Aku terdiam tanpa kata. Ternganga sambil memandang rumah besar yang berada di hadapanku.
"Kamu enggak mau mampir dulu?"
Meskipun aku ditawari seperti itu, rasanya seperti aku tidak memiliki kecocokan yang bagus sebagai tamu.
Rumah Risa adalah rumah besar tiga lantai dan pekarangan rumah yang luas. Itu memiliki taman kecil di depan dan beberapa lampu taman sebagai penerangan ketika malam hari.
"Eh, emm… enggak deh, maaf ya. Aku ada tugas buat bantuin bapak di sawah setelah ini"
"Oh, gitu ya. Tunggu bentar ya kalau gitu"
Risa berlari masuk ke rumah, aku hanya menunggu di luar gerbang dengan sabar.
Astaga, gadis itu terlalu jauh dari jangkauanku. Kami sangat berbeda dari status sosial, penampilanku yang sederhana dan biasa tidak bisa dibandingkan dengannya.
Aku tidak pernah merasa begitu rendah sebelumnya, sebenarnya apa yang salah denganku saat ini?
Nah, sebagai perbandingan, aku seperti seekor semut kecil. Dan Risa adalah gedung bertingkat.
Tunggu, itu bahkan tidak benar-benar bisa disebut perbandingan!
Bagaimana bisa mahluk hidup dibandingkan dengan bangunan?! Kurasa aku buruk dalam membuat contoh.
Terserah lah, abaikan yang lain, setidaknya perbandingan ukurannya masih bisa dilihat.
Itu hanya sebuah contoh konyol yang bisa kau bayangkan. Meskipun nilai perbandingan nyata tidak akan terpaut sejauh itu.
Untuk menjadi kaya perlu usaha yang besar, untuk menjadi bahagia perlu hati yang lapang, untuk menjadi manusia yang lebih cerdas perlu pandangan yang lebih luas.
Sesuatu yang begitu sederhana terkadang tidak kita sadari ternyata adalah sesuatu yang sangat penting.
Maka, biarkan aku bertanya satu hal padamu.
Seberapa penting sebuah rasa syukur menurutmu?
Mari lihat dari sisi luas, tidak banyak yang bisa dihasilkan oleh rasa syukur. Ketika manusia cepat merasa berpuas diri, mereka cenderung kehilangan semangat untuk berusaha lebih keras.
Sekarang mari lihat dari sisi rohani. Ketika kau merasa benar-benar bersyukur, otak cenderung menerjemahkan hal itu menjadi perasaan bahagia. Bagaimana itu bisa terjadi?
Aku akan mengambil kutipan ceramah dari seorang ustadz. Beliau berkata, "Letak kebahagiaan itu bukanlah sebuah tempat, bukan juga harta atau wanita. Kebahagiaan itu adanya di hati"
Maksud dari perkataan beliau adalah… kebahagiaan tidak tentang seberapa banyak harta yang dimiliki atau sebuah tempat yang dikunjungi. Tapi kebahagiaan datang ketika hati merasakan kepuasan, dan rasa syukur adalah salah satu yang membuat hati merasa puas.
Jika seseorang mengikuti napsu belaka, hati mereka tidak akan pernah terpuaskan dan selalu menginginkan sesuatu yang lebih. Napsu tidak ada habisnya, karena itulah dalam Islam dan berbagai agama kita diajarkan untuk bersabar dan menahan hawa napsu.
Aku setuju bahwa napsu adalah sifat yang manusiawi dan telah ada pada setiap orang sejak dilahirkan. Tapi itu juga salah satu ujian dalam kehidupan.
Maafkan aku jika aku terkesan menggurui, tapi aku ingin setidaknya membuka sedikit hati kalian pada sesuatu yang baik.
"Maaf membuatmu menunggu"
Risa kembali dengan membawa sebuah bungkusan yang dimasukkan ke dalam kantung plastik.
Aku bertanya dengan sedikit penasaran, "Ini apa?"
"Itu lauk, isinya ada soto, kerupuk, sama tumis kangkung"
"Makasih ya"
"Iya, sama-sama"
Aku memandang Risa dengan cahaya yang sedikit berbeda. Sudah kuduga, Risa sebenarnya sangat baik.
"Apa lihat-lihat?! Mau ditonjok?"
