"Aku sudah bilangkan, dua orangmu itu berhutang padaku," kata seorang berandalan bernama Carlos. "Jadi kau ikut bertanggung jawab."
Pria itu bergeming, berdiri dengan perawakan yang kaku. Jari jemarinya pun menggelantung, menekan pahanya yang terselimuti kain jubah. Begitu mencolok gaya berpakaiannya, satu set jubah hijau loreng berhiaskan bordiran gambar matahari di kedua sisi dada. Sampai-sampai kalau mencarinya di kerumunan sekalipun, itu bukanlah tugas super menyulitkan. Itu adalah seragam kebesaran sekte Dominus, seorang dewan. Alisnya yang tebal sebagian naik, membuat pola-pola garis di sekitar dahi. Rambunya ungu gelap cukup tebal, dan misai yang tipis di bawah hidungnya yang bengkok naik. Dia hendak berkata,
"Kalau kau hendak menagih hutang. Bicarakanlah pada orangnya. Aku tidak memiliki tanggung jawab atas hal demikian,"
Selagi berdiri di trotoar, tepat di depan sebuah toko roti yang memerkan beragam roti di kedua etalasenya. Itu bukanlah tempat yang pantas untuk dijadikan pentas argumen, bisa-bisa menggerus selera makan. Carlos berkata keras,
"Aku adalah orang paling kuat di Dulche. Kau mesti tahu diri dengan sikapmu."
Ketika Carlos bicara arogan dagunya yang persegi naik seolah-olah menunjukan siapa yang berkuasa. Namun, si pria relijius mempunyai postur lebih tinggi, Carlos jadi terkesan menyedihkan alih-alih gahar. Dengan rambutnya yang pendek dan ditengahnya menyembul ke belekang layaknya jengger ayam semakin mempertegas citra tersebut. Carlos beringsut ke belekang, ia melanjutkan,
"Tidak tahu malu sekali kau berucap demikian,"
Carlos mulai berang. Salah satu tangannya masuk ke dalam saku, itu cukup memakan waktu untuk sebuah korekan di saku kecil celana. Dari tangannya yang berjari panjang, dia mencengkram sesuatu, dan itu adalah sebuah plastik. Carlos berkedip-kedip, dia tidak menggerakan kepala, tapi melirik-lirik penuh waspada.
Di kulit wajahnya yg pucat pasi, sang pendeta Dominus itu terheran. Tapi, ia sekilas memahami, ada hasrat personal dalam diri Carlos. Sebelumnya si preman tampak menggebu-gebu, lalu beberapa saat kemudian menjadi super hati-hati. Perubahan cepat bagaikan kesambar petir.
"Ada banyak cara mendapatkan uang, dan aku meyakini itu. Tuan pendeta. Tapi hutang tetaplah hutang."
"Anda benar sekali, sangat bagus bila punya prinsip demikian."
Carlos beringsut-ingsut mendekat, tubuhnya dia geser miring sehingga apa yang hendak dia serahkan pada pendeta Dominus itu sukar dilihat selain oleh mereka. Benda itu berbentuk serbuk putih, dibungkus oleh plastic klip yang biasa dipergunakan oleh obat pemberian dokter.
Pendeta itu cuma tertahan sekilas, dia tidak memperlihat keterkejutan sama sekali. Ia bertanya, "Apa maksudnya ini? Terigu?"
Orang mana pun tahu dia sedang mengurusi sesuatu yang bersifat rahasia. Tapi itu terkesan ceroboh. Dia melakukannya di tempat umum, bahkan nampak ramai, di pinggir jalan, di depan toko roti bernama Bro'z Bakery. Sedangkan jam juga telah memasuki sore hari di mana banyak siswa dan masyarakat lainnya hilir mudik seusai sekolah dan bekerja.
Di trotoar yang banyak berdiri tiang lampu serta pohon pengendali polusi, orang-orang yang lewat di dekat Carlos serta si pendeta terlihat awas. Mereka tertunduk, langkah kakinya juga cepat - cepat. Carlos yang menakutkan, tidak semata-mata bualan belaka. Dia menjawab,
"Ini adalah obat penenang. Aku mau-mau saja melupakan hutang mereka. Asalkan kau mau membeli barang-barang ini semuanya. Bagaimana?" Carlos menawarkan sembari menaik-naikan alis.
"Tidak terima kasih." Sang pendeta menjawab tanpa banyak pertimbangan.
Tidak senang tawarannya ditolak mentah-mentah, Carlos mencengkram kerah jubahnya. Dan itu tidak mempengaruhi si pendeta, dia malah memandang ke bawah memperhatikan ekspresi Carlos saat mengancam. Tentu saja karena Carlos lebih pendek, si pendeta seolah-olah merendahkan berandalan itu. Ketegangan semakin menjadi-jadi tatkala Carlos menggenggam tiang lampu yang berada di trotoar. Entah tenaga macam apa yang dia miliki, tiang besi mulai penyok sampai menciut seukuran tongkat mata sapi.
