Peri cantik tadi, Milena, masih saja tertidur pulas. Dari atas pohon, tiba-tiba sebuah buah arbei mendarat di kepalanya hingga ia terbangun, ia berteriak kesakitan dan mengumpat di udara kosong. Sayapnya terbentang indah di punggungnya, ia menggosok-gosok kepalanya, kesakitan.
"Siapa yang berani-berani melempar arbei ke kepalaku?" Milena terbang di sekitar pohon tersebut, mencari-cari pelakunya, dalam hati ia sudah berniat memukul wajah penjahat yang telah mengganggu tidurnya tadi.
Seekor tupai melihat aksi Milena beterbangan kesana kemari bak komedi putar di siang hari.
"Kau!" tunjuknya galak dengan mata melotot pada Sang tupai. Tupai itu keheranan, kepalanya dimiringkan ke kanan. " Apa kau yang melempari kepalaku?" Milena terbang mendekati tupai itu sambil berkacak pinggang. "Katakan sesuatu!" tuntutnya marah.
Tupai itu hanya mengamati Milena dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tanpa disadari Milena, tupai itu berusaha meraihnya.
"Setelah melempariku, kau mau memakanku?" nada suara Milena naik satu oktaf.
Dari balik pohon di seberang, seorang peri terkikik melihat pemandangan itu. Lalu ia terbang menujun arah di belakangnya, dari jauh, tiga peri lain menunggu dengan was-was.
"Ok, Grace! Darimana saja kau? Kau bilang hanya sebentar!" protes Lucinda.
Tapi Grace tak langsung menjawab pertanyaan itu, tawanya meledak tak karuan. Mereka bertiga keheranan.
"Apa ada yang lucu? Halo?" sindir Lucinda.
Grace tersenyum puas dan berkata dengan nada bangga. "Aku melempari buah arbei ke arah Milena yang sedang tertidur, dan sekarang dia berbicara layaknya orang gila pada seekor tupai!"
Hening sejenak, lalu tawa Frida dan Lucinda pecah. Alfred hanya menghela napas panjang disertai senyum kecut di wajahnya. Mereka melanjutkan perjalanan, Grace bercerita jikalau dirinya sudah lama ini ingin melakukan hal itu. Sabar dan diam menghadapi Milena adalah hal yang sia-sia, mereka harus melakukan sesuatu padanya yang membuatnya jera.
"Apa dia baik-baik saja? Kau tahu, kan, arbei itu tidak kecil." Tanya Alfred, cemas.
"Jangan bodoh! Kepalanya itu keras seperti batu! Sama seperti sifatnya!" Lucinda terbahak lebih keras dari sebelumnya. "Dia pantas mendapatkannya. Tak kusangka kau akan bersikap seperti itu." Ia mengedipkan mata pada Grace.
"Sesekali kurasa bukan masalah." Ia tersenyum puas. "Ayo! Nyonya Malissa akan memarahi kita jika terlambat."
Ketika keempat peri itu, yah, lebih tepatnya tiga peri itu berlalu dengan hati puas, di tempat lain, kemarahan Milena memuncak. Ia menghukum tupai tak bersalah itu dengan mengikat salah satu kakinya dengan sulur dan posisi kepala terbalik. Makhluk malang itu meronta ketakutan. Milena terbahak kegirangan, mengumpatkan berbagai macam sumpah serapah sembari terbang mengelilingi tupai itu dalam formasi lingkaran. Ia menjulurkan lidah, lalu sesekali menari kegirangan.
"Jika kau tak mau berurusan denganku, maka jangan melempari buah arbei padaku! Kau tahu kepalaku sangat berharga!" Koarnya galak.
Tupai malang itu tampak ketakutan, raut wajahnya memucat, tampak ingin berkata 'bukan aku
pelakunya', namun ia hanyalah tupai yang lagi sial hari itu, ia tak mampu mengatakan apapun, ia bahkan tak bisa berbicara bahasa peri! Tupai itu semakin ketakutan, ia menutup mata kuat-kuat—tubuhnya bergelantungan ke kiri dan ke kanan, Milena dengan sengaja menggantungnya pada batang pohon tertinggi di hutan itu.
"Uhm. Tampaknya kau bukan pelakunya." Milena mengernyitkan kening, terbang mendekati tupai itu, ia mengamatinya dengan seksama. Tanpa bicara, siapapun tahu kalau tupai itu tak melakukan hal tersebut. Milena merapatkan tangan ke dada, terbang naik turun, berputar mengelilingi tupai itu, lalu tersenyum menyeringai.
***