Chapter 16 - Cermin Kejujuran (2)

"Lalu kenapa kau mendaftar sebagai peri penjaga sedari awal? Hentikan keluh kesahmu itu! Telingaku sakit mendengarnya!" bentaknya galak.

Wajah Milena kusut dan merah seperti tomat rebus. Terlihat kesal.

Dalam hati ia berpikir, tak bisakah setidaknya ia mendapat tidur yang nyaman setelah semua fitnah yang ia peroleh? Ditegakkannya badannya dan menunduk dari balik sarang, dari kejauhan terlihat dua peri berseragam penjaga terbang menuju jalan utama.

Tak biasanya ada peri penjaga di hari-hari seperti ini di hutan, apa yang terjadi? Pikirnya penasaran.

Milena mengikuti kedua peri penjaga tersebut dari jarak aman, ia berniat membalas dendam. Sepanjang jalan, ide-ide jahil bermunculan di otaknya, menimbang-nimbang mana yang layak untuk dieksekusi, akan tetapi hal itu perlahan lenyap dari benaknya ketika mencuri dengar perkataan mereka.

"Sungguh tak apa-apa hanya kita berdua yang bertugas di jalan utama? Kau tak berpikir kita terlalu sedikit? Bagaimana jika penyihir itu muncul dan menangkap kita?" peri berwajah tirus itu menggigil membayangkan segala macam siksaan yang diberikan oleh sang penyihir padanya.

"Dari tadi kau terus mengeluh! Mana kehormatanmu sebagai seorang peri penjaga? Sungguh memalukan!" Peri satunya lagi memasang wajah tampak jijik pada pasangan kerjanya itu.

"Aku lebih memilih kehormatanku dijual, ketimbang harus mati mengering dalam stoples pajangan di ruangan gelap dan pengap milik penyihir itu." Ia bergidik ngeri, pikiran tidak-tidak muncul dalam bayangannya.

Milena berhenti sejenak dari aksi menguntitnya itu. Punggungnya disandarkan pada sebuah batang pohon besar, mengelus-ngelus dagunya, berpikir.

"Penyihir kegelapan, eh?" ucapnya dengan nada penasaran. "Aku tak sempat memperhatikan masalah ini sebelumnya karena sedang marah. Jadi, rumor itu benar adanya, kenapa pihak kerajaan masih diam atas hal ini? Apa yang sebenarnya yang terjadi?" ia mengernyitkan kening.

Milena lalu mengintip kembali, kedua peri tadi sudah berada cukup jauh dari jangkauan pendengarannya.

"Darimana kau tahu hal itu?" Tanya si peri berwajah tirus tadi.

Milena berada dalam posisi terdekat dan aman, ia mengepakkan sayapnya dua kali lipat dari biasanya guna mengejar ketinggalan. "Cepat sekali mereka terbang!" omelnya lebih kepada dirinya sendirinya.

"Tanpa sengaja aku mendengarnya saat aku jaga malam di dekat ruangan terlarang itu. Seorang peri bodoh kelepasan bicara tanpa melihat sekitarnya." Dia terkekeh.

Milena terbang lebih dekat tanpa ia sadari.

"Jadi, maksudmu penyihir itu memiliki cermin kejujuran yang telah dicurinya dari dunia peri, begitu?" peri berwajah tirus itu terkejut bukan main. "Sungguh beruntung benda mengerikan seperti itu dicuri, aku tak mau semua hal tentang diriku terbuka keluar."

"Kau itu bodoh atau apa?" ia memukul belakang kepala peri itu, dan berkata lagi, "kau bukan penjahat, kenapa mesti takut dengan benda semacam itu. Atau jangan-jangan kau sudah melakukan hal yang melanggar hukum?" matanya menyipit tajam.

"Apa kau bilang? Aku tak pernah melakukan hal semacam itu! " ia berjengit, "hanya saja aku sering tertidur di saat berjaga, jika pihak kerajaan menggunakannya sebagai alat menguji kesetiaan kita, maka tamatlah riwayatku! Keluargaku mau makan apa? Jatah dari pihak kerajaan hanya untuk makan malam! Kami mau makan apa untuk pagi dan siangnya?"

"Kalau begitu sebaiknya kau bersungguh-sungguh dengan pekerjaanmu! Dasar payah!" tukasnya kesal.

Cermin kejujuran? Pikir Milena sejenak. Dua kata itu menarik perhatiannya. Matanya mengerjap cepat, ia kini terbang lebih dekat dari hanya sekedar menguntit.

"Aku benci tugas jaga selain di dalam istana." Keluh peri berwajah tirus itu.

"Yah! Dan aku benci kau mengeluh sepanjang jaga bersamaku!" pekik peri satunya, telinganya mulai panas mendengar ocehan dan keluhan rekannya.

"Baiklah! Baiklah! Aku akan diam!" katanya, cemberut.

Mereka akhirnya diam satu sama lain. Si peri berwajah tirus itu tak mau lagi membuat rekannya mengomel tak ketulungan, ia hanya menelan ludah setiap kali ia hendak berbicara, sungguh sulit, tapi akhirnya ia diam seribu bahasa. Dan Milena tak menyukai keadaan ini.