"Haruskan aku mendatangi mereka? Merampas yang berharga milik mereka? Padahal kau bisa menolong mereka cukup dengan membeli barang ini," Carlos bersikeras.
Orang-orang tidak memiliki keberanian lewat di depan Bro'z Bakery. Ketika hendak berada di persimpangan mereka memilih memutar jalan. Tidak apa lebih lama asalkan selamat. Mereka terlalu takut pada Carlos, reputasi berandalan itu tersehor sedistrik. Beberapa desas desus mengatakan polisi saja tidak sanggup menindak lanjuti, karena berandalan itu kuat. Dia seorang Breaker kelas atas, tabiatnya sehari-hari adalah meminta uang keamanan pada tiap toko, menjual obat terlarang dan lusinan-lusinan ilegalisme lainnya yang ia telah perbuat. Dengan catatan melanggar hukum tersebut, Carlos masih bisa menghirup udara kebebasan. Terdengar tidak masuk akal memang.
Sebegitu istimewanya seorang Breaker, memiliki sebuah kekuatan membuat orang lain takut dan enggan berurusan dengan mereka. Carlos tentu saja tahu, itulah mengapa ia kadang suka terang-terangan bikin keributan. Namun, bukan artinya aparat tidak berbuat sesuatu, polisi juga beberapa anggotanya seorang Breaker. Cuma level mereka rata-rata menengah bawah. Semakin kuat seseorang semakin tinggi ego mereka, itulah kenapa Breaker dengan level tinggi merasa punya kontrol akan sesuatu dan memilih mandiri.
Di lain tempat di toko roti Bro'z Bakery, Dean sedang melahap sebungkus sneak dengan cita rasa jagung bakar. Satu persatu dia jejalkan ke mulut. Makanan ringan itu yang besarnya seukuran kelingking, renyah karena menimbulkan suara KRIUK, KRIUK, di dalam mulut. Isi perutnya itu dia sumbat cuma bermodalkan sneak gratisan, sehingga gemuruh di jeroan perut yang berkeruyuk-keruyuk berhenti. Dengan penuh rasa haru serta bahagia ketika asyik sendiri ngemil. Sekonyong-konyong dia nyeletuk,
"Ini enak sekali, didapat secara gratis, dari seorang wanita pula. Sial, Chloe aku mencintaimu."
Tanpa Dean sadari, dua orang perempuan serta seorang laki-laki tertawa kecil melihat tingkah laku dirinya. Salah satu dari mereka dia kenali, namanya adalah Rexy. Gadis itu masih SMA, sering membantu di Bro'z Bakery setelah pulang sekolah, itu karena dia keponakan pemilik toko. Dia masih mengenakan seragamnya, yang berupa satu set blazer, kemeja berdasi pita, dan rok selutut. Semuanya berwarna coklat terkecuali kemeja yang warnanya putih licin.
Dean mengabaikan mereka dan tetap setia mengunyah makanan ringan. Hal yang biasa Dean perbuat ketika tidak ada pelanggan adalah makan atau beres-beres toko. Berhubung seluruhnya masih serba mengkilap-kilap, dimulai dari meja serta etalase telah bersih. Etalase depan ada dua, berisi banyak roti, juga bisa di lihat dari luar untuk menarik perhatian pelanggan. Sedangkan di dalam terdapat lima, keempat etalase berjajar sedangkan satu lagi berada di ujung menghadap pintu keluar. Ruangan Bro'z Bakery memang cenderung memanjang. Di belakang etalase paling ujung, itu adalah kasir atau bagian pembayaran. Dinding di Bro'z Bakery berlapis kayu yang memiliki serat yang cantik dicat kecoklatan. Serta atapnya menggelayut lampu-lampu yang cembung.
Lalu seorang pria keluar dari ruangan staff, dia tegap tinggi, rambut keperakan dikucir, air mukanya nampak geram, dia mengenakan kaos polo berwarna kopi susu, dan bercelana denim. Pria tersebut adalah manajer toko, bernama Ben. Bersama kekasihnya mereka adalah dua pencetus, yang paling dihormati, disegani, ditataati serta yang paling-paling lainnya.
Sekarang Ben menatap sekeliling, dia begitu digdaya, keberadaanya akan langsung membuat orang lain segan, mungkin cuma karyawannya yang beranggapan demikian. Ben melihat Dean, dan berkata,
"Aku tidak melihat pelanggan, ke mana mereka?"
Dean terkaget ketika dipanggil. "Oh Bos. Aku juga kurang tahu. Tapi coba kau perhatikan di luar, kelihatannya sedang terjadi ketegangan."
Mendadak matanya menusuk, itu cukup untuk membuat Dean mematung saat asyik menyantap makanan ringan. Mungkin rasanya seperti tertusuk benda tajam di dada yang seketika melumpuhkan.
"ASDFGHJKL," Bos Ben menggerutu tidak jelas.
