Milena hanya memutar bola mata dan mendesah pelan. Alfred membuka rerumputan yang tinggi dan di baliknya terlihat bagian belakang kedai tersebut. Kedai itu sangat terang dengan dua lentera yang tergantung di kedua sisinya. Milena mencuri-curi pandang pada kedai itu dari kejauhan, itu kedai terkenal yang ada di desanya. Ia belum pernah memasuki kedai itu seumur hidupnya. Itu karena kebanyakan peri-peri yang telah diganggunya (termasuk yang membencinya) akan membicarakannya di kedai itu. Tak memasuki kedai, tak berarti ia tak bisa mencuri dengar percakapan mereka. Mendengar percakapan mereka yang beragam tentang dirinya membuat telinganya panas. Hal itu juga yang selalu menjadi alasan lahirnya kekacauan baru olehnya.
"Apa kita akan ke kedai itu?" tunjuk Milena segan.
"Yah! Kau pikir kedai itu apa? Makanan?" Alfred terkekeh, potongan pai kecil terjatuh dari kepalanya.
"Kurasa mereka tak akan suka kehadiranku di sana." Milena menyilangkan tangan di dada, wajahnya cemberut. "Aku pasti mendapat lemparan panci alih-alih pai apel."
"Ayolah! Jangan berpikiran negatif dulu. Aku akan menjelaskan pada mereka." Ia menarik tangan Milena sebelum sempat membantah perkataannya lagi.
Alfred tampak bahagia, ia mencengkeram tangan Milena seolah-olah tak ingin melepaskannya. Ia sampai tersandung beberapa kali gara-gara Alfred menyentaknya terlalu kuat ke sisinya.
"Kau yakin mereka tak akan melempariku panci?" koar Milena kesal.
"Ayolah!" Alfred membuka pintu dan semua pengunjung tiba-tiba terdiam. Mereka mengamati para pendatang baru itu.
"Eh? Alfred?" bisik Milena pelan, ia menarik pinggiran baju temannya itu.
"Tersenyumlah! Senyum saja!" balasnya pelan, ia tersenyum sangat lebar.
Milena ragu akan taktik itu, ia melihat ke sekelilingnya, mereka masih terdiam sambil menatap tajam ke arahnya. Sudut bibirnya membentuk senyuman, alih-alih senyuman, ia tampak seperti menyeringai. Kening para pengunjung kedai itu saling bertaut melihat ekspresi aneh itu.
"Ah... hai!" sapa Milena riang, tangan kanannya melambai cepat.
Prang!
Sebuah cangkir melayang ke arahnya. Untungnya Milena dengan cepat menghindar.
"Yeah! Cangkir!" ucap Milena dengan nada sarkastik dari bawah meja. Beberapa cangkir dan piring masih melayang ke arahnya secara bertubi-tubi.
"Hentikan! Hentikan semuanya!" dengan sigap Alfred meraih beberapa pecah belah dan mengamankannya di meja satu persatu. Selebihnya melayang, membentur tembok dan pecah.
"Kenapa kau membela peri jahat itu?" Teriak Lucinda kecewa, matanya tampak berkaca-kaca. "Kau tahu? Aku kelelahan seharian ini! Cuaca semakin dingin dan kami harus bekerja ekstra keras dengan perut lapar! Kau pikir itu menyenangkan?" berangnya marah.
"Benar! Bahkan ada peri yang nyaris tenggelam gara-gara ulah Milena!" Peri yang di sudut ruangan berteriak dengan nada pilu dan tercekat. "Kejam! Biadab!"
"Jangan-jangan kau adalah kaki tangannya!" teriak seorang peri dari sudut ruangan.
"Bisakah kalian diam sejenak dan hentikan melempar barang-barang milik kedai ini?" lengking Alfred membahana.
"Aku tak keberatan! Selama targetnya adalah peri jahat itu!" seorang peri berteriak dari arah dapur.
"Ide buruk mengajakku kemari, bukan?" dengus Milena sarkastik, memandang Alfred yang panik.
Alfred mendecakkan lidah, dan berjalan ke tengah ruangan. Ia memasang tampang segalak mungkin hingga nyali satu persatu pengunjung di kedai itu ciut.
"Kalian tak boleh menilai seseorang secara sepihak seperti ini! Milena belum memberikan tanggapan terhadap kejadian tadi siang! Walau ia terkenal akan pembuat onar dan suka marah-marah, bukan berarti segala hal buruk yang terjadi di desa ini adalah ulahnya! Sebagian dari kalian sudah dewasa, tak bisakah kalian memikirkannya secara rasional? Apa gunanya kalian sebagai orang dewasa di antara kami jika tak bisa menilai dan menimbang sesuatu dengan hati-hati?"
Mereka tiba-tiba terdiam. Tak ada yang berani membantah ataupun melayangkan pecah belah lagi ke arah Milena.