"Apa kalian sudah bisa berhenti melempar benda-benda ke arah kami?" Tanya Alfred was-was.
"Kami melempar ke arahnya, bukan padamu, Al!" teriak seorang peri lagi dari sudut ruangan yang berlawanan.
"Ya! Cukup! Cukup! Aku bilang cukup!" sergah Alfred, kedua tangannya dalam posisi bertahan; telapak tangannya menghadap ke depan, kepalanya miring ke kanan. Napasnya naik turun.
"Mungkin aku sebaiknya keluar sekarang, Al." bisik Milena dari jauh.
"Dan kau!" ia berbalik ke arah Milena dengan wajah super galak, telunjuknya mengacung ke arahnya.
"Berhenti menghindar dari kenyataan! Berhenti bersikap menyebalkan dan keras kepala! Kali ini setidaknya kau bisa membela dirimu yang tak bersalah!"
Alfred menariknya dari persembunyiannya di bawah meja. Dan lagi! Dengan cengkeraman erat.
"Alfred! Kau menyakitiku!" rintihnya kesakitan.
"Tahan sejenak! Sekarang jelaskan pada mereka kalau bukan kau pelakunya!" perintahnya galak.
Grace yang melihat tatapan Frida yang nanar, meraih tangannya dan menggenggamnya erat-erat. Frida tersentak kaget. Grace hanya tersenyum kecil dan berbisik, "sabarlah."
"Terima kasih." Bisiknya terharu.
"Kalau bukan kau pelakunya, lalu siapa?" Gustraf maju ke depan, di tangannya tergenggam sendok sup besar. Milena berjengit melihatnya.
"Jelaskan pada mereka!" Alfred menarik tangan Milena lebih kuat dari sebelumnya, takut jika Si Peri Pemarah itu kabur tanpa penjelasan.
"Baiklah! Tapi bisa kau lepaskan tanganku?" pinta Milena galak. Alfred hanya menggelengkan kepala dengan tegas. "Baiklah! Aku akan cerita!" dia memutar bola mata.
"Dan kami akan dengarkan!" ucap Gustraf sungguh-sungguh. "Aku janji tak akan ada yang melemparimu lagi kali ini. Ia memandang galak pada seantro ruangan. Rata-rata mereka hormat pada Gustraf, jadi mereka hanya mengangguk setuju.
"Yah… Baiklah. Boleh aku duduk?" Tanya Milena waspada.
"Silahkan!" Gustraf mengangguk setuju.
Milena meraih kursi terdekat dan duduk agak jauh dari mereka. Alfred duduk disampingnya.
"Jadi…"Katanya memulai, "sebenarnya aku sedang marah, seseorang dengan sengaja melempari kepalaku dengan buah arbei saat aku tidur siang tadi..." Milena mengerucutkan mulutnya, seluruh ruangan terkikik mendengarnya, "karena tak bisa menemukan pelakunya, aku mencurigai salah satu peri pekerja yang mengerjaiku. Aku sampai seperti peri gila berbicara pada tupai!" nadanya suaranya naik satu oktaf, pengunjung kedai itu semakin menjadi-jadi saking gelinya mendengar pengakuannya.
"Yeah... Dan aku berniat membalas dendam dengan mencuri tiga perempat persediaan musim dingin." Milena tersenyum menyeringai, kali ini tak ada satupun yang terkikik ataupun menertawakannya. Raut wajah mereka semua berubah merah mendidih.
"Katakan sesuatu lagi, Milena!" desak Alfred, panik.
"Baik! Aku belum menyelesaikan ceritaku!" Milena mengernyitkan keningnya. "Saat aku mencuri buah anggur satu persatu dari persediaan, aku mendengar seseorang sedang menggali sesuatu. Kupikir itu mungkin hanya peri tambang yang hendak memperluas ruangan untuk menampung lebih banyak buah dan biji-bijian, jadi aku terus saja dengan kegiatanku."
"Berapa banyak buah yang kau curi, pencuri!" Tanya seorang peri laki-laki dengan suara dalam.