Bos Ben menyegerakan diri keluar, memastikan kebenaran ucapan Dean. Bila bos kedua marah, itu selalu menggugah rasa penasarannya, menonton penderitaan orang lain itu adalah hiburan. Dean serta merta membuntuti. Urusan di dalam dia serahkan sebentar pada Rexy.
Begitu Dean sampai di luar, dia melihat seorang preman yang sedang membicarakan perihal hutang dengan pendeta dominus. Pendeta itu tinggi berjubah, Dean mungkin harus menengadah kalau-kalau hendak berbicara padanya. Sedangkan si preman dia mengenalinya, itu adalah Carlos. (Carlos yang nyata.) pikirnya. Sebuah kesempatan langka membuat kebahagiaan tersendiri bagi Dean.
Sementara aura kemarahan dari Bosnya memancar kentara. Seakan-akan suhu di sekitar Ben melesat temperaturnya, dia siap meletus. Ben menaikan dada, dia berdeham keras EKHEMM. Air mukanya sungguh murka. Dean bisa menilai betapa tingkat bahaya kalau Bos sedang marah, dan Ibu bos juga tidak ada, Bos naik darah serta tak ada penawarnya, suatu sensasi hidup di ujung tanduk.
"Carlos, sudah berapa kali aku peringatkan. Kalau mau cari keributan jauhi tempatku," Ben mengancam dengan suaranya yang berat.
Dean menganga, tidak terbetik di kepalanya sang Bos orang no dua di Bro'z Bakery mendahulukan lisan di atas kegatalan tangan yang berhasrat menjotos.
Carlos teralihkan, dia kentara sekali terkejut dengan kehadiran Ben. Dia pun tergagap-gagap, "A-apa Ben."
Carlos memalingkan muka sesaat, dia kelihatan memastikan sesuatu. Terutama pandangannya yang tertahan ke sebrang jalan, pada orang-orang yang sedang memperhatikan mereka. Itu membuatnya menelan ludah.
Dean tahu dia takut dengan Bos. Tapi, dia tidak ingin reputasinya hancur. Bisa dibayangkan Carlos yang kuat takut sama pemilik toko roti. Sumber uangnya bisa-bisa ludes. Terlebih tidak ada jaminan dia memiliki otoritas di kota lain seperti di Dulche. Orang yang lebih kuat darinya itu tidaklah sedikit, Bos Ben adalah salah satunya.
Carlos menatap kembali Ben, dia seakan-akan telah dipenuhi oleh bahan bakar yang disebut tekad berani. Kedua alisnya yang tak mampak itu ia tajamkan. Carlos takut-takut berkata, "K-kau, yang sering bolong-bolong bayar uang keamanan."
Lalu Bos Ben melihatnya jijik. "Kau mau cari ribut denganku."
Carlos berkeringat, di pelipisnya ada setetes air mengalir. Ia masih bersikeras, "Beruntung rotimu sangat enak. Sehingga itu cukup menjamin keamananmu Ben."
Setelah berkata demikian, Si preman kelihatannya kehilangan hasrat untuk memalak uang dari pendeta itu. Dia cuma memandang sekilas yang kedengarannya mengatakan YA, KAU BERUNTUNG HARI INI KAWAN. Carlos pergi begitu saja dengan bahunya yang condong ke depan, meninggalkan mereka bertiga. Dean cuma terpekur menyaksikan kejadian tersebut, dan Ben sepertinya tidak menghiraukan perilaku Carlos.
Bos Ben masih tergeming, dia tidak hanya kesal karena si preman saja. Namun, seorang pemuka agama juga tidak lolos dari sasaran amarahnya. Bos Ben sungguh tidak segan menunjukan kejengahan dia pada si pendeta.
"Terima kasih." Hanya kalimat yang singkat padat serta jelas yang pendeta lontarkan. Itu sangat tidak beretika, setelahnya dia pamit tanpa menunjukan kehangatan.
(Pendeta yang tidak budiman.)
Si pendeta ternyata cuma pegi ke restoran di samping Bro'z Bakery. Dia kelihatannya ingin mencicipi menu di restoran baru itu, mengingat restoran itu baru dibuka kemarin.
"Bos, tidakkah kau menyesali ikut campur dalam urusan mereka?" tanyanya. Dean tidak senang dengan perangai orang tadi.
"Aku cuma ingin mengusir kecoa-kecoa itu," Bos lalu masuk kembali ke toko. "Benar-benar mengganggu bisnisku," dia masih menggerutu.
Kini tinggal Dean sendirian di luar. Setelah berjuang menahan kegirangan, di depan preman tadi. Lalu Dean mengecek ponsel, dan memasuki browser. Apa yang dia akses adalah situs kepolisian lokal, dan masuk ke menu DAFTAR ORANG YANG DICARI. Di situ tampil tiap nama buronan beserta jumlah uang yang ditawarkan kalau berhasil menangkapnya. Geser-geser ke bawah akhirnya, Dean melakukan itu dua kali untuk memastikan. (Yuuhuuu, Aku menemukanmu.)
Nama : Carlos
Rank : B
Bounty : 1k Gil