Chapter 5 - Milena dan Keonaran (3)

Di balik tumbuhan semak belukar yang rimbun, sebuah kota peri tak kasat mata dipenuhi oleh peri-peri kecil yang lalu lalang di udara. Antrian terjadi di sisi pohon raksasa, di bawah pohon itu tampak peri perempuan dengan wajah galak, tubuh gempal, dan bibir tebal tampak mengoceh membaca perkamen panjang di tangannya. Ia melirik peri-peri yang baru saja datang dan masuk ke antrian. Mulutnya mengerucut, tampak tak puas.

"Kalian di sana! Tim Senja! Buah arbei kalian tampaknya kurang satu! Jatah makan malam kalian akan dikurangi separuh selama seminggu!" dia berteriak.

Tim Senja yang baru datang tersebut tampak kecewa, merekapun tak bisa protes dan hanya bisa menelan ludah pahit. Di belakang Tim Senja, Lucinda, yang merupakan Tim Mawar, tersentak kaget, ia memandang Grace dengan tatapan galak. Grace hanya menampiknya dengan cengiran. Mereka nyaris menjadi tim yang terkena hukuman, untung saja Frida selalu memetik buah arbei lebih dari yang seharusnya. Frida hanya terkekeh melihat kedua anggota timnya saling melempar raut wajah aneh satu sama lain.

Selesai menyetor hasil kerja mereka, keempat peri itu bersantai di sebuah kedai minuman yang tak jauh dari pohon tersebut. Mereka meminum jus sari bunga yang terkenal di kedai itu, warnanya kuning keemasan dengan krim putih diatasnya, rasanya manis dan menggigit, krimnya lembut dan lumer seketika di dalam mulut.

"Kita hampir mendapat masalah!" bisik Lucinda.

"Yah, harusnya itu sudah kalian pikirkan sebelum melakukan tindakan bodoh tadi. Pengurangan jatah makan malam itu hanyalah hal teringan yang pernah kudengar. Yang paling berat malahan pernah mendapat hukuman memetik buah langka di hutan terlarang!" seru Alfred dengan nada suara berbisik yang tegang.

Lucinda tampak mematung saking kagetnya. Hutan terlarang adalah sisi hutan yang jarang di dekati oleh makhluk-makhluk berpikiran rasional, segala macam hal buruk bisa kau dapatkan di sana. Tak ada cerita baik manapun tentang hutan terlarang di seluruh dunia ini. Selalu berakhir dengan hal-hal jahat dan mencekam.Wajah Lucinda kini memucat, jus sari bunga yang diminumnya dengan tergesa-gesa membuatnya tersedak tak karuan, matanya melotot, tangannya menarik-narik ujung baju Alfred.

"Apa yang kau lakukan? Lepaskan!" Alfred berusaha melepas tarikan Lucinda yang nyaris membuat bajunya sobek.

"Ini-sa-lah-mu!" ucapnya terbata, terbatuk-batuk seraya memukul-mukul dadanya.

"Kau baik-baik saja, Lucinda?" Frida menghampirinya, berusaha menolong dengan menepuk-nepuk punggung Lucinda.

"Sebaiknya kau minum air putih saja. Miringkan kepalamu ke kanan belakang sambil meneguk airnya." Saran Grace, ia tampak santai meski dia nyaris mencelakakan timnya sendiri.

Lucinda menuruti nasihat itu, ia tak tersedak lagi. Ia menghela napas panjang, bersandar di sisi meja sambil menelungkupkan separuh badannya. "Rasanya aku seperti mau mati saja tadi" keluhnya.

"Kau harus berterima kasih pada Frida, berkat dia kita selamat dari hukuman. Aku tak menyangka kalau Nyonya tua itu akan menghitung hasil petikan kali ini. Kudengar musim dingin ini akan menjadi musim terpanjang yang pernah ada." Alfred duduk bertopang dagu, melirik tajam pada Grace.

"Yah. Yah. Aku tahu." Dia hanya mengedikkan bahu, tak peduli selama mereka tak terkena hukuman.

"Ini pesanan kalian! Pai bunga lili dengan toping sirup jagung dan keju!" seorang peri laki-laki datang menghampiri mereka, di tangannya ada sebuah pai ukuran besar yang menggoda. Peri yang baru saja datang itu berotot dan berewokan, di kepalanya terpasang topi chef kebanggaannya.