"Tidak mungkin! Dia itu bodoh! Ia bahkan menuduh tupai malang sebagai pelakunya! Dan berbicara padanya! Gila, bukan?" Grace membalas tatapan Lucinda, ia tak mau disalahkan atas tragedi yang menimpa desa mereka.
"Mungkin kau tak seharusnya melakukan hal itu pada—" Lucinda hendak menyelesaikan kalimatnya, tapi kata-kata itu terhenti ketika mereka tiba di pohon persediaan. Pemandangan kacau balau menyambut mereka, air danau yang berjarak satu meter (ukuran manusia), entah kenapa tiba-tiba menenggelamkan pohon itu tiga perempat. Para peri yang ada di sana sibuk hilir mudik berusaha menyelamatkan sisa-sisa persediaan yang bisa dijangkau oleh tangan mereka. Mereka berempat ternganga kehabisan kata-kata. Semua jerih payah mereka, kini bertebaran kemana-mana.
"Kalian dari mana saja!" bentak seorang peri perempuan dari belakang.
Mereka berbalik cepat, itu Nyonya Malissa. Wajahnya sungguh berantakan, segala emosi terpancar di wajahnya hingga sulit dikenali lagi apakah ia sedang marah, kecewa, putus asa, atau merana. Di tangan kiri tergenggam perkamen yang sobek, dan ditangan satunya tinta penanya meluber keluar, menetes ke bawah setitik demi setitik.
"Aahhhhh… Nyonya Malissa, a-apa yang terjadi?" Alfred gelagapan.
"Seperti yang kalian lihat! Ini malapetaka! Tim yang lain sedang berusaha mengambil persediaan yang hanyut sebanyak mungkin di sungai, kuharap kalian bisa menyelamatkan buah yang hanyut sebanyak mungkin. Ayo, bergerak! Kalian tak mau bekerja sepanjang hari untuk mengumpulkan buah dan biji-bijian selama seminggu penuh, kan!" Nyonya Malissa menunjuk sungai di sisi kanannya, beruntung sungai tersebut tidak begitu deras, mereka punya kesempatan mengejar buah-buah yang hanyut sebelum jatuh ke hilir. "Jangan banyak Tanya! Gunakan otak kalian! Dapatkan sebanyak mungkin buah yang hanyut!"
Meski menggerutu dan menghela napas panjang, Tim Mawar terbang menuju sisi sungai, Alfred berbalik dari formasinya dan terbang kembali menuju Nyonya Malissa, ia tengah menulis di perkamen dengan tinta kabur.
"Apa Anda tahu kenapa ini bisa terjadi?" Alfred berusaha menjaga intonasi suaranya terdengar cukup serius, meski ia sudah tahu jawaban terburuk. Ia tak bisa mempercayainya.
Nyonya Malissa tak seketika itu juga menjawabnya, ia melirik Alfred dengan pandangan menyipit.
"Apa kau tahu sesuatu tentang hal ini?"
"Tidak! Tidak! Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi!" sergahnya cepat, kedua telapak tangannya mengarah ke depan, bergerak ke kiri dan ke kanan.
"Kurasa kau bisa menebak siapa yang suka berbuat kekacauan di desa kita dan membawa malapetaka kemanapun dia pergi." Ucapnya dengan penuh nada sarkasme.
"Itu tak mungkin! Dia memang punya tabiat jelek, tapi melakukan hal seperti ini bukanlah hal yang dengan teganya ia lakukan! Ia tak bodoh! Ia juga bisa mati kelaparan selama musim dingin!" Alfred berbicara tanpa jeda, napasnya tersengal-sengal.
Nyonya Malissa hanya terkekeh, ia menyeringai. "Cinta memang membutakan siapapun." Dia berbalik meninggalkan Alfred yang mematung, "sebaiknya kau mulai bekerja, jangan membuat tim-mu kewalahan tanpamu. Tim yang paling sedikit membawa persediaan yang hanyut, akan dikurangi jatah makan malamnya selama sebulan!" ia melambaikan tangannya yang memegang perkamen.
Alfred memucat. Ia masih tak percaya jika peri yang dicintainya tega melakukan hal sekeji itu. Milena memang terkenal akan sifatnya yang buruk. Sangat kontras dengan tampilan fisiknya yang rupawan. Ia sudah mengenal Milena semenjak kecil, maka dari itu, ia tak bisa percaya dengan apa yang terjadi saat ini.
Dengan hati penuh tanda tanya segunung, ia terbang perlahan menuju sisi sungai. Di kejauhan, anggota timnya mulai memungut buah satu persatu dan di letakkan ke tepian sungai. Beberapa dari mereka mengeluh dan menggerutu dalam celotehan tak jelas. Cuaca bulan Oktober semakin dingin dari hari ke hari menuju penghabisan bulan. Siapa yang tidak kesal jika harus berurusan dengan air pada musim seperti sekarang ini? Meski persediaan mereka hanyut terbawa air, sesungguhnya tak seburuk yang diucapkan oleh peri yang panik di kedai tadi, ia masih melihat beberapa buah arbei dan anggur tergenang rendah di sela-sela semak belukar yang tinggi. Hatinya mencelos mengingat sang pelaku, ia terbang perlahan dan mulai mengambil buah anggur sebagai permulaan kerja keras keduanya hari itu. []