Chapter 11 - Massa yang Marah (3)

"Baguslah jika kau mau pulang." Goda Alfred, ia terbang dengan gaya punggung, tersenyum semanis mungkin pada Milena agar emosi peri pemarah itu bisa reda kembali.

"Kau bodoh? Tentu saja! Jika aku tidak pulang ke desa, mereka akan berpikir bahwa memang akulah pelakunya!" ucapnya kesal, ia melempar pandangan galak pada Alfred, masih tak percaya temannya itu meragukannya.

"Sungguh bukan kau pelakunya?" seru Alfred tanpa sadar.

"Aku tak bodoh, Al! yeah, meski aku pernah berbicara dengan tupai sekali di hutan." Gerutu Milena, kesal.

"Oh! Aku sungguh senang!" Alfred memeluknya hingga nyaris tak bisa bernapas.

"Apa yang kau lakukan?" Milena meronta dengan nada melengking.

Alfred tertawa puas, Milena yang melihat wajah teman kecilnya itu bersinar secara diam-diam, hatinya luluh dan tersenyum sendiri.

***

Malam itu, desa peri tidak seperti biasanya. Cahaya-cahaya kecil memenuhi hampir tiap sudut jalan. Beberapa peri bersulang, tertawa puas, dan sesekali membuat ekspresi lucu nan aneh. Rupanya mereka berhasil menyelamatkan sebagian besar persediaan yang hanyut. Ketika Milena menjejakkan kakinya memasuki desa, tatapan tak suka menghujamnya bagaikan anak panah berapi. Ia membalasnya dengan raut wajah tak kalah gusar.

"Jangan pedulikan mereka. Kau tak bersalah itu sudah cukup buatku." Bujuk Alfred.

"Tetap saja mereka menjengkelkan. Kenapa mereka selalu menaruh perhatian berlebihan padaku?"

Milena berjalan pelan, ia ingin menendang suatu, tapi jalanan nyaris kosong, hanya tanah yang mulai gersang.

"Yah. Mungkin kau bisa berhenti memasang wajah mengerikanmu itu." Alfred mengelus rambut panjang pirang gelap Milena.

"Hentikan itu!" protesnya galak.

"Yah, salah satunya itu dia" Alfred terkekeh.

Semakin mereka berdua berjalan memasuki desa, semakin banyak yang menatapnya dengan tatapan tak suka, lalu ada tatapan benci, jijik, gusar, dan tatapan buruk lainnya. Milena berpikir bahwa ini sesuatu yang lain dari biasanya. Stigma yang melekat padanya tentang pembuat onar sudah lama disandangnya, menerima perlakuan benci juga sudah biasa, namun sepertinya hal kali ini melebihi perkiraannya.

"Usir dia dari desa ini!" seorang peri perempuan gempal berteriak, telunjuknya mengarah pada Milena. Tanpa diduga teriakan itu memicu keributan penduduk desa, mereka berteriak, mengumpat, dan memaki tak habis-habisnya sepanjang jalan.

Milena dan Alfred terkejut. Baru kali ini penduduk desa semarah itu. Tiba-tiba semangkuk pai apel mengarah ke Milena, buk! Tak sampai disitu, beberapa peri lainnya juga ikut-ikutan melemparinya dengan apa saja di dekat mereka. Alfred panik, ia melindungi Milena dengan tubuhnya.

"Ayo, cepat! Kedainya tidak jauh lagi!"

"Kenapa mereka melakukan ini? Aku tak salah apa-apa!" protesnya kesal.

"Percuma memberikan penjelasan pada massa yang sedang marah, Milena, mereka tak akan mendengarkan apapun, selain melampiaskan amarah mereka."

Mereka berdua bergegas berlari menuju semak belukar, berusaha menghindari lemparan kerumunan yang marah.

"Ini adalah jalan rahasia Tim Mawar. Jika menempuh jalan ini, kau akan lebih cepat sampai ke kedai dengan berjalan kaki. Siapa bilang terbang itu menyenangkan? Kau tak pernah merasakan bagaimana lelahnya kami terbang seharian ke sana kemari mengumpulkan persediaan. Rasanya sayapku mau copot!" Alfred terkekeh, ia menuntun jalan melewati rumput-rumput tinggi dan tajam.

"Yah, mungkin aku tak tahu bagaimana rasanya. Maaf. Aku bukan peri pekerja seperti kalian, nampaknya aku bakalan jadi peri soliter sungguhan dalam hitungan jam." Milena membersihkan dirinya dari sisa-sisa pai dan acar di tubuhnya, sayapnya menjadi lengket dan susah di kepakkan.

"Jangan berkata hal sial seperti itu." Alfred memandang galak Milena.

"Ok! Ok! Kenapa jadi kau yang marah, sih?" Milena keheranan.

"Kau mendapat perlakuan tak adil, tentu saja aku marah." Ucapnya sungguh-sungguh, kali ini dia tak berbalik, ia terus berjalan menuntun Milena menuju kedai.