanya terasa berat dan kepalanya agak pusing. Ia sedikit kesulitan bernapas, tubuhnya seperti baru saja dihantam oleh apel super besar. Di tangan kirinya, ia merasakan jari-jari kurus dan langsing menggenggam erat tangannya, mungkin tak akan ada yang percaya jika genggaman tangan itu seolah-olah akan meremukkan jari-jarinya.

"Di mana aku?" Alfred berusaha membuka mata, pelupuk matanya terasa berat sekali. Pandangan matanya masih kurang fokus, yang ada hanya bayangan kabur beberapa peri lainnya yang entah siapa yang memenuhi ruangan itu.

"Kau di Pusat Perawatan Lily Fay, aku mendapat pesan darurat tentangmu. Awalnya aku tak percaya karena suara yang terdengar adalah suara Milena, namun begitu kau—" belum sempat Frida menyelesaikan kalimatnya, Alfred menarik tangannya dari genggaman Frida hingga membuat peri malang itu tersentak kaget.

"Di mana Milena?" ia menggosok-gosok kedua matanya, dan mencari-cari Milena di antara kerumunan di depannya. Nada suaranya terdengar panik, tangannya mulai meraba-raba pinggiran tempat tidur.

"Kau mau apa, Alfred?" Frida meraih kedua tangan Alfred tanpa sadar.

"Lepaskan! Aku harus mencari Milena! Dia itu suka sekali bertindak nekat!" nada suara Alfred naik satu oktaf, hingga seluruh peri dalam ruangan itu ikutan-ikutan tersentak kaget.

"Jangan bodoh! Saat ini keadaan di luar sana tak aman!" balas Frida, dadanya naik turun, saking tak sabarnya menghadapi kelakuan Alfred yang lagi-lagi kembali keras kepala.

"Maka dari itu aku harus mencarinya, Frida! Aku harus mencegahnya sebelum dia melakukan tindakan bodoh!" Alfred berusaha bangkit dari tempat tidur, tapi tubuhnya berteriak kesakitan.

"Harusnya kau mendengar perkataan pacarmu itu." seorang peri perempuan berkacamata aneh dan bertubuh super gemuk dengan sayap agak kecil, berjalan menuju mereka seraya membawa sesuatu di atas nampan.

"Frida bukan pacarku!" kata Alfred spontan dan tegas.

Frida yang mendengar perkataan itu merasa hatinya terluka, serasa diiris sembilu, ia ingin menangis sejadi-jadinya, kerumunan peri yang ada di ruangan itu membuatnya menahan kepedihan itu dalam-dalam untuk saat ini. Ia lebih mementingkan kondisi peri yang dicintainya itu ketimbang perasaannya yang luluh lantak sedari tadi sejak di Ibukota.

Peri perempuan super gemuk itu menatap Frida dengan tatapan memelas dan kasihan, ia sempat membuat raut wajah sedih, lalu detik berikutnya bersikap biasa-biasa saja, lebih tepatnya cuek.

"Sebaiknya kau jangan kemana-mana dulu. Sayapmu patah. Apa kau tak merasakannya? Artinya obat yang kuberikan tadi sudah mulai bekerja rupanya." ia meletakkan nampan itu di atas meja kecil di samping tempat tidur Alfred.

"Apa dia baik-baik, saja, Mrs. Pompkin?" seorang peri pria dewasa dari kerumunan bertanya pada perempuan super gemuk itu, Alfred memicingkan matanya untuk melihat lebih jelas, tapi hasilnya nihil, pandangannya masih tetap kabur. Dari suaranya, Alfred bisa menebak itu adalah Mr. Kendrill dari Divisi Tim Medis Peri.

"Yah..." Mrs. Pompkin menghela napas panjang. "Aku tak tahu dari mana Peri bodoh itu mendapat pil berbahaya semacam itu. Untungnya kalian membawanya tepat waktu. Aku tak bisa menjamin jika ia bisa dinetralisirkan jika kalian terlambat. Ramuan itu memang sangat manjur, tapi punya efek berkepanjangan yang tak bisa ditolerir." Ia memicingkan mata pada Alfred. "Kau nyaris jadi pangeran tidur, nak! Teman super bodohmu itu sepertinya suka mengoleksi ramuan-ramuan manjur berbahaya," lanjutnya dengan kata-kata pedas.

Alfred mundur ketakutan dengan bahu terangkat, bukan, bukan karena mendengar kata-kata yang terlontar barusan, namun lebih kepada wajah Mrs. Pompkin yang bulat dipenuhi riasan super menor dan bibir merah super tebal, seolah-olah siap mendarat di wajahnya. Itu sungguh mengerikan. Alfred bergidik.