"Hentikan! Ada apa denganmu?" Milena memberontak.
"Aku tak akan berbaik hati kali ini." Alfred mencengkram kuat tangan Milena dan menyentaknya ke udara. Milena nyaris tersungkur, namun ia menjejakkan kaki di batu untuk dijadikan dorongan, melesat bagaikan roket dan menabrak tubuh Alfred cukup keras di udara. Tubrukan itu membuat mereka jatuh di rerumputan yang mulai mengering. Milena terguling di rerumputan kering, sedangkan Alfred membentur bunga besar di sampingnya dan terpental ke arah ranting kering dengan perut terlebih dahulu. Ia jatuh terlentang di rerumputan.
Milena meringis kesakitan, ia tak terluka sama sekali, hanya sedikit pusing. Pandangannya kabur sejenak, mengerjapkan mata lalu setelah mulai membaik, matanya mencari-cari di mana gerangan Alfred terjatuh.
"Alfred! Alfred! Kau di mana?"
Ia terbang rendah dengan perasaan cemas mencari Alfred di balik rerumputan kering. Meski marah padanya, rasa bersalah menyerangnya, bagaimana jika teman semasa kecilnya itu terluka? Ia memutuskan terbang cukup tinggi untuk mengamati keadaan di bawah sana, dan segera melihat sebuah tangan terjulur keluar dari balik dedaunan cokelat.
"Alfred!" Pekik Milena, sayapnya melesat cepat menuju dedaunan itu. Ditariknya dedaunan besar dan mendapati Alfred mengerang kesakitan.
"Ah… Milena...." Erang Alfred.
"Kau tak apa-apa? Di mana yang sakit?" Milena meraih wajah Alfred, menepuk-nepuknya supaya sadar.
"Milena... Jangan pergi..." Pintanya dengan suara lemah.
"Oh, Alfred! Maafkan aku! Aku tak berniat melukaimu! Tahan sejenak! Aku akan melepas bunga pertolongan, mereka akan segera menemukanmu dan mendapat perawatan." Ia menaruh kepala Alfred dengan hati-hati kembali, lalu merogoh satu kantong kain merah di pinggangnya.
Tangan Alfred segera mencegatnya. "Kau masih tetap akan pergi?"
"Kau tahu betul, aku punya rasa ingin tahu yang tinggi dan ketika aku berniat, tak ada yang bisa menghentikanku." Ia menatap Alfred dengan raut wajah bersalah.
"Oh... Milena… Milena...." Erangnya merana, ia tak bisa berbuat apa-apa dengan kondisinya saat ini, perutnya terbentur hebat.
Sesaat setelah Alfred menyebut namanya dalam kepedihan yang teramat dalam, di tangan Milena terdapat sebuah bunga terompet kuning kecil, lalu membisikkan sebuah kalimat. "Frida, Alfred terluka di tepian sungai yang jarang dikunjungi, di dekat batu besar, di samping batang pohon besar yang mengering. Ia tak bisa menggerakkan tubuhnya. Cepatlah! Alfred, katakan sesuatu, atau dia tak akan percaya, " Milena menyodorkan sudut yang mirip corong ke mulut Alfred.
"Milena, hentikan...." Ucapnya dengan nada kesakitan.
"Yup! Ini cukup!"
Milena menarik bunga itu kembali lalu menaburinya dengan serbuk berwarna seputih susu. yang sudah dibisikkan sesuatu sebelum membubuhkan pada bunga terompet yang kini perlahan demi perlahan mengambang di udara. Bunga itu melesat bagaikan peluru dan menghilang dari pandangan.
"Ini, telan ini, setidaknya akan cukup membuat sakitmu sedikit mereda." Milena menyuapi Alfred dengan sebuah pil kecil berwarna kuning keemasan.
Alfred tak usah bersusah payah menelan pil itu, sebab pil itu akan lumer dengan sendirinya di dalam mulut, ia meraih tangan Milena dan menatapnya dengan penuh kekhawatiran, berusaha mencengkram tangan peri yang disukainya itu agar tak bisa pergi darinya.
"Alfred, kau tahu, kau tak sekuat tadi, tubuhmu lemah saat ini, apalagi dengan efek pil penahan rasa sakit tadi." Ia mengelus rambut Alfred dengan penuh perhatian.
"Mi-le-na…" Suara Alfred perlahan mengecil, pandangan matanya mulai kabur.
"Aku menaruh buah curian itu di batang pohon persedian paling tinggi, tempat pakaian drama tahunan disimpan. Ada ruangan rahasia di samping lemari penyimpan perlengkapan, kau ketuk tiga kali, maka ruangan itu akan terbuka. Di sana juga ada persediaanku, jadi jangan kau ambil semua, Alfred." Terangnya seraya mengingatkan Alfred yang kini mulai menutup mata perlahan gara-gara kantuk yang menyerangnya.
"Mi—."
Kalimatnya tak selesai, efek obat itu sudah menguasainya sepenuhnya, Milena hanya tersenyum samar, merapikan posisi Alfred dan terbang meninggalkannya seorang diri di sana.
"Maafkan aku, Alfred." Bisiknya samar-samar. "Penduduk desa harus merasakan balasan dariku." Geram Milena, tangannya mengepal kuat.[]