Milena menunggu cukup lama untuk mendengar kelanjutan percakapan mereka, sia-sia belaka, setibanya di pos jalan utama, mereka hanya sibuk meneropong dari kiri ke kanan, kanan ke kiri, begitu seterusnya hingga raut wajah Milena mengkerut saking kesalnya.
Ia gelisah ingin mengetahui lebih banyak mengenai cermin kejujuran. Dengan cermin itu mungkin bisa membuktikan dirinya tak bersalah kepada penduduk desa—dirinya memang tak bersalah, toh, ia menceritakan hal yang sesungguhnya terjadi!
Sebenarnya Milena tak peduli mereka menuduhnya atau tidak, tapi ia ingin melihat wajah super bersalah mereka padanya. Dan itu adalah sebuah kemenangan besar! Sangat menghibur hati! Sungguh memuaskan!
Ia bisa mengolok-olok para penduduk desa yang berpikiran sempit dengan nada sombong setiap kali mereka berpapasan di jalan nanti. Untuk merealisasikan rencananya itu, ia butuh informasi lebih banyak mengenai cermin itu dan bagaimana mendapatkannya dari sang penyihir yang entah siapa.
Milena berpikir keras selama sisa pagi itu, pikirannya sibuk berputar mencari berbagai macam cara agar kedua peri itu kembali berceloteh, namun tak satupun ide bagus menghampirinya. Seekor burung terbang melintas di atas pohon yang dijadikan tempat persembunyiannya, dari jauh ia melihat seekor capung berusaha menghindar dari kejaran burung itu dengan cara berbaur ke dedaunan yang masih hijau. Aha! Dia mendapat sebuah ide cemerlang! Senyumnya menyeringai lebar.
***
"Baiklah! Diam!" teriak seorang peri laki-laki berjanggut, kedua telapak tangannya menghadap ke kerumunan yang kian padat dari menit ke menit. Ia berdiri di atas podium, berdeham sejenak, lalu memperbaiki letak kacamatanya, lirikannya menyapu pandangan di depannya dari kanan ke kiri.
"Dengarkan baik-baik!" lanjutnya dengan nada yang setengah dibuat-buat. "Pihak kerajaan tahu apa yang kalian rasakan terhadap kejadian kemarin. Takut! Panik! Horor! Merana! Dan putus asa menjadi satu dalam benak kalian! Beruntunglah kita, demi sang hutan yang bijak, terima kasih—" ujung kalimatnya mengecil, terdengar seperti berbisik, lalu menundukkan kepala serta menutup mata dengan khidmat.
"Terpujilah hutan yang bijak... " gumam mereka nyaris serentak, mereka mengikuti apa yang dilakukan oleh pria di podium tadi.
"Setelah perundingan yang panjang dan penyelidikan brutal. Hari ini—" Dia berhenti sejenak untuk menghela napas napas. "Akan ada dua pengumuman penting untuk kalian! Dan sayang sekali semuanya berita buruk. Maafkan aku." Ia mengalihkan pandangan matanya dari kerumunan, gelisah.
Peri-peri itu mulai ribut-ribut satu sama lain, suasananya nyaris kacau dengan berbagai macam nada erangan yang bergejolak. "Diam!" teriak peri berjanggut tadi, kali ini ia memasang wajah super tegas, berusaha mengendalikan situasi, dan itu berhasil, mereka kembali menaruh perhatian padanya, tak ada yang berani bersuara.
"Aku tahu apa yang aku sampaikan adalah kabar tak menyenangkan. Kurasa akhir-akhir ini desa kita mengalami hal yang buruk, selain Milena tentunya...." suaranya mengecil ketika menyebut nama itu, para peri beruhu keras dan rata-rata mereka berpura-pura muntah karena jijik. "Baik! Pertama yang akan aku sampaikan adalah bahwa pelaku kejadian kemarin belum jelas. Maafkan kami, peri-peri yang baik! Pihak kerajaan tak bisa mengabulkan keinginan kalian tanpa bukti kuat yang mendukung." Ia menyeka keringat dari dahinya, peri-peri yang mendengarnya memasang wajah kecewa dan duka yang mendalam—ini lebih buruk dari sebuah acara pemakaman bagi desa tersebut.