… Maaf, aku tarik kembali pikiranku tadi.
"Eh, enggak. Yaudah, aku pamit dulu deh. Assalamua'alaikum"
"Wa'alaikumsalam"
Risa melambai dengan pelan ketika aku pergi.
Apakah dia sedikit malu atau enggan melambai padaku? Aku tidak tahu yang mana satu.
Yah, terserahlah. Aku tidak sabar untuk pulang ke rumah dan memberikan lauk ini kepada Ibuk.
…
Setelah berganti pakaian, aku pergi ke sawah untuk menyusul bapak.
Berjalan kaki melewati pematang sawah yang memiliki sedikit rumput hijau, sisi kanan dan kiri adalah lahan sawah yang kecoklatan karena lumpur dan air yang menggenang.
Kegiatan semacam ini tidak terlalu menyenangkan jika melihat dari sisi orang yang benci kerja keras dan lebih memilih kerja cerdas.
Tapi ini bukan tentang kesenangan, melainkan bekerja untuk tetap menyambung hidup.
Keluargaku adalah keluarga petani, jika kami tidak bekerja di sawah, tidak ada uang untuk membeli beras. Dengan segala keterbatasan, bapak dan ibuk mampu menyekolahkanku hingga kelas 2 SMA. Itu usah yang begitu luar biasa, aku hanya bisa membalas jasa mereka dengan bekerja keras dan belajar dengan giat.
Aku tidak ingin membuang masa muda dengan sia-sia.
…
Malam hari.
Bapak duduk di atas kursi kayu di teras rumah. Bersandar pada dinding bedhek yang terbuat dari anyaman bambu, beliau berjaga sambil menunggu teman-teman yang memiliki jadwal ronda bersamanya.
Di dalam rumah, aku belajar ditemani dengan lilin yang bersinar sedikit redup.
Ada alasan kenapa aku hanya menggunakan lilin, itu karena desaku sedang mengalami pemadam listrik. Karena itu bapak berjaga di depan rumah, takut ada maling yang masuk. Sementara itu ibuk duduk di sampingku sambil menjahit pakaian bapak yang sedikit robek karena sering dipakai ke sawah.
"Le, kelihatan ta remang-remang gitu belajarnya?"
"Keliatan, Buk"
Meskipun aku berkata seperti itu, mataku lambat laun mulai merasa lelah karena terus membaca tulisan yang cukup kecil dengan penerangan yang sedikit kurang.
Sebenarnya tadi ada beberapa PR yang diberikan di sekolah, tapi untungnya aku sudah mengerjakan semua itu ketika istirahat, jadi aku bisa lebih fokus belajar saat ini.
Ketika aku sudah sedikit mengantuk dan mulai menggosok mata, aku memutuskan untuk berhenti belajar dan melanjutkan lagi besok subuh.
…
Pagi ini aku berangkat sekolah seperti biasa, tapi ketika di kelas, Arin menyapaku lagi.
Oh, akhirnya datang juga kali keempat kami berbincang.
"Satria, boleh aku pinjam buku PR kamu?"
Tidak seperti sebelumnya, aku sedikit memikirkan tindakanku kali ini.
Apakah benar-benar baik-baik saja jika aku meminjamkan PR milikku yang aku kerjakan dengan susah payah?
Ketika Arin mendatangiku, aku merasakan sebuah tatapan tajam datang dari tempat Risa. Tapi ketika aku meliriknya, dia tidak melakukan apapun atau melihat ke tempatku.
Apakah itu hanya perasaanku?
"Emm, Arin, kenapa kamu belum ngerjain PR?"
Aku merasakan sedikit ketidaksenangan datang dari Arin setelah aku mengatakan itu, tapi wajahnya masih tersenyum lembut.
"Kamu kan juga tau kalau kemarin mati lampu, jadi aku gak bisa ngerjain"
Alasan yang masuk akal, tapi ada yang salah. Rumah Arin berada cukup jauh dari desaku, seharusnya daerah rumahnya tidak ikut terkena dampak pemadam listrik. Atau aku hanya tidak tau hal itu?
"Jadi… boleh ya~?"
"Eeeh, emm, boleh deh"
"Yeey~ makasih ya"
Arin mengambil buku milikku, tapi dia dihentikan oleh Risa yang datang begitu tiba-tiba.